Wabah Korona Dorong Perempuan Kembali ke Titik Nol
Kebijakan karantina untuk mencegah penyebaran penyakit Covid-19 menggoyang sektor jasa yang selama ini banyak diisi oleh tenaga kerja perempuan. Ini berbeda dari krisis keuangan 2008 yang lebih berat memukul laki-laki.
Oleh
Luki Aulia
·5 menit baca
Banyaknya industri jasa yang terpaksa tutup, seperti bar, gedung pertemuan, salon tata rambut, hotel, pub, dan restoran, membuat posisi perempuan menjadi cenderung lebih rentan dipecat atau berhenti dari pekerjaan. Jenis-jenis pekerjaan sektor jasa itu terdampak wabah korona karena mengedepankan interaksi langsung antarindividu yang justru kini sedang dihindari.
Belum lagi dengan kebijakan menutup sekolah agar anak-anak tak tertular virus. Bagi perempuan, situasi ini lebih tidak menguntungkan karena perempuan lebih sering mengajari atau setidaknya mendampingi anak belajar. Hal ini juga berlaku bagi perempuan yang harus tetap bekerja dari rumah. Jadi, mereka tetap harus bekerja dan tetap harus menangani kegiatan belajar anak pada waktu yang bersamaan.
Bagi Naomi, seorang konsultan manajemen, mengerjakan dua pekerjaan dalam waktu bersamaan sangatlah berat. Kepada harian Inggris, The Guardian, 23 Juni lalu, ia menceritakan susahnya menjalani keseharian di rumah bersama dua anaknya yang berusia enam dan tujuh tahun. Kedua anaknya sama-sama harus belajar jarak jauh.
“Saya jadi guru, tukang masak sekolah, tukang bersih-bersih sekolah, semua saya lakukan. Setelah anak-anak tidur, harus kembali bekerja lagi. Hampir 24 jam saya bekerja tanpa henti,” ujar Naomi.
Ia lalu meminta keringanan jam kerja pada atasannya. Beruntung, atasannya memberi keringanan. Kini ia bisa sedikit bernapas lega. “Saya sudah mencoba. Sudah mencoba segala cara. Tetapi, saya hanya manusia biasa, dan ini sudah sampai di batas saya. Lebih lama lagi, saya bisa tumbang,” ujarnya.
Para peneliti di University of Sussex, Inggris, mengingatkan adanya kemunduran dalam cara hidup perempuan karena dalam studi mereka ditemukan sebanyak 70 persen ibu mengaku bertanggung jawab sepenuhnya pada pembelajaran anaknya di rumah. Sebanyak 67 persen perempuan yang bekerja merasa gagal menjadi orangtua.
Pengajar Ilmu Ekonomi di Cambridge University, Christopher Rauh, mengatakan bahwa di Amerika Serikat dan Inggris, misalnya, perempuan lebih rentan kehilangan pekerjaan karena mereka yang biasanya bekerja di sektor jasa. “Kalau kehilangan pekerjaan, bukan hanya kehilangan pendapatan, melainkan juga banyak kehilangan hal lain,” ujarnya.
Ketika kebijakan karantina dilonggarkan atau dicabut, industri jasa merupakan bidang usaha paling terakhir yang boleh dibuka kembali. Hal ini karena industri jasa berinteraksi langsung dengan banyak orang. Di Inggris, misalnya, aturan harus tinggal di rumah saja sudah mulai dilonggarkan. Namun, pub, bar, dan restoran, menurut rencana, baru boleh mulai buka lagi pada 4 Juli mendatang.
Usaha-usaha yang diperbolehkan buka kembali di Inggris adalah pasar-pasar tradisional di lokasi terbuka dan usaha otomotif. Sebagian sekolah pun sudah mulai beraktivitas kembali meski secara resmi tahun ajaran baru akan dimulai pertengahan Juli atau September mendatang.
Kerja dobel
Menurut lembaga kajian Institut Studi Fiskal, perempuan mengalami kemungkinan kehilangan atau berhenti dari pekerjaan 1,5 kali lebih besar dibandingkan laki-laki. Dibandingkan dengan laki-laki, perempuan juga cenderung lebih mungkin untuk diberi waktu cuti atau dibayar sementara dengan skema simpanan pekerjaan yang diterapkan Pemerintah Inggris.
