Setelah mengunjungi Israel dan Sudan, kini Menteri Luar Negeri Mike Pompeo berkunjung ke di Bahrain untuk melanjutkan misi mendorong normalisasi hubungan negara Teluk dengan Israel.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN dan B JOSIE SUSILO HARDIANTO
·2 menit baca
MANAMA, RABU — Misi Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Mike Pompeo di Timur Tengah untuk memperluas dukungan pada normalisasi hubungan diplomatik Israel-Arab seolah menemui jalan buntu. Bahrain, sebagaimana ditegaskan Raja Hamad bin Isa al-Khalifa dalam pertemuan dengan Menlu Pompeo, Rabu (26/8/2020), tetap berkomitmen pada pembentukan negara Palestina.
Di Manama, Pompeo menggelar pertemuan tertutup dengan keluarga Kerajaan Bahrain. Pompeo mencuit bahwa dia bertemu dengan Raja Hamad bin Isa al-Khalifa dan putranya, Putra Mahkota Salman bin Hamad al-Khalifa pada Rabu pagi.
”Kami membahas pentingnya membangun perdamaian dan stabilitas regional, termasuk pentingnya persatuan Teluk dan melawan pengaruh buruk Iran di kawasan itu,” tulis Pompeo. Pompeo juga mengatakan, dia membahas upaya untuk memajukan persatuan yang lebih besar di antara negara-negara Teluk. Kicauan itu ditulis saat pesawat yang ditumpanginya terbang menuju Uni Emirat Arab.
Pompeo berada di Manama setelah mengunjungi Khartoum, Sudan. Sebagaimana di Khartoum, Pompeo berada di Manama untuk mengampanyekan normalisasi hubungan diplomatik antara Israel dan dunia Arab. Upaya itu dilakukan menyusul kesepakatan penting yang dicapai Uni Emirat Arab dan Israel. Washington turut terlibat dalam pencapaian kesepakatan itu.
Dalam lawatannya ke Timur Tengah, Pompeo berharap negara-negara lain di wilayah itu mengikuti jejak UEA. Namun, untuk mengegolkan misi itu, Pompeo tampaknya harus berjuang lebih keras.
Meskipun Bahrain merupakan negara Teluk pertama yang menyambut baik langkah UEA-Israel dan mempertimbangkan untuk melakukan hal yang sama, ternyata Manama masih belum tegas menyatakannya. Kepada Pompeo, Raja Hamad mengatakan, Bahrain tetap berkomitmen pada Inisiatif Perdamaian Arab. Dalam Inisiatif Perdamaian Arab itu diserukan agar Israel menarik diri dari wilayah Palestina yang mereka duduki setelah tahun 1967. Apabila hal itu dipenuhi, proses normalisasi hubungan dapat dilanjutkan.
”Raja menekankan pentingnya meningkatkan upaya untuk mengakhiri konflik Palestina-Israel sesuai dengan solusi dua negara untuk pembentukan negara Palestina merdeka dengan Jerusalem Timur sebagai ibu kotanya,” tulis laporan kantor berita resmi Bahrain News Agency (BNA).
Meskipun Bahrain dan Israel memiliki musuh bersama di kawasan, yaitu Iran, Manama belum sepenuhnya dapat memenuhi harapan Washington. Bahrain memiliki ketergantungan besar kepada Arab Saudi dan tidak akan mengambil langkah strategis itu tanpa restu Riyadh.
Sejauh ini, Arab Saudi dengan tegas menolak menormalisasi hubungan dengan Israel. Riyadh tidak ingin mencoreng citranya sebagai pusat dunia Islam. Akan tetapi, Bahrain, menurut Profesor Andreas Krieg dari King’s College London, dapat menjadi penghubung bagi Israel dan Arab Saudi.