Duga Ada Kerja Paksa, AS Hentikan Impor Sarung Tangan Lateks Malaysia
Pemerintah AS menghentikan impor sarung tangan lateks dari perusahaan Top Glove, Malaysia, setelah mendapatkan bukti adanya kerja paksa dalam produksi mereka. Ini adalah kejadian kedua kalinya pada 2020.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
KUALA LUMPUR, JUMAT — Pemerintah Amerika Serikat menghentikan untuk sementara waktu impor sarung tangan lateks asal Malaysia hingga batas waktu yang tidak ditentukan. Top Glove, perusahaan sarung tangan lateks asal Malaysia, diduga melakukan sistem kerja paksa terhadap para pekerja migrannya untuk memenuhi kebutuhan dunia di tengah pandemi Covid-19.
Kebijakan serupa pernah diterapkan Amerika Serikat terhadap perusahaan sarung tangan lateks Malaysia lainnya, WRP. Namun, kebijakan itu telah dicabut pada Maret lalu setelah ada perbaikan dalam iklim kerja oleh perusahaan.
Badan Kepabeanan dan Perlindungan Perbatasan AS, Kamis (16/7/2020), mengeluarkan pernyataan tentang kebijakan penghentian untuk sementara waktu impor sarung tangan lateks yang diproduksi Top Glove setelah mendapatkan cukup bukti tentang adanya kerja paksa dalam proses produksi di perusahaan tersebut.
Alex Ong, Koordinator Migrant Care Malaysia, mengatakan, tindakan Pemerintah AS dinilai tepat waktu. ”Miliaran sarung tangan diproduksi dan digunakan untuk menyelamatkan hidup. Tapi, sarung tangan ini diproduksi dengan keringat dan darah pekerja melalui eksploitasi,” kata Alex.
The Thomson Reuters Foundation pertama kali melaporkan pada 2018 bahwa pekerja migran di Top Glove bekerja berjam-jam untuk melunasi utang mereka, termasuk utang kepada agen pencari kerja yang mereka gunakan. Utang yang mereka miliki bisa mencapai 4.700 dollar Amerika Serikat atau hampir sekitar Rp 70 juta (kurs Rp 14.790 per 1 dollar AS).
Dikutip dari laman media Channel4, pekerja migran yang dipekerjakan di pabrik yang terletak tidak jauh dari Kuala Lumpur itu sebagian besar adalah pekerja migran asal Nepal, Bangladesh, dan Myanmar. Upah yang mereka dapatkan setiap jam adalah 1,08 pound sterling atau sekitar Rp 20.000, nilai upah minimum di Malaysia. Mereka harus bekerja 12 jam per hari, enam hari dalam sepekan.
Berdasarkan laporan Channel4, laba perusahaan yang sudah go public di bursa saham Malaysia dan Singapura ini juga naik sekitar 336 persen pada kuartal pertama tahun 2020 ini sejalan dengan kenaikan permintaan sarung tangan lateks selama pandemi. Harga saham perusahaan itu juga melonjak tajam, 350 persen di pasar saham Malaysia dan Singapura.
Mengutip situs resmi Top Gloves, perusahaan ini mampu memproduksi 78,7 juta pasang sarung tangan lateks setiap tahun sebelum pandemi. Perusahaan ini juga memiliki 45 pabrik di beberapa negara, salah satunya di China, dan melayani permintaan sarung tangan dari 195 negara. Pangsa pasar perusahaan ini mencakup 26 persen pangsa pasar global.
Alex mendesak manajer dana dan calon investor untuk melepas kepemilikan saham mereka jika perusahaan menggunakan pola hubungan kerja yang tidak etis dan eksploitatif. ”Sama pentingnya bagi manajer dana dan investor untuk melepas kepemilikan mereka jika perusahaan (menggunakan) model profitabilitas yang memanfaatkan eksploitasi,” kata Alex.
Glorene Das, direktur eksekutif kelompok hak-hak migran yang berbasis di Kuala Lumpur, Tenaganita, juga mendesak para investor untuk bertindak dan meminta perusahaan-perusahaan untuk menempatkan ”pekerja di atas keuntungan”.
Wahyu Susilo, Koordinator Migrant Care Indonesia, mengaku baru mendengar hal itu. Dia belum menerima kabar apakah ada pekerja migran asal Indonesia yang bekerja di pabrik sarung tangan lateks tersebut. Sedangkan Alex, ketika dihubungi, tidak memberikan penjelasan rinci tentang kemungkinan adanya pekerja migran asal Indonesia di pabrik itu.
Perbaikan
Manajemen Top Glove mengatakan akan melakukan perbaikan hubungan kerja dengan karyawannya, termasuk memutuskan hubungan dengan agen yang bertindak tidak etis dalam pola rekrutmen mereka. Mereka juga mengatakan, perusahaan akan menanggung semua biaya perekrutan pekerja migran, dihitung mulai Januari 2019. Mereka juga mengatakan masih menghitung biaya yang harus dibayar pekerja yang direkrut agen sebelum itu.
Top Glove mengatakan, pihaknya berharap dalam waktu dua pekan ke depan seluruh permasalahan bisa selesai, termasuk membenahi sistem perekrutan pekerja migran. Mereka berharap ekspor sarung tangan ke AS bisa kembali normal.
Kementerian Sumber Daya Manusia Malaysia tidak menanggapi permintaan yang meminta komentar terkait isu tersebut.
Presiden WRP Asia Pasifik Leong Wai Leong mengatakan, pihaknya telah memulai skema untuk mengganti biaya pekerja yang telah membayar biaya perekrutan yang dinilai tidak etis.
Leong menolak menjabarkan skema penggantian itu. Namun, salah seorang pekerja yang berhak mendapatkan penggantian menceritakan bahwa sekitar 1.600 pekerja masing-masing akan mendapatkan sekitar 4.500 ringgit Malaysia atau sekitar Rp 15,5 juta.
Bikesh Rai, salah seorang buruh, mengatakan, dia senang mendapatkan dana itu meski ketika perekrutan dia menghabiskan dana sekitar 830 dollar AS atau sekitar Rp 12,2 juta, sembilan tahun lalu. ”Ini adalah jumlah yang saya lupa dan bahkan tidak berharap untuk kembali,” ujar Rai, yang berasal dari sebuah desa kecil di dataran timur Nepal.
Betty Yolanda, manajer Asia di kelompok advokasi Pusat Sumber Daya Bisnis dan Hak Asasi Manusia, mengatakan, meski ada gerakan seperti itu, pandemi Covid-19 ini memperburuk perbudakan utang terhadap para pekerja migran di Asia.
”Ikatan utang semakin diintensifkan oleh banyak bisnis yang menawarkan pinjaman kepada pekerja, yang tengah menghadapi krisis keuangan, sebagai sebuah bentuk dukungan,” kata Betty. (REUTERS)