Sejarah Amerika Ditulis Ulang?
Citra Amerika Serikat sebagai negara demokrasi yang menjunjung kesetaraan tercoreng oleh politik identitas Presiden Donald Trump. Kebijakan rasialisme dan antimigran turut membuat AS kian jauh dari cita-citanya.
Pandemi Covid-19 membuat suasana peringatan hari kemerdekaan Amerika kali ini, 4 Juli 2020, tidak terasa getarannya. Sebaliknya, dinamika dan suhu politik dalam negerinya terus ”meninggi”. Ini bukan saja karena Amerika baru saja dilanda gelombang besar demonstrasi menentang rasialisme, melainkan juga karena Amerika kini memasuki tahap krusial kampanye pemilihan presiden (pilpres) pada November mendatang.
Bagaimana tren besar politik Amerika seandainya Trump kembali menang? Seandainya Trump menang lagi dan meneruskan kebijakannya yang antimigran dan rasialis, apa implikasinya buat Amerika?
Trump memang penuh kejutan, seperti ketika dia mengalahkan Hillary Clinton dalam Pilpres 2016. Tentang kemenangannya itu, saya kutip Francis Fukuyama dalam buku terbarunya, IDENTITY: The Demand for Dignity and the Politics of Resentment (2018).
”Buku ini tidak akan ditulis kalau Donald Trump tidak terpilih sebagai presiden pada November 2016. Seperti banyak warga Amerika, saya terkejut dengan hasil itu dan terusik dengan implikasinya terhadap Amerika dan dunia,” tulis Fukuyama dalam pengantar buku di atas.
Fukuyama melanjutkan ”....jauh sebelum pemilihan Trump, berbagai lembaga Amerika sedang membusuk karena negara terperangkap oleh sekelompok kepentingan yang kuat dan terkunci dalam struktur kaku yang tidak dapat mereformasi dirinya sendiri. Trump sendiri adalah produk sekaligus kontributor pembusukan itu....”
Namun, bukan hanya Fukuyama yang terkejut dan bereaksi seperti itu. Beberapa pemikir kontemporer terkemuka Amerika juga terkejut dan memberikan pendapat yang sama. Misalnya, Levitsky dan Ziblatt dalam buku How Democracy Dies (2018) atau Amy Chua dengan bukunya Political Tribes (2018).
Fukuyama, Levitsky dan Ziblatt, serta Amy Chua memberikan reaksi senada tentang Trump yang dianggap telah mencemari prinsip kebebasan dan kesetaraan dalam tradisi Amerika. Penilaian itu terkait sikap dan kebijakan Trump yang diskriminatif dan rasialis terhadap warga kulit hitam, kaum migran, dan minoritas lainnya. Kebijakan Trump yang rasialis telah menghidupkan kembali menguatnya sentimen pengelompokan politik dalam berbagai bentuk dan saling beririsan: dari ras, etnik, agama, hingga ke pengelompokan ”kelas”. Pengelompokan inilah yang disebut Amy Chua sebagai political tribes.
Fenomena political tribes dalam empat tahun terakhir ini tampak mulai menggerogoti kebesaran Amerika sebagai suatu melting pot atau super groups (istilah Amy Chua), yang dibangun di atas cita-cita kebebasan, persamaan, dan kesetaraan tanpa memandang perbedaan asal-usul ras, etnik, dan agama.
Kebesaran Amerika yang sering diungkapkan dalam semboyan ”The Great American” dan ”The American Dream” memang berakar kuat dalam spirit kemerdekaan yang melahirkan negara itu sebagaimana ditegaskan dalam The Declaration of Independence 4 Juli 1776 dan dalam konstitusi Amerika: ”All men created equal”.
Kini, kebesaran dan keagungan Amerika yang menjadi model bagi demokrasi di seluruh dunia mulai terusik di bawah Trump. Dia tanpa sungkan mempertontonkan sikap dan kebijakan diskriminatif dan rasis terhadap warga minoritas kulit hitam dan migran dari Asia dan Amerika Latin, juga migran beragama Islam. Lebih dari itu, sikap dan kebijakan Trump telah mendorong berbagai tindakan rasis dari warga mayoritas kulit putih yang kembali menghidupkan prinsip white supremacy.
Maka, fenomena political tribes yang dikemukakan Amy Chua menjadi semakin kompleks, dari ras dan etnik hingga ke politik identitas dan populisme (kanan). Ada kelompok warga kulit hitam Amerika yang menentang diskriminasi, ada kelompok migran yang menuntut keadilan. Sebaliknya, muncul beberapa kelompok kulit putih yang jelas-jelas bertindak rasis dan diskriminatif, dengan mengusung tema white supremacy.
