Mendung Menggelayut bagi Para Pengirim Pesan
Terdapat kecenderungan yang mengkhawatirkan di kawasan ASEAN. Ketika kebebasan pers, kebebasan berpendapat, yang menjadi modal untuk membangun masyarakat demokratis dan transparan, semakin terancam.
Selama beberapa tahun terdapat kecenderungan yang mengkhawatirkan di kawasan ASEAN. Ketika kebebasan pers, kebebasan berpendapat, yang menjadi modal untuk membangun masyarakat demokratis dan transparan, semakin terancam.
Selasa (4/8/2020) akan menjadi salah satu hari terburuk dalam sejarah pers, tidak hanya di Malaysia, tetapi juga di ASEAN, ketika kepolisian Malaysia menggerebek kantor biro stasiun televisi Al Jazeera di Kuala Lumpur. Mereka menyita beberapa peralatan, termasuk dua komputer yang digunakan redaksi untuk menjalankan kerja jurnalistiknya.
Pemerintah Malaysia gusar dengan film dokumenter Locked-up in Malaysia’s Lockdown, sebuah liputan jurnalistik berdurasi sekitar 25 menit yang dinilai mencoreng citra pemerintah. Di film dokumenter yang ditayangkan dalam program 101 East stasiun televisi yang bermarkas di Qatar itu, buruh migran dari banyak negara, termasuk Bangladesh, ditangkap, digiring ke truk otoritas keamanan Malaysia dalam kondisi terborgol dan dipasangi rantai sebelum dibawa ke tempat khusus. Di lokasi yang baru, kelengkapan administrasi mereka diperiksa. Begitu juga dengan kondisi kesehatannya.
Polisi menginterogasi tujuh jurnalis yang bekerja dalam pembuatan karya jurnalistik itu. Mereka juga menangkap buruh migran yang menjadi narasumber dan mendeportasinya ke negara asal. Kabar terakhir, Pemerintah Malaysia belum memberikan lampu hijau bagi dua jurnalis Al Jazeera asal Australia untuk masuk ke negara itu.
Baca juga : Film Dokumenter Al Jazeera soal Imigran Ilegal Bikin Gusar Malaysia
Hanya berselang sekitar dua pekan, beberapa media daring di Indonesia mengalami hal yang sama. Laman beberapa media siber, yaitu Tirto.id, Tempo.co, dan Kompas.com, menjadi sasaran serangan siber.
Tidak hanya laman media yang kritis terhadap cara pemerintah menangani pandemi Covid-19 yang diserang, akun media sosial milik warga sipil, intelektual, hingga aktivis hak asasi manusia yang kritis terhadap cara pemerintah menangani pandemi pun diretas.
Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Abdul Manan mengatakan, model serangan ini pasti bertujuan untuk meredam sikap kritis media terhadap para pembuat kebijakan.
Terus tertekan
Kondisi yang dihadapi oleh Al Jazeera, Tirto, Tempo.co, hingga Kompas.com adalah satu dari serangkaian tekanan yang dialami jurnalis di kawasan ini. Pun di masa pandemi, alih-alih bekerja sama dengan media untuk memberi pengetahuan kepada publik tentang bahaya Covid-19 yang masih terus mengintai dan diyakini akan sangat panjang waktu pemulihannya, pemerintah—berlindung di balik jargon ”untuk tidak menimbukan kepanikan”—menyembunyikan fakta tentang penyebaran dan penanganan Covid-19 di negara mereka. Dalam kasus Al Jazeera, perlakuan yang tidak humanis terhadap buruh migran menjadi salah satu contoh.
Jane Worthington, Direktur Eksekutif Federasi Jurnalis Internasional (IFJ) Asia Pasifik, berbicara pada webinar ”Kebebasan Pers di Tengah Pandemi Covid-19” yang diselenggarakan AJI Indonesia, awal Agustus lalu, mengatakan, dirinya melihat kecenderungan situasi dan kondisi yang semakin mengkhawatirkan dalam kerja jurnalis dan kebebasan pers sekarang.
”Kita melihat rezim, pemerintah, menggunakan kedok Covid-19, mereka membatasi pergerakan media, kebebasan yang telah diperjuangkan dengan susah payah oleh jurnalis dan serikat dengan dalih memproteksi masyarakat yang lebih luas,” kata Jane.
Baca juga : Peretasan Media Siber Mengancam Kemerdekaan Pers
Gangguan terhadap kerja pers, dalam catatan IFJ, terus meningkat selama beberapa tahun terakhir. Kekerasan fisik tetap menjadi gangguan yang paling sering terjadi terhadap para jurnalis, terutama dilakukan oleh aparat negara. Namun, kecenderungan itu juga mulai dilakukan oleh warga, masyarakat biasa, atau bahkan organisasi sayap, terutama dalam peliputan yang terkait dengan peristiwa politik dan melibatkan tokoh politik tertentu. Di Indonesia, khususnya, hal itu terjadi selama Pemilu 2014 berlangsung hingga sekarang.
