Tensi Tinggi Kembali Menyelimuti Semenanjung Korea
Pemerintah Korea Utara secara sepihak memutuskan hubungan dengan Korea Selatan. Saudara perempuan Pemimpin Korut Kim Jong Un, Kim Yo Jong, mengeluarkan ancaman terhadap Pemerintah Korsel.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
SEOUL, SELASA — Suhu politik di Semenanjung Korea menghangat lagi setelah Pemerintah Korea Utara, Selasa (9/6/2020), menyatakan tidak mau berhubungan lagi dengan Pemerintah Korea Selatan. Pyongyang memutus semua akses dan komunikasi dengan Seoul setelah beberapa hari sebelumnya adik kandung Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un, Kim Yo Jong, mengkritik keras kantor kepresidenan Korea Selatan.
Pemutusan 49 jalur komunikasi antara kedua negara oleh Korut itu terkait kemarahan Korut setelah Korsel tidak bisa memberikan respons yang tegas atas penyebaran brosur dan materi anti-Pemerintah Korut oleh warga Korut yang membelot ke Korsel. Sejak beberapa hari terakhir, penyebaran brosur dan berbagai materi anti-Pyongyang makin meningkat di perbatasan dua negara.
Kantor berita Korut, KCNA, menyebutkan, para pemimpin Korut—antara lain Kim Yo Jong dan Kim Yong Chol, Wakil Ketua Komite Sentral Partai Pekerja, menyatakan memperlakukan Korsel sebagai musuh.
Beberapa hari sebelum Korut mengumumkan pemutusan jalur komunikasi dengan Korsel, Kim Yo Jong memperingatkan Korsel untuk bersikap tegas terhadap aksi para pembelot Korut. Dalam surat terbuka yang ditujukan kepada para pemimpin Korsel dan diunggah KCNA, Kamis (4/6/2020), ia menyebut pemerintahan Moon Jae-in menutup mata terhadap tindakan kotor yang dilakukan oleh para pembelot di halaman depan rumah mereka.
Dengan pilihan kata-kata yang keras dan bahkan—menurut beberapa analis—cenderung kasar di dalam suratnya, Kim Yo Jong menyatakan, dirinya tidak bisa memahami ”pembiaran” yang dilakukan otoritas Korsel. Dalam surat itu, ia secara implisit juga melontarkan ancaman kepada Korsel.
”Jika tindakan jahat seperti itu dilakukan terus di depan mata kami dan dibiarkan dengan dalih kebebasan individu dan kebebasan berekspresi, pihak berwenang Korsel harus siap berhadapan dengan kondisi terburuk dalam waktu dekat,” tulis Kim Yo Jong.
Ia juga mengancam akan menganulir semua kerja sama militer yang pernah ditandatangani kedua negara. Menurut dia, itikad baik dan upaya rekonsiliasi tak bisa berjalan beriringan dengan tindakan permusuhan serta konfrontasi yang dilakukan oleh Korsel.
Dia mengatakan, meski ada permusuhan di antara kedua negara, Pemerintah Korsel tidak boleh memberikan toleransi adanya tindakan seperti itu di halaman depan rumahnya, dan harus melarang penyebaran brosur, selebaran, atau yang sejenisnya dengan substansi menimbulkan kebencian pada Korut. Hal itu, kata Kim Yo Jong, sesuai dengan isi Deklarasi Panmunjom yang ditandatangani kedua pemimpin negara tahun 2018.
Di dalam surat itu, Jong secara implisit juga mengeluarkan ancaman kepada pemerintah dan rakyat Korea Selatan.
”Jika tindakan jahat seperti itu dilakukan terus di depan mata kami dan dibiarkan dengan dalih kebebasan individu dan kebebasan berekspresi, pihak berwenang Korsel harus siap berhadapan dengan kondisi terburuk dalam waktu dekat,” kata Kim Yo Jong.
Di tengah pandemi global Covid-19, Korut setidaknya melakukan dua kali uji coba rudal, masing-masing pada bulan Maret dan April 2020. Dua kali uji coba itu digelar menyusul uji coba persenjataan dan kesiapan pesawat tempur milik negara itu pada November 2019.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Korsel, Kim In-chul, seperti dikutip kantor berita Yonhap, mengatakan bahwa mereka terus mencoba menjalin komunikasi dengan Pemerintah Korut dan berbagai pihak, terutama Amerika Serikat, untuk membahas kondisi ini.
Tekanan ekonomi
Ancaman dan tindakan agresif dari Pemerintah Korut dinilai sejumlah analis lebih didorong faktor tekanan ekonomi yang meningkat di dalam negeri dan sanksi internasional yang menerpa mereka. Choo Jae Woo, profesor pada Universitas Kyung Hee, mengatakan, situasi di dalam negeri Korut tidak ”sedamai dan sesejahtera” yang digaungkan oleh pemimpinnya, Kim Jong Un.
”Korea Utara berada dalam situasi yang jauh lebih mengerikan daripada yang kita duga. Saya pikir mereka mencoba untuk memeras sesuatu dari Selatan,” kata Woo.
Tindakan pemutusan komunikasi yang dilakukan oleh Korut, menurut Daniel Wertz, anggota Komite Nasional Korea Utara yang berbasis di AS, adalah sebuah tindakan usang. ”Saluran komunikasi reguler sangat dibutuhkan selama krisis, dan untuk alasan itu, Korea Utara memutusnya untuk menciptakan suasana yang berisiko tinggi,” katanya.
Laura Bicker, koresponden BBC di Korea Selatan, sepakat dengan Woo. Dia menilai, Pemerintah Korut menciptakan krisis baru di wilayah Semenanjung Korea untuk memperoleh keuntungan dari negara tetangganya itu, yang secara ekonomi, lebih makmur. ”Mereka telah memainkan permainan ini sebelumnya pada tahun 2013 untuk mencoba memenangkan lebih banyak konsesi dari Korea Selatan,” kata Bicker.
Meski Bicker tidak menyebutkan konsesi yang diinginkan oleh Korut, sebuah laporan dari Tomas Ojea Quintana, Pelapor Khusus PBB di Korea Utara, menyebutkan bahwa dalam beberapa bulan terakhir terjadi peningkatan jumlah tunawisma di negara tersebut. Anak-anak menjadi salah satu yang paling terdampak dalam situasi itu.
Laporan dari Badan PBB yang mengurusi masalah pangan, Program Bantuan Pangan Dunia PBB (WFP), menyebutkan, sedikitnya 10 juta penduduk Korut atau setara dengan 40 persen dari total jumlah penduduk membutuhkan bantuan kemanusiaan. ”Kondisi di sana semakin mengkhawatirkan” kata Elisabeth Byrs, juru bicara WFP. (REUTERS/LUK/MHD)