AS Tolak Draf Resolusi Gencatan Senjata Selama Korona di DK PBB
Washington ingin Dewan Keamanan PBB kembali ke rancangan awal resolusi. Di sana disebutkan bahwa DK PBB menyoroti perlunya transparansi dalam kerja sama global untuk mengatasi pandemi Covid-19.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·3 menit baca
WASHINGTON, JUMAT — Sikap Amerika Serikat, Jumat (8/5/2020), mengejutkan anggota Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa karena menolak pemungutan suara perihal resolusi gencatan senjata dalam berbagai konflik di seluruh dunia. Sikap Washington itu berbalik arah setelah dikabarkan sepakat dengan isi draf tentang pelaksanaan pemungutan suara itu sehari sebelumnya.
”Amerika Serikat tidak dapat mendukung rancangan saat ini,” demikian pernyataan delegasi AS. Pernyataan itu disampaikan perwakilan AS kepada 14 anggota DK PBB lain tanpa penjelasan rinci lebih lanjut. Pernyataan itu keluar di menit-menit akhir setelah proses negosiasi sulit yang memakan waktu hampir dua bulan atas teks resolusi. Situasi itu membuat upaya-upaya untuk mengakhiri konflik di berbagai wilayah di dunia sekaligus memberi perhatian serius untuk menangani pandemi pun menjadi buntu.
Ketika dimintai penjelasan tentang langkah AS itu, seorang pejabat Kementerian Luar Negeri AS mengungkapkan kepada AFP bahwa China telah ”berulang kali memblokir kompromi yang akan memungkinkan DK PBB untuk bergerak maju”.
Sumber lain mengatakan Washington ingin Dewan Keamanan kembali ke rancangan awal resolusi yang menyoroti perlunya ”transparansi” dalam kerja sama global dalam mengatasi pandemi.
”Dalam pandangan kami, DK PBB harus melanjutkan dengan resolusi terbatas untuk mendukung gencatan senjata, atau resolusi yang diperluas yang sepenuhnya membahas perlunya komitmen negara anggota yang diperbarui untuk transparansi dan akuntabilitas dalam konteks Covid-19,” kata sumber dari kalangan Kemlu AS itu.
Versi terbaru dari teks draf resolusi itu menyerukan penghentian permusuhan di zona konflik dan ’jeda kemanusiaan’ selama 90 hari untuk memungkinkan pemerintah mengatasi pandemi di antara negara-negara yang paling menderita.
Draf yang disajikan sebenarnya memuat sejumlah kompromi, termasuk seruan agar semua negara ”meningkatkan koordinasi” dalam memerangi pandemi Covid-19. Draf itu menyoroti pula ”kebutuhan mendesak untuk mendukung semua negara serta semua entitas yang relevan dari sistem PBB, termasuk lembaga kesehatan khusus, dan internasional terkait lainnya, regional, dan organisasi sub-regional”.
Sejumlah diplomat mengungkapkan kata-kata itu—yang secara implisit merujuk pada WHO—sejatinya adalah hasil kompromi AS dan China pada Kamis malam.
Washington sebelumnya telah mengancam akan menggunakan hak vetonya jika ada referensi eksplisit atas WHO. Di sisi lain, Beijing mengaitkan vetonya sendiri jika badan kesehatan global itu tidak disebutkan, hingga akhirnya menerima bahwa hal itu baik-baik saja sekalipun tanpa menyebutkan nama organisasi itu. Para diplomat mengatakan AS telah lebih dari sepekan lalu menyatakan keinginan atas transparansi isi draf dalam resolusi yang diajukan Perancis dan Tunisia itu.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres telah mendorong penghentian permusuhan di seluruh dunia sejak 23 Maret 2020. Ia juga mendesak semua pihak yang terlibat di dalam aneka konflik untuk meletakkan senjata dan memungkinkan negara-negara yang dilanda perang untuk memerangi Covid-19. Pandemi yang telah menewaskan lebih dari 270.000 orang di seluruh dunia itu juga meningkatkan kekhawatiran lebih lanjut bagi negara-negara yang paling rentan akibat konflik sosial dan keamanan.
Duta Besar Perancis Nicolas de Riviere mengatakan, pihaknya akan tetap berupaya demi tercapainya kesepakatan jika masih ada ruang untuk menggapainya. Rekan sejawatnya dari Tunisia, Kais Kabtani, mengatakan, negosiasi akan terus berlanjut untuk meyakinkan kubu AS. Dia menyatakan, prosedur untuk pemungutan suara akan dilakukan lagi.
Dalam kesempatan berbeda, DK PBB turut dalam telekonferensi yang diselenggarakan oleh Estonia—pemegang jabatan presiden DK PBB bulan ini—untuk memperingati 75 tahun berakhirnya Perang Dunia II. Lebih dari 50 menteri dari seluruh dunia berpartisipasi. Mereka mengeluarkan dukungan terhadap multilateralisme. (AFP)