Celakanya, kata Amy Chua, masing-masing kelompok ini menganggap dirinya representasi Amerika yang sah sekaligus ingin mempertahankan ”nilai-nilai Amerika”. Padahal, kata Chua, mereka sedang menebarkan racun berbahaya bagi masa depan Amerika. Namun, apakah fenomena terkini dengan kebangkitan politik identitas dan populisme yang menodai spirit kesetaraan (equal) dan demokrasi Amerika adalah semata karena sikap dan kebijakan seorang Trump?
Fukuyama, Amy Chua, ataupun pengamat lainnya sama-sama menilai, sekalipun ada ”kontribusi” Trump sebagai presiden, diakui Trump bukan satu-satunya penyebab di balik semua fenomena di atas. Sebaliknya, fenomena politik identitas dan populisme kanan adalah juga akibat dari kebijakan ekonomi politik pemerintahan sebelum Trump.
Kegagalan kebijakan ekonomi liberal dan pasar bebas di Amerika (dan juga sebagian Eropa) ternyata ikut berkontribusi. Kegagalan ini berdampak pada jaminan kesetaraan ekonomi bagi semua kelompok, menimbulkan marginalisasi kelas pekerja. Perubahan pola investasi dari sektor manufaktur dan agroindustri ke sektor jasa, IT, dan ekonomi kreatif menyebabkan banyak pekerja, termasuk white working class, termarjinalisasi. Kelompok terakhir ini lalu menganggap diri mereka sebagai ”minoritas baru” karena mereka sudah terbiasa menikmati privelese dalam strata sosial ekonomi Amerika sebelumnya.
Pada saat yang sama, kelas pekerja kulit putih ini menuduh kehadiran kaum migran dan warga kulit hitam yang semakin besar jumlahnya ikut berperan dalam proses marjinalisasi. Namun, marjinalisasi bukan saja dalam bidang ekonomi. Suatu survei menunjukkan banyak warga kulit putih merasa bahwa secara sosial dan kultural Amerika sekarang didominasi oleh warga kulit hitam dan para migran. Apalagi, jumlah populasi mereka terus meningkat.
Kegagalan kebijakan ekonomi liberal dan pasar bebas yang berdampak pada marjinalisasi kelas pekerja warga kulit putih inilah yang kemudian dengan jeli dimanfaatkan Trump pada masa kampanye presiden 2016. Trump berhasil meraih dukungan kelas pekerja kulit putih melalui tema-tema kampanyenya yang terang-terangan rasis dan diskriminatif, membangkitkan kembali sentimen white supremacy yang seolah tergusur bahkan terancam.
Sebagian janji-janji kampanyenya yang rasis itu benar-benar diwujudkan ketika dia terpilih dan berkuasa empat tahun terakhir ini. Tidak mengherankan politik identitas dan populisme kanan akhirnya menguat di negara yang dulu sangat menjunjung kebebasan dan kesetaraan, sesuai semboyan dalam The Declaration of Independence dan Konstitusi Amerika: All men created equal.
Tindakan rasis aparat kepolisian yang menyebabkan tewasnya seorang warga kulit hitam, George Flyod, 20 Mei lalu, adalah sebuah simpul dari fenomena politik identitas yang tengah marak di negeri kampiun demokrasi itu. Bahwa tindakan rasis itu lalu mengundang gelombang demonstrasi dan kerusuhan sosial berskala besar, itu adalah konsekuensi dari politik identitas yang terus berlanjut. Amy Chua, seperti halnya Fukuyama serta Levitsky dan Ziblatt, juga pemikir kontemporer Amerika lainnya, sesungguhnya risau dengan masa depan negara mereka (mereka semua adalah warga Amerika keturunan migran).
Amy Chua menyatakan, dulu warga Amerika membanggakan sejarah mereka sebagai negara yang mengagungkan kebebasan, kesetaraan, dan kesempatan bagi setiap orang (a land of freedom and opportunity), tetapi sekarang mereka mulai khawatir sejarahnya akan berubah.
”Buku sejarah akan ditulis ulang, yang menggambarkan Amerika sebagai sebuah negara dengan rasisme dan kekerasan”.
(Manuel Kaisiepo, Menteri Negara Percepatan Pembangunan Kawasan Timur 2001-2004, wartawan Kompas 1984-2000)