Embargo Arab Saudi bersama Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Mesir terhadap Qatar kini memasuki tahun keempat. Namun, akhir dari krisi diplomatik ini belum jelas.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·4 menit baca
DOHA, SELASA - Tiga tahun sudah Qatar diblokade empat negara Arab yang dipimpin Arab Saudi. Namun, negara kecil di Teluk Arab itu kian mandiri, lepas dari ketergantungan negara-negara lain.
Perseteruan sengit antara Qatar dan aliansi negara Teluk yang dipimpin Arab Saudi selama tiga tahun terakhir berkembang ke arah situasi yang tak jelas. Namun, di tengah embargo negara-negara Teluk itu, ekonomi Qatar diperkirakan tetap kokoh dan bahkan bisa lebih baik dibanding negara-negara Teluk lainnya.
Awal Juni 2020 ini menandai tiga tahun krisis diplomatik di kawasan Teluk itu berlangsung. Koalisi kuartet Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, dan Mesir menjatuhkan embargo kepada Qatar sejak 2017.
Pada pertengahan Desember 2019, Menteri Luar Negeri Qatar Sheikh Mohammed bin Abdulrahman al-Thani menyebutkan bahwa perundingan dengan Arab Saudi telah memecah kebuntuan hubungan kedua negara selama ini.
”Kami telah memecah kebuntuan komunikasi selama ini dengan Arab Saudi,” katanya kepada CNN, seperti dikutip kantor berita Reuters, 16 Desember 2019. ”Kami ingin memahami keluhannya. Kami ingin mempelajari dan menilainya serta mencari solusi yang dapat mengamankan kami di masa depan dari potensi krisis lain,” tambah Al-Thani.
Arab Saudi bersama sekutunya, yaitu UEA, Bahrain, dan Mesir, mengajukan 13 tuntutan, antara lain penutupan stasiun televisi Al Jazeera; penutupan pangkalan militer Turki; pemutusan hubungan dengan rival Arab Saudi, yaitu Iran; dan pemutusan ikatan dengan Ikhwanul Muslimin yang dinilai oleh negara-negara Teluk itu sebagai organisasi teroris.
Akan tetapi, pada pertengahan Februari 2020, Al Jazeera melaporkan bahwa upaya mengakhiri krisis diplomatik antara Qatar dan Arab Saudi tidak berhasil, dan segala upaya yang sudah dijalani berakhir pada Januari 2020.
”Sayangnya, usaha ini tidak berhasil dan dihentikan sementara mulai Januari 2020, dan Qatar tidak bertanggung jawab terhadap hal ini,” kata Al-Thani saat menghadiri Konferensi Keamanan Muenchen di Jerman.
”Sudah hampir tiga tahun, kami bukan pelaku dan kami terbuka pada tawaran apa pun untuk menyelesaikan persoalan ini,” tambah Al-Thani saat itu.
Krisis diplomatik di Teluk ini bermula ketika pada Juni 2017 Arab Saudi menuduh Qatar mendukung kelompok teroris dan Iran. Tuduhan itu berkali-kali dibantah oleh Doha. Arab Saudi kemudian memimpin koalisi dengan negara Teluk-nya, yakni UEA dan Bahrain plus Mesir untuk memutuskan semua hubungan dengan Qatar.
Pada 5 Juni 2017, Arab Saudi dan sekutunya memutus semua jalur udara, darat, dan laut serta hubungan diplomatik dengan Qatar. Negara lain pun melakukan hal yang sama, tetapi dengan sanksi yang lebih ringan.
Koalisi ini juga mengajukan 13 tuntutan untuk dipenuhi Qatar sebagai ganti agar embargo dicabut. Bahkan, koalisi pimpinan Arab Saudi itu—kecuali Mesir yang memiliki 250.000 warganya bekerja di Qatar—memerintahkan warganya untuk keluar dari Qatar.
Qatar menolak memenuhi 13 tuntutan tersebut dan menyebutnya ”tidak realistis” dan ”tidak bisa dilakukan”.
Momentum
Meski dikucilkan koalisi Arab Saudi, Qatar justru kini menemukan momentum untuk tidak terlalu bergantung kepada negara lain. Untuk memenuhi kebutuhan ventilator bagi pasien Covid-19, misalnya, Qatar mengalihkan salah satu fasilitas pabrik senjata milik pemerintah untuk memproduksi ventilator bekerja sama dengan perusahaan Amerika Serikat.
”Kami pikir ini waktu yang tepat dengan berusaha memanfaatkan momen itu dengan memenuhi kebutuhan-kebutuhan produksi,” ujar Nasser Hassan al-Naimi, Direktur Pelaksana Barzan Holding, perusahaan milik negara di bidang industri senjata yang kini memproduksi peralatan medis.
Negara kaya dengan gas yang dulu sangat bergantung pada impor bahan makanan itu pun kini mulai mengandalkan pasokan bahan makanannya pada pertanian dalam negeri.
Stok beras Qatar mencukupi untuk delapan bulan ke depan, gula untuk tujuh bulan, dan minyak goreng untuk tiga bulan. Doha pada Desember lalu menyebutkan akan meningkatkan stok 22 kebutuhan pokok bagi 3 juta warganya agar aman hingga enam bulan ke depan.
Bahkan, perekonomian Qatar lebih tangguh dibanding perekonomian negara Teluk koalisi Arab Saudi. Dana Moneter Internasional (IMF) memprediksi Qatar akan menjadi salah satu dari sedikit negara yang akan mengalami perekonomian surplus pada 2020.
Rangking Economist Intelligence Unit menyebutkan, Qatar menempati posisi teratas di Timur Tengah dan peringkat ke-13 dunia untuk ketahanan pangan dalam Indeks Keamanan Pangan Global. (AFP/REUTERS)