Singapura merilis data terbaru ekonomi kuartal II, yang memperlihatkan resesi negara itu lebih dalam dari perkiraan.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
SINGAPURA, SELASA — Resesi ekonomi yang dialami Singapura akibat pandemi Covid-19 jauh lebih dalam dari yang diduga. Kondisi itu memaksa Pemerintah Singapura merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi dan produk domestik bruto mereka tahun ini.
Laporan tentang kondisi perekonomian yang dikeluarkan Kementerian Perdagangan dan Perindustrian Singapura, Selasa (11/8/2020), menunjukkan kontraksi PDB Singapura hampir mendekati 42,9 persen pada kuartal kedua 2020 dibandingkan kuartal sebelumnya. Angka ini lebih buruk dari estimasi sebelumnya, yang dilaporkan bulan lalu berdasarkan data dua bulan, yakni 41,2 persen.
Adapun secara tahunan penurunan PDB tersebut sebesar 13,2 persen. Persentase ini lebih buruk dibandingkan estimasi semula yang memperkirakan kontraksi pada 12,6 persen.
Menteri Perdagangan dan Perindustrian Singapura Chan Chun Sing, dikutip dari laman Straits Times, Selasa (11/8/2020), menyatakan bahwa angka-angka itu merupakan kinerja kuartalan terburuk yang pernah terjadi pada Pemerintah Singapura. Dia juga menyatakan, pemulihan kondisi ekonomi akan jauh lebih lama daripada yang diperkirakan banyak pihak.
”Saya tahu banyak pihak masih mengharapkan pemulihan yang cepat dan kembali ke kebiasaan lama seperti biasa. Kebenaran yang menyakitkan adalah bahwa kita tidak akan kembali ke dunia seperti sebelum pandemi Covid-19. Pemulihan masih membutuhkan waktu dan sepertinya tidak akan mulus,” katanya.
Chan juga menambahkan, proyeksi ekonomi tahun 2020 pada dasarnya adalah kebalikan dari pertumbuhan ekonomi yang terjadi selama dua atau tiga tahun terakhir.
Keputusan Perdana Menteri Lee Hsien Loong untuk menghentikan sebagian besar aktivias perekonomian Singapura, sejak awal April hingga Juni 2020, guna memperlambat persebaran Covid-19, memberi dampak serius bagi perekonomian Singapura. Sebagian besar perekonomian negara itu bergerak pada industri jasa, perdagangan, dan keuangan. Situasi tersebut diperparah oleh melemahnya permintaan pasar akibat penurunan ekonomi global di tengah pandemi.
Dua sektor yang paling besar kontraksinya adalah sektor jasa konstruksi, sektor akomodasi, dan jasa makanan. Data Kementerian Perdagangan dan Industri Singapura menunjukkan, sektor jasa konstruksi mengalami penurunan hampir 60 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Banyaknya pekerja sektor ini yang terpapar Covid-19, menurut kementerian, menjadi salah satu faktor melemahnya sektor ini.
Sementara sektor akomodasi dan jasa makanan mengalami penurunan hingga 41,4 persen. Persentase penurunan sektor ini merupakan yang terbesar dibandingkan dengan sektor lainnya (23,8 persen) pada periode sama tahun sebelumnya.
Satu-satunya sektor yang tumbuh adalah sektor informasi dan komunikasi, yaitu 0,5 persen. Singapura merevisi perkiraan PDB tahun ini dari semula minus 4 persen hingga minus 7 persen menjadi minus 5 persen hingga minus 7 persen.
Kementerian menyebut setidaknya tiga faktor yang membuat revisi itu dilakukan, yaitu masih lemahnya pertumbuhan ekonomi global yang akan berdampak pada sektor transportasi dan industri ritel, rencana pembukaan kembali perbatasan internasional akan lebih lama dibandingkan perkiraan semula, serta sektor jasa konstruksi yang bergantung pada pekerja asing.
Selena Ling, analis keuangan Bank OCBC, menyatakan, penjelasan Pemerintah Singapura tentang kondisi perekonomian negara itu, khususnya tentang perlemahan ekonomi, adalah penilaian realistis atas situasi saat ini.
Ling memaparkan, permintaan eksternal (global) yang masih lemah akan tetap menjadi penghambat pertumbuhan, terutama di negara-negara ekonomi besar, seperti Amerika Serikat, Australia, dan Hong Kong. Negara-negara itu masih terfokus pada penanganan pandemi di wilayah masing-masing.
Adapun menurut ekonom regional CIMB PRivate Banking, Song Seng Wun, seperti dikutip dari laman CNBC, yang dibutuhkan adalah penguatan kembali ekonomi global untuk mendorong pulihnya kembali ekonomi Singapura.