Negara Indo-Pasifik Harus Aktif Dorong Stabilitas di Tengah Persaingan AS-China
Negara-negara kawasan Indo-Pasifik tidak boleh tinggal diam melihat kawasannya menjadi arena pertarungan kepentingan AS-China. Mereka didorong untuk mencari jalan keluar dari pertarungan dua kekuatan raksasa itu.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Persaingan antara Amerika Serikat dan China di tengah pandemi Covid-19, yang belum ketahuan ujungnya, tidak lagi bisa dipandang dari kacamata diplomasi tradisional. Apabila era Perang Dingin antara AS dan Uni Soviet lebih diwarnai perang ideologi dan militer, kini persaingan antara AS-China menyentuh hampir seluruh dimensi kehidupan.
Indonesia dan negara-negara anggota ASEAN dinilai bisa berperan aktif untuk meminimalkan dampak persaingan kedua negara itu di kawasan, tidak hanya Asia Tenggara, tetapi juga Asia secara keseluruhan. Indonesia dan ASEAN tidak bisa berpangku tangan, menunggu untuk ditarik atau secara tidak sengaja terlibat di dalam pertarungan dua negara besar itu di dalam konflik mereka.
Hal demikian mengemuka dalam sesi Kuliah Daring Centre for Strategic and International Studies (CSIS) tentang Prospek Kerja Sama Regional Indo-Pasifik Pascapandemi, Selasa (28/7/2020). Pembicara utama dalam kuliah daring ini adalah mantan Menteri Luar Negeri RI Marty Natalegawa.
”Kita sebenarnya sudah berada di dalam persaingan antara AS dan China dalam jangka waktu yang cukup lama. Namun, pandemi ini telah membuat persaingan itu menjadi semakin intensif di antara kedua negara,” kata Marty. Bahkan, persaingan keduanya di tengah pandemi ini telah membuka persaingan di wilayah yang baru antarkedua negara, yaitu kesehatan.
Keputusan AS menarik diri dari beberapa perjanjian dan forum internasional, termasuk penarikan diri AS dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dinilai Marty telah mengubah tatanan politik global. Sulitnya tercapai kesepakatan di dalam Dewan Keamanan PBB mencapai satu kesepakatan, satu suara dalam upaya gencatan senjata global, adalah salah satu indikator yang paling jelas hilangnya peran AS di dalam percaturan politik global.
China, sebaliknya, di bawah pimpinan Presiden Xi Jinping berupaya untuk mengisi tempat yang ditinggalkan oleh AS.
Persaingan kedua negara, yang kini tengah mengarah pada level permusuhan, juga ditunjukkan di wilayah-wilayah geografis tertentu, mulai dari persaingan di Laut China Selatan, wilayah Asia Timur, hingga Semenanjung Korea.
Persaingan antara AS dan China telah memperlihatkan pendekatan kepentingan nasional yang unilateral dan sepihak dibandingkan pendekatan multilateral. Namun, pada saat yang sama, ada upaya memanfaatkan lembaga atau organisasi kerja sama multilateral untuk menekan satu negara tertentu, seperti AS yang mengajak sekutunya di Uni Eropa untuk ”memusuhi” China.
Di Indo-Pasifik, menurut Marty, tarik-menarik dukungan juga terjadi antara AS dan China.
Persaingan antara dua negara besar di tengah pandemi ini, menurut dia, harus disikapi dengan lebih proaktif oleh negara-negara Indo-Pasifik. Negara di kawasan ini, menurut dia, tidak hanya bisa menjadi penonton semata, tetapi juga harus memiliki semangat untuk memiliki pandangan yang lebih luas dan berupaya mencari jalan keluar.
”Kemakmuran telah dirasakan oleh rakyat di kawasan ketika keamanan dan kestabilan politik di wilayah ini terjaga,” katanya.
Dirinya mencontohkan pemanfaatan Forum Regional ASEAN (ARF) yang bisa digunakan untuk mendorong penurunan tensi konflik di Semenanjung Korea antara Korea Utara dan Korea Selatan.
Marty juga menyarankan agar pembicaraan mengenai Kode Tata Perilaku negara-negara yang berbatasan langsung dengan Laut China Selatan diteruskan. ”Secara de facto, nilai kode perilaku ini mungkin berkurang dalam situasi politik kawasan yang dinamis. Akan tetapi, hal itu bukan berarti kita tidak bisa menyuarakannya,” ucapnya.
Mantan Sekretaris Jenderal ASEAN 2003-2007 Ong Keng Yong yang turut serta dalam diskusi tersebut mengatakan, negara-negara ASEAN harus mulai melirik halaman belakang rumahnya kembali untuk menciptakan ruang pertumbuhan wilayah ASEAN. Dia menyinggung banyak kerja sama antara negara-negara ASEAN itu sendiri, seperti Segitiga Pertumbuhan Indonesia-Thailand-Myanmar dan sejenisnya yang harus terus dioptimalkan untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat negara anggota ASEAN.
Jusuf Wanandi, Wakil Ketua Dewan Pengawas CSIS, melihat hal yang sama, seperti yang disampaikan Marty. Dia melihat adanya kemunduran, dari multilateralisme menjadi unilateral, seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Amerika Serikat. Dia mendorong negara-negara anggota forum ASEAN Plus Three untuk dimanfaatkan sebagai forum kerja sama negara-negara di Asia Timur agar stabilitas ekonomi dan politik di kawasan tetap terjaga di tengah persaingan AS-China.