Hasil yang diperoleh calon pengganti PM Lee Hsien Loong, Heng Swee Keat, pada pemilu legislatif 2020 dinilai tidak memuaskan. Suksesi kepemimpinan di Singapura menjadi tanda tanya di tengah pandemi Covivd-19.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
SINGAPURA, MINGGU — Hasil pemilihan umum legislatif Singapura memperlihatkan penurunan dukungan yang cukup memukul Partai Aksi Rakyat (PAP), partai berkuasa di negara tersebut. Tidak hanya mengalami penurunan pada perolehan suara secara umum, PAP juga terpukul karena sosok yang digadang-gadang menjadi pengganti Perdana Menteri Lee Hsien Loong, Heng Swee Keat, tidak mendapat dukungan para pemilih seperti yang diharapkan.
Heng, yang kini menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri Singapura, hanya mendapat 53 persen suara di daerah pemilihannya, East Coast GRC. Hasil yang jauh dari harapan dan rendah dibandingkan dengan para pendahulunya.
”Ini bukan dukungan yang kuat bagi pemimpin baru Singapura,” kata Bridget Welsh, analis politik pada Asia Research Institute Malaysia, Minggu (12/7/2020). Hasil tersebut menurut Welsh menunjukkan Heng tidak memiliki daya tarik nasional seperti halnya yang dimiliki calon pemimpin Singapura.
Dukungan terhadap Heng, yang didapuk menggantikan Lee ketika usia putra pertama pendiri Singapura, Lee Kuan Yew, itu berusia 70 tahun, jauh di bawah rata-rata perolehan suara yang pernah didapatkan dua penjabat perdana menteri. PM Lee, yang turun di daerah pemilihan Ang Mo Kio, rata-rata memperoleh persentase dukungan lebih dari 70 persen sepanjang pemilu yang pernah diikutinya.
Hanya pemilu tahun 2006 PAP mendapatkan suara sekitar 66 persen. Selebihnya, hingga pemilihan terakhir tahun 2020, mereka mendapatkan persentase suara di atas 70 persen.
Persentase dukungan di atas 70 persen juga diraih mantan PM Singapura Goh Cok Tong. Pada pemilu antara tahun 1988 dan 2000, persentase dukungan untuk Goh yang bertarung di daerah pemilihan Marine Parade GRC di atas 70 persen.
Dukungan bagi PAP di kawasan Marine Parade turun drastis pada tahun 2011, hanya 56,65 persen, meski mereka sempat bangkit kembali di tahun 2015. Pada pemilihan di tahun ini, dukungan warga di kawasan itu turun kembali, hampir menyamai perolehan tahun 2011, yaitu 57,76 persen.
Lee, dalam wawancara dengan CNBC pada Oktober 2017, mengatakan, ketika dirinya berusia 70 tahun (pada tahun 2022), dia menginginkan transisi pemerintahan yang lancar kepada orang yang dipercayainya. Dia mengakui bahwa ada beberapa orang yang telah dipersiapkan dan memang telah membantunya di dalam pemerintahan. Dan, pada November 2019, Lee dan PAP mengumumkan bahwa Heng Swee Keat menempati posisi sebagai asisten Sekjen PAP, yang juga dibaca sebagai tangga suksesi menuju kursi PM Singapura ketika Lee lengser.
Dikutip dari laman The Straits Times Singapura, Lee mengatakan, sangatlah penting bagi dirinya dan Singapura untuk merencanakan suksesi yang teratur dan terencana. Heng dan kawan-kawan yang akan didapuk oleh PAP untuk menggantikan posisi Lee dan kabinetnya sekarang ini, menurut Lee, membutuhkan waktu transisi agar bisa menyesuaikan diri dalam menangani urusan pemerintahan dan kenegaraan, termasuk salah satunya menempatkan Heng sebagai pimpinan bersama Dewan Kerjasama Bilateral Bersama (JCBC) antara Pemerintah China dan Singapura. Penempatan Heng di posisi penting itu dinilai banyak pihak untuk memberikan kesempatan baginya tampil di panggung internasional.
Namun, hasil pemilu legislatif 2020 yang menunjukkan kenyataan yang berbeda, menurut Tan Bah Bah—mantan jurnalis senior The Straits Times, dikutip dari The Independent , bisa dimaknai sebagai sebuah referendum bagi partai berkuasa, PAP. ”Sederhananya, Singapura memiliki krisis kepemimpinan,” kata Tan.
Tan menyatakan, tidak hanya Heng yang didapuk sebagai pengganti Lee nantinya, tetapi para sekondan yang akan membantu Heng menjalankan pemerintahan juga tidak mendapat dukungan yang memuaskan dari para pemilih. Dia menyebut tiga nama lain, yaitu Chan Chun Sing, Lawrence Wong dan Ong Ye Kung, semuanya petinggi PAP dan sekondan Heng, mengalami nasib serupa dalam pemilihan kali ini.
”Partai tidak bisa memaksa Wakil PM Heng untuk mengisi jabatan yang tidak sesuai baginya. Sangat disesalkan bahwa standar yang diinginkan rakyat Singapura bagi seseorang yang layak menduduki jabatan PM sangat tinggi,” kata Tan.
Hasil yang diperoleh PAP, menurut analis politik dari Harvard-Yenching Institute, Chong Ja Ian, membuka kembali pertanyaan tentang siapa pemegang tampuk kekuasaan Singapura setelah Lee lengser dua tahun lagi. ”Tidak ada yang tahu pasti. Tapi, pertanyaan ini pasti akan muncul,” kata Chong.
Nydia Ngiow, direktur lembaga konsultan BowerGroup Asia, dikutip dari The South China Morning Post, mengatakan, meski hasil yang diperoleh Heng tidak bisa menjadi tanggung jawab Heng semata, banyak pihak akan mempertanyakan proses transisi kepemimpinan PAP dan Singapura nantinya. ”Akan sangat menarik bagaimana hasil ini akan memengaruhi konferensi internal partai di akhir tahun ini,” kata Nydia.
Sebuah pernyataan PM Lee setelah kemenangan yang menyatakan keinginannya untuk melihat krisis ini selesai, bisa dilalui dengan baik oleh rakyat Singapura, dibaca oleh para analis sebagai sebuah pernyataan bahwa dia dapat menunda rencana pensiunnya pada tahun 2022.
”Anda bisa memegang janji saya. Bersama dengan kolega-kolega seperti Teo Chee Hean dan Tharman Shanmugaratnam, juga para menteri di kabinet 4G, saya bertekad menyerahkan Singapura secara utuh dan dalam kondisi kerja yang baik kepada tim berikutnya,” katanya. Dia juga menyatakan, di tengah pandemi Covid-19, negara membutuhkan pemerintahan yang cakap dan mendapat dukungan penuh dari rakyat lebih dari sebelumnya. (AP/Reuters)