Sekutu AS di DK PBB, yakni Perancis, Inggris, dan Jerman, awalnya mendorong perpanjangan embargo. Belakangan, mereka malah abstain sehingga AS gagal memperpanjang embargo senjata kepada Iran.
Oleh
kris mada
·5 menit baca
WASHINGTON, SABTU — Amerika Serikat gagal mendorong Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa memperpanjang embargo senjata terhadap Iran. Dari 15 anggota dewan, hanya AS dan Dominika yang setuju perpanjangan. Sementara dua menolak dan 11 lain, termasuk Indonesia, tidak bersikap.
Pemungutan suara untuk perpanjangan embargo itu menjadi salah satu agenda rapat yang dipimpin Wakil Tetap Indonesia untuk PBB Dian Triansyah Djani. Rapat pada Jumat (14/8/2020) waktu New York atau Sabtu dini hari WIB itu mengumumkan DK PBB tidak membuat keputusan soal perpanjangan embargo senjata terhadap Iran.
Sejak Juni 2020, AS telah menggalang dukungan untuk memperpanjang embargo senjata terhadap Iran. Embargo akan berakhir pada 18 Oktober 2020. Embargo terhadap Iran bagian dari pelaksanaan resolusi DK PBB 2231. DK mengeluarkan resolusi itu untuk mengesahkan kesepakatan nuklir Iran 2015 atau Joint Comprehensive Plan on Action (JCPOA).
PBB mulai mengenakan embargo senjata kepada Iran sejak 2007 atau dua tahun sejak rangkaian perundingan pengendalian nuklir Iran dimulai. Embargo terbaru disepakati pada 2015 dan dijadwalkan berakhir pada 18 Oktober 2020.
Menjelang akhir masa berlaku embargo, AS menggalang dukungan untuk memperpanjang embargo. Sekutu AS di DK PBB, yakni Perancis, Inggris, dan Jerman, awalnya mendorong perpanjangan embargo. Kala diadakan pemungutan suara untuk pembuatan resolusi terkait perpanjangan embargo, mereka malah abstain. Afrika Selatan, Belgia, Estonia, Indonesia, Niger, Saint Vincent-Grenadines, Tunisia, dan Vietnam juga abstain. Sementara Rusia dan China menolak.
Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mengumumkan kegagalan itu tidak lama setelah rapat selesai. ”Dewan gagal memegang tujuan dasar misinya. Dewan menolak resolusi beralasan untuk memperpanjang embargo (yang telah diberlakukan) 13 tahun terhadap Iran dan memberi jalan kepada negara penyokong terorisme untuk membeli dan menjual senjata tanpa pembatasan PBB,” tuturnya.
Pompeo menyebut, bukan hanya AS yang meminta perpanjangan embargo terhadap Iran. Israel dan negara-negara Arab juga minta hal serupa. Mereka meminta DK PBB mencegah Iran memodernkan persenjataannya.
Sejumlah analis menduga Iran akan membeli jet tempur Sukhoi Su-30, pesawat latih Yak-130, tank T-90, sistem pertahanan udara S-400, dan sistem pertahanan pesisir Bastian dari Rusia jika embargo dicabut. Pembelian besar-besaran itu bagian dari upaya Iran meningkatkan persenjataan yang sudah usang dan kalah canggih dari Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA), dua negara pesaing utama Iran di kawasan.
Dengan dana besar dan tanpa embargo, secara teknis kini persenjataan UEA dan Arab Saudi jauh lebih unggul dan modern dibandingkan dengan milik Iran. Bahkan, Arab Saudi termasuk salah satu dari lima besar importir senjata global.
Sejak 1979, AS sudah bolak-balik mengenakan embargo senjata terhadap Iran. Bahkan, Washington menyita miliaran dollar AS uang yang dibayar Iran ke AS untuk impor senjata yang disepakati sebelum Revolusi 1979. Senjata pesanan Iran tidak kunjung dikirim, sementara uang pembayarannya tidak pernah dikembalikan.
