Keluarga pelajar China khawatir bila harus mengirimkan lagi anaknya ke luar negeri. Ada laporan soal diskriminasi terhadap pelajar China di tengah pandemi Covid-19
Oleh
kris mada
·4 menit baca
Perseteruan Amerika Serikat dan sekutunya dengan China menimbulkan korban di berbagai pihak. Karena dua negara besar bertengkar, ratusan ribu pelajar telantar.
Pelajar China di Australia, salah satu negara yang dianggap AS sebagai sekutu dekat, paling duluan terombang-ambing. Keputusan Australia untuk bersikap keras pada China ditambah pandemi Covid-19 membuat banyak pelajar China kesulitan melanjutkan Pendidikan di Negeri Kanguru itu.
Pada awal Juni 2020, sebagaimanan diberitakan Global Times, Kementerian Pendidikan China mengajurkan pelajar China tidak ke Australia. Sebab, semakin banyak laporan diskriminasi terhadap pelajar Asia Timur di Australia.
Tidak hanya Kementerian Pendidikan, Kementerian Kebudayaan China juga membuat peringatan yang disampaikan untuk seluruh warga China. Lewat kedua kementerian itu, Beijing meminta warganya tidak ke Australia.
Dalam jajak pendapat terhadap 1.012 pelajar China oleh Marina Yue Zhang, dosen di Swinburne University, hanya 40 persen responden berencana meneruskan Pendidikan ke luar negeri. Salah seorang responden mengaku terlantar di Thailand gara-gara Australia mengetatkan perbatasannya. Ia terpaksa transit di Thailand untuk mengarantina diri selama dua pekan sebelum bisa ke Australia.
Kala mahasiswi itu sampai Australia, PM Australia Scott Morrison malah menganjurkan pelajar asing pulang kampung selama perkuliahan dan pembelajaran masih daring. Morrison beralasan, Australia ingin fokus mengurus warganya.
Pengumuman itu membuat keluarga mahasiswi yang responden Zhang itu harus mengeluarkan banyak uang lagi untuk membeli tiket dan biaya karantina. Beberapa bulan di China, ada pengumuman dari dua kementerian di China sehingga keluarga mahasiswi itu tidak mau lagi anaknya ke Australia.
Peringatan disampaikan kala Canberra bergabung dengan Washington untuk mendesak penyelidikan internasional soal muasal Covid-19. Beijing menilai desakan itu untuk memojokkan China. Kedutaan Besar China di Canberra sampai memperingatkan Canberra bahwa akan ada konsekuensi atas sikap Australia.
Beijing berani mengancam seperti itu karena China menghasilkan lebih dari 100 miliar dollar AS per tahun bagi perekonomian Australia. Pelancong dan pelajar China adalah salah satu sumber pendapatan Australia. Hingga 27 persen pendapatan Australia yang dikumpulkan dari aktivitas pariwisata didapat dari pelancong China. Sementara hingga 38 persen pendapatan Canberra dari jasa Pendidikan didapat dari pelajar China. Canberra bisa kehilangan belasan miliar dollar AS per tahun jika pelancong dan pelajar China tidak datang.
Dengan kontribusi sebesar itu, Australia tidak tinggal diam kala China mendorong pelajarnya tidak kembali ke Negeri Kanguru. Sejumlah perguruan tinggi dan sekolah di Australia melancarkan kampanye “Australia Welcome You”. Perwakilan sejumlah perguruan tinggi dan sekolah memvideokan diri mereka sedang memegang tulisan dalam aneka aksara China. Tulisan-tulisan itu untuk mengajak pelajar dan warga China datang ke Australia.
Selain itu, sejumlah perguruan tinggi Australia menyewa pesawat untuk menjemput mahasiswa asing. Canberra pun membuat kebijakan khusus soal penutupan perbatasannya. Kala sebagian besar pendatang asing tidak boleh masuk, pelajar asing boleh masuk ke Australia. Sayangnya, seperti ditemukan Zhang, banyak mahasiswa China tidak akan kembali ke Australia.
Amerika Serikat
Masalah mahasiswa China bukan hanya ke Australia saja. Di AS ada persoalan tidak kalah pelik. Apalagi, perseteruan AS-China terus meningkat dari hari ke hari. Dari perang dagang pada 2018, kini perseteruan Beijing-Washington meluas ke sampai ke isu Hong Kong, Laut China Selatan, hingga hak asasi manusia.
Selain itu, AS pun membuat kebijakan yang secara khusus menyasar pelajar asing. Lewat kebijakan baru di bidang keimigrasian, AS meminta semua pelajar asing meninggalkan negara itu jika sekolah atau kampus mereka menerapkan pembelajaran daring.
AS juga tidak akan mengeluarkan visa pelajar jika kampus atau sekolah yang dituju masih menerapkan pembelajaran daring. Semua mahasiswa asing, termasuk dari China, jadi sasaran kebijakan yang diumumkan pada 6 Juli 2020 itu. Sejumlah perguruan tinggi dan akademisi AS segera mendaftarkan gugatan untuk membatalkan keputusan itu. Meskipun demikian, mahasiswa asing terlanjur cemas dideportasi dari AS.
Sementara pada 14 Juli 2020, Presiden AS Donald Trump mengumumkan menunda pengucuran beasiswa Fulbright terkait Hong Kong dan China. Keputusan itu bagian dari sanksi AS terhadap China yang dinilai memberangus kebebasan di Hong Kong lewat pemberlakuan undang-undang keamanan nasional.
Keputusan itu pukulan telak bagi akademisi dan pelajar China dan Hong Kong. “Misi Fulbright untuk mendorong diplomasi kebudayaan dan pertukaran kebudayaan. Instruksi Presiden berkebalikan dengan misi itu,” kata Rachel Wong dari Fulbright Lotus, organisasi yang menyokong peserta Asia dalam program Fulbright, sebagaimana dikutip South China Morning Post.
Seorang penerima beasiswa, Canaan Morse, mengatakan ia sedih dan frustasi dengan keputusan itu. Sebab, keputusan itu membuat mahasiwa Harvard tersebut akan kesulitan melanjutkan penelitiannya di China. Padahal, ia telah membuat semua persiapan untuk penelitian doktoralnya.
James Millward, peneliti isu China yang ikut mengungkap dugaan penyiksaan warga Uighur, ikut menyesalkan keputusan Trump. Ia menyebut, keputusan Trump akan lebih menyakitkan AS dibanding China. “Saya tidak tahu apakah ini pengabaian, penghematan, atau tindakan sengaja lain. Hal yang jelas, pemerintahan ini menembak kakinya sendiri. Ini sama saja membuat kita buta terhadap China kala kita sangat membutuhkan untuk lebih memahami China,” ujarnya kepada SCMP. (AP/REUTERS)