Jutaan Pekerja Migran Pulang Kampung, Hadirkan Krisis Baru di Tengah Pandemi
Banyak pekerja migran tak terjangkau bantuan pandemi Covid-19. Padahal, pekerja migran berjasa besar dalam pembangunan di banyak negara. Perlu ada kerja sama penanganan pekerja migran antara negara asal dan bantuan.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
Jutaan pekerja migran kehilangan pekerjaan akibat pandemi Covid-19 dan akan pulang ke negara masing-masing. Organisasi Buruh Internasional atau ILO menilai, masalah pekerja migran ini akan menjadi krisis yang sama parahnya dengan krisis pandemi Covid-19. Pasalnya, negara tempat tinggal para pekerja migran juga tengah kesulitan memulihkan perekonomian dan mencari jalan keluar menangani tingkat pengangguran yang tiba-tiba melonjak.
”Ini potensi krisis di dalam krisis,” kata Direktur Departemen Situasi Kerja dan Kesetaraan di ILO Manuela Tomei, Rabu (24/6/2020).
ILO memperkirakan terdapat sedikitnya 164 juta pekerja migran di seluruh dunia, dan hampir separuhnya adalah perempuan dengan jumlah sekitar 4,7 persen dari total semua tenaga kerja di dunia.
Selama pandemi Covid-19, banyak pekerja migran tidak bisa pulang ke kampung halaman karena ada larangan bepergian. Akibatnya, mereka terjebak dalam kondisi tidak bekerja. Meski demikian, banyak pekerja migran tetap berusaha untuk pulang. Nepal, misalnya, kemungkinan akan menerima 500.000 pekerja migran yang pulang kampung karena kehilangan pekerjaan. Mereka mayoritas bekerja di Timur Tengah dan Malaysia.
India telah merepatriasi lebih dari 220.000 pekerja migran yang mayoritas datang dari negara-negara Teluk. Direktur Departemen Pekerja Migran ILO Michelle Leighton mengatakan, lebih dari 250.000 pekerja migran sudah kembali ke Bangladesh, sedikitnya 130.000 pekerja pulang ke Indonesia, dan sekitar 100.000 orang ke Myanmar.
Etiopia juga harus bersiap-siap karena akan ada 200.000 hingga 500.000 orang yang kembali ke negara itu pada akhir tahun ini. ILO menjelaskan bahwa di banyak negara, pekerja migran terkonsentrasi di sektor-sektor yang penting selama kebijakan karantina berlaku, yakni sektor layanan kesehatan, transportasi, jasa, pekerjaan domestik, dan pertanian. Namun, tetap saja mereka kehilangan pekerjaan dan pendapatan saat krisis ekonomi.
Perempuan rentan
ILO juga menyebutkan, pekerja migran perempuan yang bekerja di sektor domestik dan layanan kesehatan merupakan kelompok yang paling rentan terdampak saat krisis. Hal ini karena mereka harus bekerja dobel di luar dan di dalam rumah dengan mengurus semua keluarga di rumah yang sama-sama terjebak karena karantina.
Tomei mengatakan, pekerja migran biasanya bekerja di sektor yang sulit untuk menjaga jarak fisik. Selain itu, para pekerja juga banyak yang mengambil pekerjaan sementara. Ketika mereka kehilangan pekerjaan, sering kali mereka juga kehilangan izin kerja dan tempat tinggal. Itulah yang kemudian membuat status mereka menjadi tidak jelas dan tanpa perlindungan apa pun.
Pekerja migran, lanjut Tomei, tidak terjangkau oleh bantuan-bantuan terkait dengan pandemi Covid-19. Padahal, pekerja migran berjasa besar dalam pembangunan di banyak negara. Untuk itu, sebaiknya kepentingan para pekerja migran mulai dimasukkan ke dalam rencana nasional.
Semua negara di dunia mesti bekerja sama untuk menangani pekerja migran, terutama di antara negara asal dan negara tujuan. Pekerja migran yang pulang ke kampung halaman diharapkan bisa membagikan pengalaman dan keterampilannya agar dapat membantu pemulihan ekonomi negara asal setelah pandemi. Namun, di sisi lain, setelah pekerja migran itu pulang kampung, keluarga mereka akan mengalami kesulitan ekonomi karena tidak ada lagi kiriman uang dari anggota keluarga yang menjadi pekerja migran. (REUTERS/AFP)