Mekanisme perselisihan
Wakil Tetap AS di PBB Kelly Craft mengatakan, AS kini akan menggunakan mekanisme perselisihan dalam Resolusi 2231. Pompeo dan Craft bolak-balik berkeras Washington tetap bisa menggunakan mekanisme itu meski AS telah keluar dari JCPOA sejak 2018.
Mekanisme itu digunakan juga oleh para penanda tangan JCPOA, yakni Iran, Rusia, China, Inggris, Perancis, Jerman, dan AS, menilai salah satu penanda tangan melanggar kesepakatan. Kala mekanisme itu diterapkan, seluruh sanksi terhadap Iran kembali diberlakukan. Prosedur itu tidak dibatalkan dengan cara apa pun, termasuk veto dari anggota tetap DK PBB. Padahal, veto anggota tetap DK PBB bisa membatalkan apa pun keputusan PBB.
Wakil Tetap China untuk PBB Zhang Jun mengingatkan, AS tidak bisa menggunakan mekanisme itu karena sudah keluar secara sepihak dari JCPOA. ”AS tidak bisa meminta DK PBB membalikkan semua sanksi,” ucapnya, seraya menegaskan mayoritas anggota DK PBB berpendapat senada.
AS akan gagal jika berupaya menggunakan mekanisme itu. Zhang juga menyebut, kegagalan AS soal embargo senjata Iran menunjukkan tindakan unilateral serta perisakan yang dilakukan AS tidak mendapat dukungan dan dipastikan gagal.
Wakil Tetap Iran untuk PBB Majid Takht Ravanchi menuding AS hanya mencari alasan untuk sepenuhnya menggagalkan JCPOA. ”Seperti telah kami sampaikan, penerapan sanksi apa pun atau pembatasan terhadap Iran oleh DK PBB akan ditanggapi serius oleh Iran dan pilihan kami tidak terbatas. AS dan semua pihak yang mendukung perilaku ilegal ini harus bertanggung jawab,” ujarnya.
Lebanon
Djani menyebutkan, rapat DK PBB yang dipimpin Indonesia bukan hanya soal embargo senjata terhadap Iran. Sebelumnya, Indonesia memimpin rapat tentang perkembangan di Guinea-Bissau. Ada pula rapat dengan negara-negara penyumbang pasukan di misi pemeliharaan perdamaian PBB di Lebanon (UNIFIL).
Rapat soal UNIFIL membahas perpanjangan mandat pasukan yang akan habis pada 31 Agustus 2020. Dalam rapat pada 11 Agustus 2020 itu, mandat UNIFIL diperpanjang lagi sampai Agustus 2021. ”Indonesia merupakan negara penyumbang pasukan terbesar di UNIFIL, dengan sekitar 1.254 personel. Indonesia bangga dapat berkontribusi langsung dalam pembahasan perpanjangan mandat misi yang sangat penting ini, terlebih di bawah kepemimpinan Indonesia di DK PBB untuk Agustus,” kata Djani.
Adapun pada 12 Agustus 2020, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi memimpin rapat soal bina damai di tengah pandemi. Ia mengatakan, bina damai harus menjadi bagian penting dalam respons global mengatasi penanggulangan pandemi dan perlu mendorong sumber daya secara optimal untuk membantu negara terdampak konflik. ”Pandemi ini dapat memperparah dinamika konflik. Namun, sejarah membuktikan bahwa krisis dapat membuka peluang bagi perdamaian,” ujar Retno.
Debat terbuka tingkat tinggi ini menghadirkan tokoh-tokoh dunia, seperti Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, mantan Sekjen PBB Ban Ki-moon, dan Direktur Center for International Cooperation New York University Sarah Cliffe. Pertemuan juga dihadiri oleh pejabat tinggi dari sejumlah negara anggota DK, yaitu menteri luar negeri Vietnam, Estonia, dan Afrika Selatan serta Minister of State Jerman. (*/AFP/REUTERS)