Peledakan Kantor Penghubung di Kaesong, Asa Damai Korea Bisa Sirna
Kemesraan dua Korea melalui beberapa kali pertemuan tingkat tinggi yang dimulai di Panmunjom, awal 2018, diharapkan bisa membangkitkan memori damai, bukan perang.
Peledakan kantor penghubung dua Korea di Kaesong diduga karena Pyongyang kecewa kepada Korsel dan AS. Asa damai yang berkembang positif dalam dua tahun ini bisa sirna.
SEOUL, SELASA — Peledakan kantor penghubung di kawasan industri Kaesong, yang menjadi simbol rekonsiliasi dua Korea, oleh pihak Korea Utara, Selasa (16/6/2019), bisa membuyarkan harapan seluruh rakyat Semenanjung Korea akan terciptanya perdamaian abadi di kawasan.
Kemesraan dua Korea melalui beberapa kali pertemuan tingkat tinggi yang dimulai di Panmunjom, awal 2018, diharapkan bisa membangkitkan memori damai, bukan perang.
Insiden peledakan kantor penghubung dua Korea di Kaesong, sisi perbatasan Korut itu, dikecam Seoul. Korsel menegaskan, pihaknya tidak akan berdiam diri dan akan bertindak tegas jika Korut terus membuat situasi keamanan di kawasan semakin tegang.
”Peledakan kantor itu menghancurkan harapan seluruh rakyat akan membaiknya hubungan antar-Korea dan perdamaian abadi di semenanjung. Korut bertanggung jawab atas semua konsekuensi dari tindakan itu,” kata Wakil Penasihat Keamanan Nasional Korsel Kim You-geun.
Baca juga: Korut Ledakkan Kantor Penghubung, Pyongyang-Seoul Memanas
Kantor berita resmi Korsel, Yonhap, melaporkan, peringatan itu disampaikan beberapa menit setelah terjadi ledakan dan asap hitam terlihat di kawasan industri Kaesong, lokasi kantor perwakilan atau penghubung dua Korea yang dibangun dua tahun lalu. Dilaporkan, ledakan itu terjadi pada pukul 14.49 waktu setempat.
”Kami menanggapi situasi ini dengan serius. Militer kami selalu siap merespons situasi apa pun,” ujar juru bicara Kemenhan Korsel, Choi Hyun-soo.
Peledakan terjadi setelah pekan lalu, Kim Yo Jong, adik perempuan Pemimpin Korut Kim Jong Un, mengatakan, ”Tak lama, pemandangan tragis kantor bersama Utara-Selatan yang runtuh akan terlihat.”
Ketegangan di perbatasan dua Korea belakangan ini meningkat seiring dengan ancaman Pyongyang yang akan memutus hubungan dengan Seoul. Pyongyang juga mengancam akan membalas semua kritikan kepada Kim Jong Un yang beredar lewat selebaran di Korsel.
Aksi para pembelot
Sejak awal Juni ini, Korut mengeluarkan kecaman keras kepada Korsel terkait kegiatan aktivis yang menyebarkan selebaran anti-Pyongyang di perbatasan, kegiatan yang secara rutin dilakukan para pembelot. Selebaran dibagikan lewat balon udara atau diapungkan dalam botol, berisi kritik terhadap Kim Jong Un atas pelanggaran HAM dan program nuklirnya.
Baca juga: Moon Ingatkan Korea Utara
Guru Besar Universitas Ewha di Seoul Leif-Eric Easley menilai, Korut mulai semakin gencar memprovokasi. Penghancuran kantor perwakilan di Kaesong menjadi simbol kegagalan rekonsiliasi dan kerja sama antar-Korea. ”Rezim Kim juga mau menunjukkan kepada Amerika Serikat bahwa mereka takkan tinggal diam,” ujarnya.
Menurut para analis, Pyongyang mungkin menciptakan krisis untuk meningkatkan tekanan pada Seoul saat negosiasi dengan Washington macet. Pekan lalu, Korut mengumumkan akan memutus semua saluran komunikasi dengan Korsel.
”Korut frustrasi karena Korsel gagal menawarkan rencana alternatif untuk menghidupkan lagi negosiasi Korut-AS. Mereka menciptakan sendiri suasana untuk mengaktifkan kembali negosiasi,” kata Cheong Seong-chang, Direktur Sejong Institute’s Center for North Korean Studies. ”Korut menyimpulkan Korsel gagal sebagai mediator proses ini.”
