Fokuskan Sumber Daya Penyelesaian Perjanjian Perbatasan
Sumber daya Indonesia untuk menyelesaikan perjanjian perbatasan terpecah di beberapa lembaga. Indonesia harus fokus karena perundingan butuh waktu panjang.
Perundingan perbatasan maritim Indonesia dengan negara-negara tetangga belum juga tuntas. Pemerintah perlu mempercepatnya agar tidak terjadi lagi tumpang-tindih klaim.
JAKARTA, KOMPAS — Penangkapan sejumlah nelayan Kepulauan Riau oleh aparat Malaysia dalam sebulan terakhir kembali menunjukkan pentingnya penyelesaian perjanjian perbatasan Indonesia dengan negara tetangga.
Perundingan memang rumit, antara lain, karena ketidakjelasan definisi materi pokok dan perbedaan lembaga yang mengurus isu maritim di negara-negara terkait.
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Arie Afriansyah, dan pengajar Ilmu Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara, Faisal Karim, Senin (24/8/202), secara terpisah sepakat bahwa insiden di perbatasan maritim Indonesia-Malaysia akan terus berulang.
Hal itu disebabkan sampai sekarang keduanya belum menyelesaikan perjanjian perbatasan maritim dan ada tumpang tindih klaim atas wilayah maritim.
Dalam satu bulan terakhir, lebih dari 10 nelayan Indonesia yang tengah menangkap ikan di perairan yang belum jelas dikuasai Indonesia atau Malaysia ditangkap aparat Malaysia. Ikan hasil tangkapan dan sejumlah barang mereka dirampas. Sebagian nelayan malah ditahan.
Baca juga: Malaysia Bertingkah Agresif di Natuna, Nelayan Lokal Jadi Bulan-bulanan
Arie mengatakan, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982 memberi panduan jelas untuk laut teritorial atau wilayah kedaulatan. Sementara untuk perairan tempat hak berdaulat, termasuk zona ekonomi eksklusif (ZEE), tak ada panduan jelas.
”UNCLOS hanya menyebutkan, diselesaikan dengan cara saling menguntungkan,” ujarnya kemarin di Jakarta.
Kendala
UNCLOS menyerahkan kepada negara pengklaim untuk merundingkan cara yang paling menguntungkan. Padahal, makna saling menguntungkan bisa ditafsirkan berbeda oleh setiap negara.
Hal itu menjadi salah satu penyebab perundingan perbatasan maritim Indonesia dengan Malaysia tidak kunjung usai. Dengan Singapura, Filipina, Thailand, Vietnam, Palau, Papua Niugini, Australia, Timor Leste, dan India juga masih ada masalah perbatasan maritim.
Bukan hanya definisi menguntungkan yang dimaknai berbeda. Sejumlah negara malah punya konsep berbeda soal ZEE. Bahkan, sejumlah negara masih berusaha menyangkal status negara kepulauan yang dijamin UNCLOS.
Baca juga: Adaptasi Mesin Diplomasi Indonesia dalam Dunia yang Berubah
Menurut Faisal, perbedaan ini membuat perundingan perbatasan membutuhkan waktu panjang. ”Indonesia membutuhkan waktu empat tahun hanya untuk menyamakan persepsi kawasan soal IUUF (ilegal, unreported, unregulated fishing) di kawasan,” kata peneliti kebijakan luar negeri dan diplomasi itu.
Salah satu kendalanya adalah lembaga yang mengurus pemanfaatan sumber daya kelautan berbeda di setiap negara. Hal ini menyulitkan koordinasi lintas negara karena koordinasi lazimnya oleh lembaga sejenis.
Solusi
Faisal menyebut, perlu solusi sementara dan jangka panjang soal perbatasan. Indonesia harus mendorong ASEAN membuat aturan pemanfaatan sumber daya kelautan dan penyelesaian tumpang-tindih klaim hak berdaulat. ASEAN juga perlu membuat aturan untuk perlindungan nelayan yang melaut di luar laut teritorial.
Sementara di dalam negeri, Indonesia perlu lebih serius hadir di perairan-perairan yang masih dalam status sengketa. Penangkapan sejumlah nelayan Kepri menunjukkan Indonesia tidak mengandalkan status quo. ”Sejumlah negara memanfaatkan armada kapal ikan untuk menunjukkan kehadirannya di perairan,” katanya.
Baca juga: Pandemi Jadi Batu Uji Diplomasi
Arie mendorong evaluasi Nota Kesepahaman tentang Pedoman Umum Perlakuan terhadap Nelayan oleh Badan Hukum Maritim Indonesia-Malaysia pada 2011. Nota itu membuat nelayan kedua negara kucing-kucingan dengan aparat.
”Lebih baik diatur cara pemanfaatan sumber daya. UNCLOS menyebut itu sebagai satu solusi sementara sampai kesepakatan akhir dicapai,” katanya.
Ia juga mendorong Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) lebih aktif mengurus perbatasan maritim. Penyelesaian perjanjian perbatasan tidak bisa ditumpukan pada satu lembaga seperti hanya ke kementerian luar negeri.
Dalam setiap perundingan, isu maritim ataupun isu lain, para perunding juga harus menyepakati pemilihan hampir setiap kata dalam naskah perjanjian atau pernyataan bersama. Bahkan, perunding harus menyepakati naskah terjemahan atas naskah asli perjanjian atau pernyataan.
Naskah utama dan terjemahan harus disepakati bersama para pihak untuk menghindari perbedaan tafsir. Sebab, perjanjian adalah hukum yang mengikat para pihak.
Perjanjian dagang
Keadaan itu yang membuat mantan Menteri Perdagangan Gita Wirjawan pernah mendorong para perunding di kementeriannya harus sangat fasih berbahasa Inggris dan asing lain. Sebab, penguasaan aneka bahasa asing dan kepiawaian bercakap menjadi kunci keampuhan diplomasi Agus Salim dulu.
Baca juga: Diplomasi Indonesia Mempersiapkan Hari Pascapandemi
Sejumlah diplomat mengatakan, paling repot jika harus merumuskan tujuan yang ingin dicapai lewat perjanjian dagang. Sebab, ada banyak kepentingan harus disesuaikan. Setelah sasaran internal ditetapkan, perunding mulai berhadapan dengan perwakilan mitra yang juga punya sasaran.
Proses awal perundingan, antara lain, mencoba mencari jalan tengah atas perbedaan keinginan dan sasaran itu. Selepas itu, baru masuk tahap pemilihan kata. Tahapan-tahapan itu menghabiskan waktu bertahun-tahun.
Faisal mengatakan, masalah perjanjian dagang Indonesia, antara lain, karena diperlukan sebagai politik luar negeri. Padahal, sejumlah negara menggunakannya untuk membuka pasar baru. Memang, beberapa waktu terakhir ada perubahan. Namun, Indonesia terkesan tidak tahu apa yang harus dijual lewat perjanjian dagangnya.
Baca juga: Diplomasi Ekonomi Diperkuat
Dalam penelitiannya, Faisal menemukan perjanjian dagang Indonesia lebih banyak didorong kepentingan korporasi berbasis sumber daya alam. Sementara negara lain memanfaatkan perjanjian dagang untuk pemasaran produk industri pengolahan dan manufaktur yang nilai tambahnya lebih tinggi.
”Tidak salah juga, karena tetap menghasilkan devisa dan volume perdagangan besar,” ujarnya.