Singapura Resesi, Indonesia Lebih Kuat karena Konsumsi
Resesi ekonomi yang dialami Singapura diperkirakan akan dialami Indonesia. Namun, konsumsi rumah tangga dalam negeri dinilai mampu menjaga pertumbuhan ekonomi tidak terkontraksi sedalam Singapura.
Oleh
ERIKA KURNIA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Resesi ekonomi yang mulai dialami Singapura diperkirakan akan dialami Indonesia. Namun, konsumsi rumah tangga dalam negeri dinilai mampu menjaga pertumbuhan ekonomi tidak terkontraksi sedalam Singapura.
Kementerian Perdagangan dan Industri Singapura (MTI) beberapa hari lalu mengumumkan, perekonomian mereka pada triwulan II-2020 menyusut 41,2 persen dibandingkan dengan triwulan I-2020. Secara tahunan, pertumbuhan negara tersebut minus 12,6 persen karena penutupan wilayah dan penurunan perdagangan di Singapura pada April-Juni 2020.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal kepada Kompas, Kamis (16/7/2020), mengatakan, menyusutnya pertumbuhan ekonomi Singapura sampai dua digit kemungkinan tidak akan dialami Indonesia.
”Pada triwulan kedua dan ketiga tahun 2020 kemungkinan besar pertumbuhan ekonomi kita minus, tetapi tidak akan sampai double digit seperti Singapura. Singapura sangat bergantung pada ekonomi global. Kita masih ajek, proyeksi penurunannya single digit-lah,” ujarnya.
Prediksi ini didasarkan pada besarnya potensi konsumsi rumah tangga Indonesia sebagai salah satu penopang pertumbuhan ekonomi. Pada data pertumbuhan ekonomi triwulan I-2020 yang dirilis Badan Pusat Statistik, konsumsi rumah tangga masih tumbuh 2,84 persen secara tahunan di tengah kondisi pandemi Covid-19.
”Triwulan kedua ini kami memprediksi pertumbuhan konsumsi rumah tangga akan lebih terkontraksi, tetapi tidak terlalu dalam karena diredam pelonggaran pembatasan sosial selama pandemi Covid-19,” ujar Faisal.
Daya beli
Kontraksi konsumsi terjadi seiring daya beli masyarakat di dalam negeri yang masih lemah.
”Masyarakat banyak yang turun pendapatannya,” kata Faisal.
Fenomena pelemahan daya beli juga ditangkap pelaku usaha logistik. Ketua Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) Zaldi Ilham Masita, yang dihubungi secara terpisah, menyebut konsumsi ritel yang mendorong industri logistik masih lemah. Kondisi ini terlihat dari permintaan barang dan jasa, baik secara luar jaringan (offline) maupun dalam jaringan (online).
”Namun, sejak pelonggaran pembatasan sosial, konsumsi ritel mulai bangkit lagi,” katanya.
Dengan kebijakan adaptasi kebiasaan baru, Zaldy berharap daya beli masyarakat, terutama kelas menengah, bisa kembali naik. Demikian juga dengan konsumsi kelas menengah ke bawah yang distimulus distribusi bantuan sosial dan berjalannya kembali aktivitas ekonomi.