Setelah Presiden Mali Mundur, Kelompok Pengkudeta Janjikan Pemilu
Kudeta militer di Mali mendapat kecaman dari dunia internasional. Tapi, untuk memulihkan situasi kelompok militer yang melakukan kudeta menjanjikan pemilihan umum.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·4 menit baca
BAMAKO, RABU – Kelompok militer Mali yang melakukan kudeta dan memaksa Presiden Obrahim Boubacar Keita mundur dari jabatannya berjanji akan menggelar pemilihan umum.
Dalam pernyataan yang disiarkan oleh kantor berita pemerintah ORTM, kelompok prajurit yang melakukan kudeta menyebut diri mereka sebagai Komite Nasional untuk Penyelamatan Rakyat yang dipimpin Kolonel Ismael Wague.
Diapit oleh prajurit, Wague mengajak warga sipil dan gerakan politik untuk bergabung menciptakan kondisi bagi transisi politik menjelang pemilu.
“Negara kita tenggelam dalam kekacauan, anarki, dan ketidakamanan yang mayoritas disebabkan oleh kesalahan orang-orang yang berkuasa,” kata Wague. “Dengan kalian, berdiri bersama, kita bisa memulihkan kebesaran negara ini,” tambahnya.
Presiden Keita mengundurkan diri untuk menghindari “pertumpahan darah” setelah ditahan oleh kelompok militer yang mengudeta kekuasaannya. Keita dan Perdana Menteri Boubou Cisse ditahan pada Selasa (18/8/2020) sore dan dibawa ke pangkalan militer di pinggiran Bamako.
Pada Selasa (18/8/2020), prajurit yang melakukan kudeta mengepung kediaman Keita sambil menembakkan senjata ke udara. Keita beserta perdana menteri kemudian ditahan dan beberapa jam kemudian ia tampil di kantor berita ORTM. Saat tampil, pada bagian bawah layar televisi tertulis “presiden mundur.”
“Saya ingin tidak ada darah yang tertumpah agar saya tetap berkuasa,” ujar Keita. “Saya telah memutuskan untuk mundur dari jabatan presiden.”
Keita juga mengumumkan bahwa pemerintahannya dan Majelis Nasional akan dibubarkan.
Kabar mundurnya Keita disambut gembira oleh pengunjuk rasa antipemerintah di Bamako, ibu kota negara itu.
Keita yang telah berupaya memenuhi tuntutan pemrotes melalui serangkaian konsesi mendapat dukungan dari Perancis dan negara Barat lainnya. Ia juga diyakini memiliki dukungan yang luas dari kalangan perwira militer.
Jam malam
Selain menyatakan pengunduran dirinya, Keita juga mengumumkan, perbatasan Mali ditutup dan jam malam diberlakukan antara pukul 21.00 hingga 05.00. Selama berbulan-bulan pemerintahan Keita dilanda protes akibat stagnasi ekonomi, korupsi, dan kelompok pemberontak yang brutal yang telah menewaskan ribuan warga.
Kudeta militer di Mali ini mendapat kecaman dari mitra Mali di kawasan maupun dunia internasional. Mereka khawatir mundurnya Keita membuat bekas koloni Perancis di kawasan Sahel, Afrika itu semakin tidak stabil.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres menuntut “pembebasan segera dan tanpa syarat” Keita dan Cisse. Amerika Serikat dan Perancis juga mengeluarkan pernyataan keprihatinan yang mendalam atas kudeta yang terjadi di Mali dan mendesak pergantian rezim.
Dewan Keamanan PBB dijadwalkan menggelar pertemuan tertutup Rabu siang untuk membahas situasi di Mali di mana 15.600 personel pasukan perdamaian PBB ditempatkan.
Menurut kantor kepresidenan Perancis, Presiden Perancis Emmanuel Macron mengecam pemberontakan di Mali dan mendukung upaya mediasi oleh negara-negara Afrika Barat untuk mencari solusi krisis tersebut.
Utusan Khusus AS untuk kawasan Afrika Barta, J Peter Pham, menyerukan pihak-pihak yang berkonflik di Mali untuk menahan diri dan menentang perubahan “ekstrakonsitusional”.
Sementara jurubicara Kementerian Luar Negeri China Zhao Lijian, mengatakan bahwa China menentang perubahan kekuasaan yang menggunakan kekerasan.
Keita yang dipilih scara demokratis tahun 2013 dan terpilih kembali tahun lalu masih memiliki waktu tiga tahun lagi sampai masa kepresidenannya berakhir. Namun, popularitas Keita telah merosot dan para pengunjuk rasa mulai turun ke jalan sejak Juni 2020 dan menuntut pengunduran dirinya.
Masyarakat Ekonomi Negara-Negara Afrika Barat (ECOWAS) telah mengirim mediator untuk merundingkan pihak berkonflik tapi negosiasi itu gagal karena para pemrotes hanya menghendaki mundurnya Keita.
Blok ekonomi Afrika Barat ini berencana menerapkan sanksi ekonomi dan perdagangan terhadap Mali akibat kudeta ini.
Peristiwa Selasa (18/8/2020) itu menjadi insiden pengulangan kudeta tahun 2012 yang membawa Mali dalam kekacauan bertahun-tahun akibat kosongnya kekuasaan yang memungkinkan kelompok teroris mengendalikan kota-kota di bagian utara Mali.
Akhirnya, operasi militer yang dipimpin Perancis berhasil mengusir kelompok-kelompok teroris. Akan tetapi, mereka membentuk kembali kelompok mereka dan memperluas jangkauannya selama masa kepresidenen Keita hingga ke Mali Tengah.
Kemerosotan politik Keita mirip dengan yang terjadi pada presiden sebelumnya, Amadou Toumani Toure yang dituntut mundur tahun 2012 setelah serangkaian kekalahan militer atas pemberontak separatis Tuareg.
Kali ini, militer Mali terkadang tidak berdaya untuk menghentikan kelompok pemberontak yang terkait dengan Al Qaeda dan Negara Islam di Irak dan Suriah atau NIIS.(AP/REUTERS/AFP)