Hong Kong memang bagian tidak terpisahkan dari China sejak ribuan tahun lalu. Inggris dan negara lain juga tidak punya dasar hukum untuk membenarkan upaya intervensi terhadap Hong Kong.
Oleh
Kris Mada
·4 menit baca
Pekan ini setahun lalu, ratusan ribu warga Hong Kong turun ke jalan dan secara terbuka menentang China. Tanpa secara terbuka mengerahkan tentara, Beijing menekan unjuk rasa yang terang-terangan didukung sejumlah negara Barat itu.
Dimulai dengan 50 orang pada Maret 2019, pada Juni 2019, pengunjuk rasa di jalan-jalan Hong Kong membengkak menjadi ratusan ribu orang. Unjuk rasa terbesar terjadi pada 9 dan 16 Juni 2019. Sampai sekarang, polisi dan penyelenggara unjuk rasa masih baku klaim soal massa yang hadir.
Saat itu, massa membentuk sejumlah barisan dengan panjang masing-masing lebih dari 3 kilometer. Di setiap barisan, orang berdiri dalam jarak kurang dari 30 sentimeter di antara satu dan yang lain, serta meneriakkan, ”Revolusi sekarang juga!”
Saat ini, ketika pandemi melanda dan mengharuskan jaga jarak, membuat unjuk rasa seperti itu sulit dilakukan lagi. Dalam peringatan 21 tahun insiden Tiananmen, 4 Juni 2020, massa tetap menjaga jarak minimal 1 meter. Tidak ada lagi barisan berkilo-kilometer seperti tahun lalu. Di sisi lain, meski tidak sebesar Juni 2019, peringatan insiden Tiananmen tetap menunjukkan perlawanan masih ada.
”Kami semakin putus asa dan merasa masa depan tidak jelas. Pertarungan belum berakhir dan peluang kami menang terus berkurang,” kata Daniel Wong, pengacara senior Hong Kong sebagaimana dikutip Bloomberg.
Walau tidak turun ke jalan, peran Wong dan banyak pengacara lain penting bagi para pengunjuk rasa. Mereka mengurus pembebasan ribuan orang yang ditangkap selama rangkaian unjuk rasa. Tanpa peran pengacara, banyak pengunjuk rasa akan tetap dalam tahanan dan tidak mendapat pendampingan selama diproses hukum.
Untuk pengurusan mereka, sejumlah pihak menyumbangkan dan mengumpulkan dana seperti dilakukan Spark Alliance dan 612 Fund. Spark Alliance pernah memiliki hingga 9 juta dollar AS sebelum rekening mereka dibekukan. Sementara 612 Fund punya 3,3 juta dollar AS hingga April 2020. Sepanjang Mei, mereka mengumpulkan 3 juta dollar AS lagi.
Dana itu tergolong sedikit karena penanganan setiap kasus membutuhkan biaya hingga 33.000 dollar AS. Dengan kata lain, kas 612 Fund hanya cukup untuk mendampingi 100 pengunjuk rasa. Padahal, jumlah yang ditangkap bisa lebih dari itu.
”Penurunan ekonomi dan perang dagang AS-China mengancam kehidupan banyak orang dan kemampuan mereka mendukung kami,” kata pengelola 612 Fund, Cyd Ho, kepada Bloomberg.
Tekanan China
Di sisi lain, Beijing makin serius mengurus Hong Kong. Han Zeng, deputi pertama pada kantor Perdana Menteri China, yang diberi tugas memimpin gugus tugas khusus mengurus Hong Kong, dan DPR China mengesahkan pembahasan undang-undang keamanan Hong Kong.
Pengesahan itu memicu protes antara lain dari Inggris dan Amerika Serikat. Washington serta-merta mengumumkan status peninjauan keistimewaan Hong Kong dalam daftar mitra dagang AS. Pencabutan status itu akan membuat Hong Kong kesulitan menjalankan perannya sebagai salah satu pusat keuangan dan perantara perdagangan internasional.
Protes itu tidak menghentikan Beijing. Pekan lalu, DPR Hong Kong yang dikuasai politisi pendukung Beijing malah mengesahkan UU Lagu Kebangsaan. UU itu menjadi dasar untuk menghukum siapa pun yang menghina lagu kebangsaan China di Hong Kong.
Menteri Luar Negeri China Wang Yi bolak-balik menegaskan, Hong Kong adalah urusan dalam negeri China dan tidak ada pihak yang boleh mencampurinya. Meski sempat dikuasai Inggris selepas perang candu pada abad 19, Hong Kong memang bagian tidak terpisahkan dari China sejak ribuan tahun lalu.
Dalam perjanjian China-Inggris soal pengembalian Hong Kong, disepakati Hong Kong akan mempertahankan sistem terpisah dari China selama 50 tahun sejak diserahkan. ”China tidak akan melanggar itu, terlalu banyak yang dipertaruhkan. Fokus Beijing bukan mengakhiri otonomi Hong Kong. Fokus Beijing adalah mencari cara Hong Kong tidak bergejolak,” kata mahasiswa program doktoral pada Jilin University, Humprey Arnaldo Russel, dalam seminar virtual ”Krisis Hong Kong: Pandangan Politik Luar Negeri dan Hukum Internasional menurut Inggris dan China” yang diselenggarkan Sekolah Stratejik dan Kajian Global Universitas Indonesia, Sabtu (6/6/2020).
Dalam seminar yang sama, Guru Besar Hukum Internasional UI, Hikmahanto Juwana, justru menyebut London mungkin saja menganggap Beijing melanggar perjanjian soal pengembalian Hong Kong. Masalahnya, London tidak bisa mempersoalkan itu secara hukum. Tidak ada lembaga internasional yang lebih tinggi dari negara dan bisa memerintahkan suatu negara melakukan hal tertentu.
Inggris dan negara lain juga tidak punya dasar hukum untuk membenarkan upaya intervensi terhadap Hong Kong, yang secara faktual ataupun hukum merupakan bagian integral dari China. Tindakan paling optimum hanyalah mengecam atau memprotes.
Posisi internasional dan ekonomi China kiwari menutup hampir semua celah sanksi internasional untuk Beijing. Kala Washington mengumumkan perang dagang pada 2018, defisit AS dari China malah melonjak. Penanganan pandemi dan unjuk rasa juga membuat AS kehilangan modal untuk menekan China soal Hong Kong.
Sementara Australia, sekutu terdekat AS di Pasifik, kini pusing gara-gara China mengancam memboikot hubungan ekonomi yang menghasilkan lebih dari 100 miliar dollar AS per tahun untuk Canberra. Ancaman itu menyusul desakan Australia agar ada penyelidikan asal-usul Covid-19. Beijing yang tidak nyaman dengan desakan itu menggertak balik. (AP/REUTERS)