Trump Picu Konflik Baru dengan Perusahaan Teknologi
Larangan visa kerja akan berimbas pada hingga 219.000 pekerja asing. Industri teknologi termasuk sektor yang terdampak larangan itu. Aneka visa kerja untuk masuk AS tidak diterbitkan sampai akhir 2020.
Oleh
kris mada
·5 menit baca
WASHINGTON DC, SELASA — Presiden Amerika Serikat Donald Trump memicu konflik baru dengan perusahaan-perusahaan teknologi di negara itu. Hal itu ditandai oleh langkah Trump memperpanjang larangan penerbitan visa kerja.
Trump mengesahkan instruksi presiden soal perpanjangan itu pada Senin (22/6/2020) sore waktu Washington atau Selasa WIB. Aneka visa kerja untuk masuk AS tidak diterbitkan sampai akhir 2020.
Larangan pertama diterbitkan pada April 2020 dan berlaku sampai akhir Juni 2020. Selanjutnya, Trump menerbitkan perpanjangan yang mulai berlaku pada 24 Juni 2020. Seperti kala menerbitkan larangan pertama, Trump beralasan warga AS membutuhkan setiap lowongan kerja di negara itu.
Hingga pertengahan Juni 2020, pandemi Covid-19 telah membuat 45 juta warga AS kehilangan pekerjaan. Larangan visa kerja akan menyediakan hingga 525.000 lapangan kerja.
Penyediaan ulang lapangan kerja dan pemulihan ekonomi setelah pandemi Covid-19 penting bagi AS dan Trump. Peluang keterpilihan ulang Trump antara lain bergantung pada penyediaan ulang lapangan kerja dan pemulihan ekonomi.
Karena itu, Trump melakukan berbagai upaya untuk menyediakan sebanyak mungkin lapangan kerja bagi warga AS. Larangan itu salah satu upayanya. Larangan itu hanya berlaku untuk orang yang masih di luar AS sejak peraturan diterbitkan.
Sementara untuk yang sudah di AS, keluarga bagi warga AS, pekerja pada industri pangan, maupun orang-orang yang dinilai bermanfaat bagi kepentingan nasional AS akan dikecualikan dari larangan itu.
Departemen Keamanan Dalam Negeri AS juga melarang pencari suaka mendapat izin kerja. Larangan itu menambah hambatan pagi imigran untuk mendapat pekerjaan di AS.
Sementara Migration Policy Institute (MPI), lembaga kajian di Washington DC, menaksir larangan penerbitan visa kerja akan berimbas pada hingga 219.000 pekerja asing. Industri teknologi termasuk sektor yang terdampak larangan itu. Larangan itu membuat peneliti dan teknisi asing tidak bisa masuk AS.
”Mengapa diam mau melarang tenaga kerja yang membantu pemulihan ekonomi?” tanya pengurus Asosiasi Pengacara Imigrasi AS, Greg Chen, kepada CNN.
Perwakilan Twitter, Jessica Herrera-Flanigan, menyebut larangan itu justru menyakiti perekonomian AS. ”Proklamasi itu melemahkan aset terpenting AS keragaman. (Larangan) secara sepihak dan tidak perlu itu mengurangi daya Tarik global AS. Akan ada kelangkaan tenaga kerja berketerampilan tinggi dan sangat merusak kekuatan ekonomi AS,” ujarnya.
Sebelumnya, Twitter sudah bersitegang dengan Trump gara-gara melabeli cuitan Presiden AS itu sebagai hal yang membutuhkan pemeriksaan fakta. Tidak ada satu kepala negara pun, kepala pemerintahan, atau tokoh dunia yang pernah mendapat perlakuan seperti itu. Trump marah dan mengancam akan menekan Twitter serta perusahaan teknologi AS lainnya.
Keberatan perusahaan lain
Bukan hanya Twitter yang keberatan dengan larangan itu. ”Mencegah profesional berketerampilan tinggi untuk masuk dan berkontribusi pada pemulihan ekonomi AS menimbulkan risiko pada daya saing AS. Menyambut pemilik bakat terbaik menjadi semakin penting,” demikian pernyataan Amazon.
Seperti Twitter, Amazon juga lama bersitegang dengan Trump. Secara terbuka, Trump mengancam perusahaan pos AS untuk menaikkan biaya layanan pengantaran aneka barang yang dibeli dari Amazon.
Ketegangan itu dipicu perseteruan Trump dengan pendiri Amazon, Jeff Bezos. Selain memiliki Amazon, orang terkaya di dunia itu juga memiliki Washington Post yang kerap menerbitkan kritik ke Trump.
Perusahaan teknologi AS lainnya, Twitter, juga menyesalkan larangan itu. Sejak Mei, sejumlah perwakilan perusahaan teknologi menyurati Trump untuk memberi tahu bahwa visa kerja berperan penting dalam kelangsungan ekonomi.
Pekerja asing memungkinkan banyak karyawan AS bisa bekerja dari jauh selama pandemi. Mereka berperan penting dalam menjaga kelangsungan usaha dan menghubungkan orang.
”Kecewa dengan proklamasi hari ini. Kami akan terus bersama imigran dan memperluas kesempatan untuk semua,” tulis pimpinan Google, Sundar Pichai, di media sosial. Pichai lahir dan besar di India sebelum bekerja dan menjadi warga AS.
Bursa membaik
Masih terkait pemulihan ekonomi, indeks harga saham di sejumlah negara meningkat di tengah peluang pemulihan ekonomi yang lebih cepat setelah pandemi. Pelonggaran isolasi dan pengucuran stimulus triliunan dollar AS di banyak negara mendorong kegairahan pelaku pasar.
”Kalau banyak tunai, ekonomi mulai pulih, inflasi rendah, suku bunga rendah, maka ada landasan kuat untuk menaikkan saham. Akan tetapi, masih banyak ketidakpastian dan kami kira ada beberapa kerawanan sebelum tren kenaikan akan terus berlanjut,” kata analis dari Crossmark Global Investment, Victoria Fernandez.
Indeks di Hong Kong naik 1 persen, Tokyo 0,9 persen, dan Shanghai 0,2 persen pada perdagangan Selasa siang. Sementara Seoul bertambah 0,3 persen meski ada tanda gelombang kedua pandemi Covid-19 di Korea Selatan.
Bahkan, indeks Mumbai tetap naik di tengah peningkatan laju infeksi Covid-19 di India. Hingga Selasa, India mencatat 440.685 kasus infeksi dan 14.015 kasus kematian akibat Covid-19. Dalam dua pekan terakhir, laju infeksi harian di India melebihi 10.000 kasus.
Di seluruh dunia, kini tercatat 9,1 juta kasus infeksi dan 474.467 kasus kematian akibat Covid-19. Pekan lalu, tercatat rekor penambahan kasus harian, yakni 181.581 kasus infeksi pada 19 Juni 2020.
Dengan masing-masing 2,3 juta kasus dan 1,1 juta infeksi, AS dan Brasil menempati peringkat dua daftar negara paling banyak infeksi Covid-19. India di peringkat keempat setelah Rusia.
Sementara Arab Saudi dengan 161.005 kasus infeksi ada di peringkat ke-15. Laju dan jumlah infeksi tinggi menjadi salah satu alasan Riyadh melarang warga asing masuk untuk melaksanakan ibadah haji tahun ini.
Ibadah haji 2020 hanya diselenggarakan untuk orang-orang yang sudah berada atau diam di Arab Saudi. (AP/REUTERS)