Di Filipina, kita mengingat tragedi pembantaian Ampatuan yang menewaskan puluhan jurnalis pada tahun 2009 dan baru 10 tahun kemudian putusan terhadap para terdakwa dijatuhkan. Menurut catatan IFJ, Filipina menjadi negara yang paling mematikan bagi jurnalis. Sejak tahun 1986, total 186 jurnalis tewas dan 13 orang di antaranya tewas pada masa Presiden Rodrigo Duterte berkuasa, sejak tahun 2016.
Selain kekerasan fisik, upaya mengekang kerja pers juga dilakukan pemerintah dengan membuat aturan-aturan yang membuka peluang menjerat jurnalis dalam kerja jurnalistiknya. Kasus Maria Ressa, CEO Rappler Filipina, dan kasus stasiun televisi ABS-CBN yang tidak mendapat izin memperpanjang lisensi, menurut laporan tahunan IFJ, adalah upaya nyata dari pemerintah untuk membatasi atau bahkan menghentikan kerja jurnalis yang tidak sependapat dengan dirinya.
Undang-Undang (UU) Antiteror yang baru saja disahkan beberapa bulan lalu juga menjadi salah satu ancaman nyata selain kebijakan-kebijakan Duterte.
Di Indonesia, jurnalis sudah berhadapan dengan banyak aturan yang mengganggu kerja mereka. Meski kerja jurnalis di Indonesia dilindungi UU Pers, beberapa peraturan perundang-undangan menjadi ganjalan, mulai dari UU MD3, UU Informasi dan Transaksi Elektronik, hingga Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal pencemaran nama baik adalah pasal yang paling sering digunakan untuk menggugat kerja-kerja jurnalistik.
Timor Leste pun kini mengalami kondisi yang sama. Cukup lama menikmati kebebasan pers, kini komunitas jurnalis Timor Leste tengah berhadapan dengan rencana pembuatan undang-undang yang membatasi kerja jurnalistik. ”Bulan madu kami sudah selesai,” kata Ketua Dewan Pers Timor Leste, Virgilio da Silva.
Gangguan pada HAM
Sejak awal pandemi Covid-19 merebak, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres telah mengingatkan bahwa pandemi tidak boleh dan tidak bisa dijadikan alasan bagi setiap negara, setiap pemerintahan, untuk bersikap represif dan melanggar hak asasi manusia (HAM) warganya. HAM, kata Guterres, harus menjadi panduan bagi pemerintah dalam merespons pandemi ini serta membantu proses pemulihan krisis kesehatan, sosial, dan ekonomi.
Peringatan serupa dikeluarkan Michelle Bachelet, Komisioner Tinggi Dewan HAM PBB. Kebijakan yang represif, cenderung abai terhadap HAM, merupakan pengingkaran terhadap hak sipil dan politik warga, termasuk untuk mendapatkan informasi yang benar dari pers. Bachelet menyatakan, banyak negara berupaya untuk mengekang informasi yang dihasilkan media dalam memerangi dugaan informasi yang salah. Namun, justru hal itu merupakan bentuk pembungkaman terhadap kritik, kebebasan berpendapat, kebebasan berbicara, dan ujung-ujungnya adalah kebebasan pers.
”Transparansi adalah yang terpenting dan dapat menyelamatkan jiwa dalam krisis kesehatan,” katanya.
Baca juga : Peran Media sebagai Pengawas Semakin Penting di Masa Pandemi
Guterres menyatakan, tindakan pemerintah yang membungkam media, dengan berbagai cara di tengah pandemi, tidak bisa diterima. ”Ruang sipil dan kebebasan sangat penting. Organisasi masyarakat sipil dan sektor swasta memiliki peran penting dalam demokrasi. Dan, dalam semua hal yang kita lakukan, jangan pernah pula: ancamannya adalah virus. Bukan manusia,” kata mantan pemimpin Portugal ini.
Kerja-kerja jurnalistik pada masa pandemi harus diakui merupakan tantangan tersendiri meski tantangan dalam situasi normal juga tidak bisa dikatakan ringan. Kerja jurnalistik, berbeda dengan kerja para pendengung atau mereka yang menyebut dirinya sebagai influencer, dibatasi oleh aturan-aturan. Yang paling mendasar adalah kode etik jurnalistik.
Kerja jurnalistik yang dilandasi kode etik itulah yang bisa menjadi pegangan warga sebagai sumber referensi, sumber informasi, tepercaya. Seperti yang dinyatakan oleh Guterres dan Bachelet, kebebasan pers adalah bagian penting demokrasi. Gangguan terhadap para pembawa pesan berarti gangguan terhadap demokrasi dan pencapaian masyarakat yang demokratis. (REUTERS/AP)