Seorang ibu, secara tradisional, diasumsikan harus mengutamakan pekerjaan rumah yang tidak dibayar dibandingkan dengan pekerjaan profesional mereka. Mereka bahkan harus bekerja lebih keras lagi.
Sarah, yang bekerja di industri perfilman London, Inggris, setiap hari harus bekerja hingga pukul satu pagi untuk menyelesaikan pekerjaannya sebelum tenggat. Ia baru bisa bekerja setelah anak-anaknya tidur. ”Saya tidak berani meminta pengaturan kerja yang khusus buat saya karena kondisi seperti itu. Saya tidak mau mereka berpikir, saya tidak mampu,” ujarnya.
Posisi orangtua tunggal lebih tidak enak lagi karena harus melakukan semuanya sendiri. ”Pada saat awal-awal karantina, kondisinya mengerikan,” kata seorang ibu tunggal yang bekerja di industri farmasi di Paris, Perancis, yang tidak mau disebut namanya.
Ia mengaku tidak bisa mengelola waktunya dengan baik. Ia harus tunggang langgang menangani semua pekerjaan dalam waktu bersamaan. Ia harus rapat melalui konferensi video, mendampingi anak yang belajar jarak jauh, memasak, dan mengerjakan semua pekerjaan rumah.
”Rasanya seperti ikut lari maraton setiap hari. Melelahkan sekali. Saat karantina begini, pasti ibulah yang mengurus anak. Rasanya kita seperti kembali ke masa 50 tahun lalu,” ujarnya.
Balik ke titik nol?
Harian bisnis, The Financial Times, juga mempertanyakan apakah kondisi darurat kesehatan membuat posisi perempuan kembali ke titik nol lagi, seperti pada masa-masa tahun 1950-an saat tenaga kerja perempuan masih diperlakukan tidak adil dari sisi jam kerja dan upah.
Berbeda dari kondisi saat ini, ketika terjadi krisis keuangan global pada 2008, kaum laki-laki menjadi korban pemecatan karena mendominasi sektor produksi, seperti konstruksi dan manufaktur, yang paling parah terdampak. ”Pada saat resesi 2008, laki-lakilah yang pertama terkena dampak,” kata C Nicole Mason, Kepala Lembaga Kajian Institut Penelitian Kebijakan Perempuan di Amerika Serikat.
Namun, tidak demikian halnya pada krisis kali ini. Sekarang perempuan menjadi korban karena perempuanlah yang banyak bekerja di sektor jasa. Perempuan akan lebih banyak menganggur karena kehilangan pekerjaan dibandingkan dengan laki-laki.
Mathias Doepke dari Northwestern University dan Michele Tertilt dari University of Mannheim, Jerman, seperti disebutkan majalah The Economist, 4 Juni lalu, memperkirakan bahwa tiga perempat dari naik turunnya siklus lapangan pekerjaan pada tahun 1989-2014 adalah karena laki-laki kehilangan dan mendapatkan pekerjaan. Sebaliknya, perempuan menjadi pihak yang menstabilkan.
Lapangan pekerjaan di sektor jasa yang didominasi perempuan cenderung tidak stabil. Persoalan menjadi lebih berat bagi perempuan karena perempuan harus mulai bekerja atau menambah jam kerja ketika suami atau pasangannya kehilangan pekerjaan.
Terlepas dari semua itu, pandemi Covid-19 setidaknya telah membuat bekerja jarak jauh—bekerja di rumah atau di luar kantor—kini menjadi normal. Sebelum ini, hanya satu dari 50 orang di Amerika Serikat yang bekerja penuh dari rumah. Pada April lalu, satu dari tiga orang di negara itu melakukan pekerjaan dari rumah mereka.
Mengingat konsep bekerja dari rumah kini telah teruji, kata Nicholas Bloom dari Stanford University, seperti dikutip The Economist, "Kita tidak akan kembali ke dunia cara lama". Situasi ini mungkin menjadi kabar menggembirakan bagi para ibu, yang mendapatkan pekerjaan yang cocok untuk dilakukan bersama anak-anak mereka dengan jam kerja lebih fleksibel dan tak banyak bepergian.
Situasi itu tentu menguntungkan bagi lulusan universitas dengan pekerjaan yang mudah dilakukan dari rumah. Namun, para perempuan dengan pendidikan rendah tak mendapatkan kenyamanan itu. Hilangnya tuntutan atasan dan pekerjaan tambahan merawat anak membuat masa depan pekerjaan mereka makin suram. (AFP/SAM)