Korut dan Korsel secara teknis masih berperang. Perang Korea pada 1950-1953 berakhir hanya dengan gencatan senjata, bukan pakta perdamaian. Selama puluhan tahun, hubungan dua negara bersaudara itu naik turun dan panas dingin.
Jika menilik sejarahnya, beberapa hari setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II, Amerika Serikat dan Uni Soviet sepakat membagi dua Semenanjung Korea. Pada Juni 1950, Korea Utara menyerang Korea Selatan hingga memicu perang yang menewaskan jutaan orang. Kala itu, China mendukung Korut, sementara Korsel mendapat dukungan dari AS.
Kedua negara akhirnya sepakat gencatan senjata pada 1953. Namun, selama masa gencatan senjata ini, Korut tak pernah bisa diam. Ada saja serangan yang dilakukan seperti mengirim 31 tentara khusus ke Korsel untuk mencoba membunuh Presiden Korsel Park Chung-Hee pada 1968. Hanya dua tentara yang selamat.
Tak hanya itu. Korut juga mencoba membunuh Chun Doo-hwan, jenderal yang kemudian menjadi Presiden Korsel. Doo-hwan yang sedang berkunjung ke Myanmar pada 1983 itu selamat, tetapi 21 orang tewas dalam ledakan bom di pemakaman Yangon.
Baca juga: Seoul Gelar Pertemuan Darurat
Pada 1987, pesawat Korean Air meledak saat melintas di Laut Andaman dan menewaskan 115 orang. Korsel menuding Korut sebagai pelakunya. Korut mengaku tidak tahu apa-apa.
Kemudian pada tahun 1996, kapal selam Korut yang sedang menjalankan misi mata-mata kandas di Pelabuhan Gangneung, Korsel. Pada tahun 1999, kapal perang Korsel dan Korut bentrok hingga menewaskan 50 tentara Korut.
Merasa perlu mempersenjatai diri, Korut gencar mengembangkan rudal balistik dan nuklir untuk membangun roket berhulu ledak nuklir yang bisa mencapai daratan AS. Pada 2006, Korut mengetes nuklir pertamanya dan sejak itu perkembangannya pesat di bawah kendali pemimpin rezim Korut, Kim Jong Un, yang mewarisi kekuasaan pada 2011.
Untuk menekan langkah Korut, Dewan Keamanan PBB, AS, Uni Eropa, dan Korsel menjatuhkan sanksi berat pada Korut. Bahkan, kawasan industri Kaesong ditutup pada 2016. Namun, Korut tak berubah dan tetap mengetes nuklir untuk ketujuh kalinya pada 2017. Sejak itu, Kim menyatakan Korut sebagai negara dengan kekuatan nuklir.
Peluang damai
Peluang untuk damai muncul ketika Moon Jae-in terpilih sebagai Presiden Korsel. Moon tak kenal lelah berusaha mendekat ke Korut.
Upayanya yang terakhir adalah mengundang Korut ikut Olimpiade Musim Dingin di Korsel pada Februari 2018. Setelah itu, Korut menyatakan akan menghentikan peluncuran rudal antarbenua dan nuklir sesegera mungkin.
Baca juga: Korut Pancing Baku Tembak untuk Unjuk Kekuatan Kim Jong Un
Dalam pertemuan tingkat tinggi kedua Korea, April lalu, keduanya berjanji melucuti nuklir di Semenanjung Korea dan mengupayakan perdamaian seutuhnya.
Menyusul kesepakatan itu, puluhan warga Korsel akhirnya bisa masuk ke Korut, Agustus lalu, untuk bertemu orangtua yang tidak bisa mereka lihat sejak sebelum perang.
Perkembangan positif ini berlanjut dengan pertemuan Kim dengan Presiden AS Donald Trump di Singapura. Namun, pertemuan kedua mereka pada Februari 2019 gagal karena tidak tercapai kesepakatan apa yang harus dilakukan Korut agar sanksi dicabut.
Sejak November lalu, Korut kembali menguji senjata bahkan menembakkan senjata ke arah Korsel di zona demiliterisasi. Korsel lalu menembak balik. Kini, setelah selama berhari-hari perang mulut, Korut meledakkan kantor perwakilan intraKorea. (REUTERS/AFP/AP/ADH)