Dari 260 juta anak yang tak sekolah itu (sekitar 17 persen dari total semua anak usia sekolah di dunia), mayoritas di antaranya tinggal di kawasan Asia Selatan, Asia Tengah, dan sub-Sahara Afrika.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
Akibat pandemi Covid-19, kemiskinan dan diskriminasi ketidaksetaraan pendidikan kian parah. Dampaknya, semakin banyak anak yang tidak bisa mengakses pendidikan di sekolah. Padahal, pada tahun 2018 saja sedikitnya 260 juta anak dan remaja atau lebih dari seperempat miliar anak dan remaja tidak dapat mengakses pendidikan di sekolah.
Laporan UNESCO, Selasa (23/6/2020), menyebutkan bahwa anak-anak miskin, anak perempuan, anak berkebutuhan khusus, imigran, dan anak-anak di komunitas etnis minoritas selama ini paling menderita karena tidak tersentuh pendidikan. ”Faktor kemiskinan menjadi hambatan utama mereka,” kata laporan itu.
Dari 260 juta anak yang tak sekolah itu (sekitar 17 persen dari total semua anak usia sekolah di dunia), mayoritas di antaranya tinggal di kawasan Asia Selatan, Asia Tengah, dan sub-Sahara Afrika. Diskriminasi dan ketidaksetaraan diperparah dengan pandemi korona yang membuat sekolah terpaksa ditutup untuk mencegah penyebaran virus.
Bagi sebagian anak yang datang dari keluarga yang mampu, mereka akan tetap bisa belajar dari rumah dengan sistem pembelajaran jarak jauh. Sistem belajar jarak jauh selama ini umumnya dilakukan dengan memakai laptop, telepon genggam, dan internet. Bagi anak yang tidak memiliki kemewahan itu, terpaksa tak bisa belajar lagi dan anak-anak seperti itu jumlahnya jutaan.
”Belajar dari pengalaman krisis kesehatan sebelumnya, seperti saat wabah ebola, banyak anak terutama anak perempuan miskin yang tidak bisa sekolah lagi,” kata Direktur Jenderal UNESCO Audrey Azoulay dalam pendahuluan laporan itu.
Tak selesai
Laporan itu juga memaparkan peluang remaja, yang masuk kategori 20 persen keluarga terkaya di negara miskin dan berpendapatan menengah, untuk menuntaskan pendidikan menengah itu tiga kali lebih besar dibandingkan dengan anak miskin. Sementara anak-anak berkebutuhan khusus tidak dapat menguasai kemampuan baca yang paling mendasar sekalipun.
Di 20 negara termiskin di dunia, khususnya di sub-Sahara Afrika, tidak ada anak perempuan di pedesaan yang bisa menyelesaikan pendidikan menengahnya. Sementara di negara-negara terkaya di dunia, anak-anak usia 10 tahun yang diajari bahasa lain selain bahasa ibu mereka mendapat skor 34 persen lebih rendah dalam tes membaca dibandingkan dengan penutur asli.
Di Amerika Serikat, siswa yang berada di kelompok masyarakat minoritas dan terpinggirkan tiga kali lebih betah bertahan di sekolah karena mereka merasa tidak aman. Anak-anak dari kelompok terpinggirkan, seperti LGBT, tersingkir bahkan tidak boleh bersekolah. Jikapun bisa bersekolah, akses mereka terhadap informasi dibatasi.
Selain itu, ada dua negara di Afrika yang masih melarang anak perempuan yang sedang hamil untuk bersekolah. Masih ada 117 negara yang memperbolehkan pernikahan dini dan 20 negara di antaranya belum meratifikasi konvensi internasional yang melarang buruh anak.
Tanpa fasilitas
Sedikitnya 335 juta anak perempuan di dunia bersekolah di sekolah yang tidak menyediakan air bersih, sanitasi, dan fasilitas kebersihan lain yang dibutuhkan untuk bisa tetap belajar di kelas ketika sedang menstruasi.
Di beberapa negara di Eropa Timur dan Tengah, seperti di Roma, misalnya, anak-anak mengalami segregasi di sekolah. Sementara di Asia, anak-anak pengungsi seperti etnis Rohingya mendapat pembelajaran dengan sistem yang berbeda. ”Banyak negara masih mempraktikkan pendidikan segregasi yang menguatkan stereotip, perlakuan diskriminatif, dan pengasingan,” ujar laporan itu.
Hanya 41 negara di seluruh dunia yang secara resmi mengakui bahasa isyarat. Sayangnya, sekolah-sekolah justru lebih gesit mengusahakan akses jaringan internet ketimbang mempekerjakan guru-guru atau pelatih yang bisa mengajari dan mendampingi anak-anak berkebutuhan khusus. UNESCO mendorong berbagai negara di dunia untuk memberikan perhatian kepada anak-anak berkebutuhan khusus ketika nanti sekolah sudah dibuka lagi.
”Pendidikan inklusif ini mendesak. Jika ini tidak dilakukan, masyarakat tidak akan berkembang,” kata Azoulay. (AFP)