Produk-produk Vietnam bakal lebih terjangkau di pasar Eropa setelah Vietnam, mitra dagang terbesar kedua Uni Eropa (UE) di ASEAN, meratifikasi perjanjian perdagangan bebas dengan UE.
Oleh
kris mada
·3 menit baca
HANOI, SENIN — Vietnam akan mulai menikmati pasar Uni Eropa lebih leluasa. Hari Senin (8/6/2020) ini, parlemen Vietnam meratifikasi perjanjian perdagangan bebas dengan Uni Eropa. Pengesahan perjanjian dagang itu dilakukan di tengah wacana sejumlah negara memindahkan pabrik, dan Vietnam jadi salah satu pertimbangan lokasi baru.
Perjanjian dagang Uni Eropa (UE)-Vietnam disahkan parlemen UE pada Februari 2020. Kini, giliran parlemen Vietnam mengesahkan perjanjian yang disebut bisa semakin memacu perdagangan UE-Vietnam. Bank Dunia menaksir, ekspor Vietnam ke UE bisa melonjak 12 persen dalam 10 tahun ke depan setelah perjanjian itu disepakati.
Perjanjian itu mengatur pemangkasan hampir semua tarif bea masuk impor dalam beberapa tahun ke depan. Penghapusan tarif bea masuk membuat produk Vietnam bisa lebih terjangkau di pasar UE. Akibatnya, daya saing produk Vietnam bisa meningkat di pasar UE.
Sebelum ada perjanjian tersebut, Vietnam telah menjadi mitra dagang terbesar kedua di ASEAN bagi UE. Mitra dagang terbesar UE di Asia Tenggara masih dipegang oleh Singapura, negara pertama di Asia Tenggara yang mempunyai perjanjian dagang dengan UE.
Pada 2019, nilai perdagangan UE-Vietnam mencapai 59 miliar dollar AS. Vietnam mendapat surplus besar karena nilai ekspornya ke UE mencapai 41,5 miliar dollar AS. Ekspor ke UE setara dengan 16 persen dari keseluruhan ekspor Vietnam 2019.
Dalam 20 tahun terakhir, belasan perjanjian dagang disepakati Vietnam dengan para mitranya. Perjanjian-perjanjian itu menjadi salah satu kunci Vietnam bisa memacu ekspor ke banyak negara.
Vietnam menyusul Singapura yang lebih dulu mempunyai perjanjian dagang dengan UE. Kini, sekitar 45 persen ekspor ASEAN ke UE berasal dari Singapura dan Vietnam.
Perjanjian ASEAN
ASEAN dan UE pernah merundingkan kesepakatan dagang kedua kawasan. Walakin, perundingan itu tidak jelas kelanjutannya. Brussels akhirnya memutuskan berunding secara terpisah dengan sejumlah negara ASEAN, termasuk Indonesia.
Sampai sekarang, perjanjian dagang Indonesia-UE masih terus dirundingkan dan belum ada kepastian akan selesai. Di tengah proses perundingan itu, Indonesia-UE saling gugat gara-gara minyak sawit dan nikel.
Duta Besar UE untuk ASEAN Igor Dreismans mengatakan, UE sangat ingin meningkatkan hubungan dagang dan memiliki perjanjian dagang dengan ASEAN. Selain dengan Indonesia, UE antara lain tengah merundingkan perjanjian dagang dengan Filipina, Malaysia, dan Thailand. Seperti halnya dengan Indonesia, perundingan dengan Malaysia juga terkendala isu sawit.
”Perjanjian dagang sedang dirundingkan dengan Indonesia, dan kami berharap bisa mempercepatnya dengan Thailand. Dengan demikian, kami membangun dasar untuk mengejar kesepakatan UE-ASEAN,” kata Driesmans di Jakarta, beberapa waktu lalu.
ASEAN merupakan mitra dagang terbesar UE setelah China. Pada 2018, neraca dagangnya mencapai 263 miliar dollar AS. Investasi UE di ASEAN rata-rata 374 miliar dollar AS per tahun.
UE juga mengucurkan 350 juta euro untuk membantu ASEAN menghadapi pandemi Covid-19. Pandemi ini juga menjadi salah satu alasan sejumlah negara, termasuk anggota UE, mempertimbangkan relokasi usaha. Sebab, rantai pasok produksi banyak negara terganggu selama China mengisolasi diri akibat pandemi Covid-19.
Di ASEAN, Vietnam termasuk negara yang dipertimbangkan sebagai lokasi untuk memindahkan pabrik dari China. Perjanjian dagang UE-Vietnam menjadi modal tambahan Vietnam menarik investor ke negara itu. Hal ini karena produksi Vietnam semakin berdaya saing di pasar UE. (REUTERS)