Mereka-reka Batasan Gelembung Sosial Baru yang Aman
Mulai pekan depan, semakin banyak negara yang akan melonggarkan kebijakan karantina dan pembatasan sosial terkait Covid-19. Namun, keluar dari karantina atau pembatasan sosial pun menjadi masalah yang lebih pelik.
Melonggarkan atau bahkan mencabut karantina dan pembatasan sosial bukan keputusan mudah. Pemerintah negara-negara pun kini tengah mencari akal untuk memperluas ”gelembung sosial” antarwarga yang aman.
Mulai pekan depan, semakin banyak negara yang akan melonggarkan kebijakan karantina dan pembatasan sosial terkait pandemi virus korona baru penyebab penyakit Covid-19. China, Korea Selatan, Jerman, Perancis, Spanyol, Selandia Baru, Australia, dan sejumlah negara lain sudah melakukannya.
Pelonggaran dilakukan karena jumlah kasus positif Covid-19 sudah turun dan terpaksa dilakukan karena alasan ekonomi. Namun, semuanya masih diikuti syarat dan ketentuan yang sama.
Boleh keluar rumah, bekerja, sekolah, tetapi harus tetap mengenakan masker, menjaga jarak fisik, menjaga kebersihan diri, tidak kumpul-kumpul lebih dari 10 orang, dan tetap melanjutkan tes cepat untuk mengantisipasi pandemi gelombang kedua.
China saja yang sudah ”lulus” dari karantina sejak bulan lalu dan kini menjalani hidup yang baru (new normal) sampai sekarang masih tetap rutin melakukan tes cepat pada siswa dan pekerja sebelum masuk sekolah dan kantor.
Baca juga : Pandemi Korona dan Kondisi Normal Baru Berikutnya
Untuk memenuhi kebutuhan tes cepat, China menambah produksi hingga 4 juta alat tes cepat pada awal April lalu. Amal Liu (26), karyawan di Shenzhen, menceritakan, kini ada ketentuan baru di kantornya yang mewajibkan pemakaian masker dan menjaga jarak fisik.
Melonggarkan bahkan mencabut karantina dan pembatasan sosial bukan keputusan mudah.
Banyak negara yang penasaran dengan China hanya karena ingin tahu seperti apa dan bagaimana menjalani hidup yang baru. Bagi warga Selandia Baru dan Australia, terbebas dari karantina berarti kebebasan untuk kembali mengantre makanan dan minuman di restoran cepat saji serta berendam dan berselancar di laut. Namun, tetap saja di mana-mana terpasang papan peringatan untuk waspada pada virus korona.
Melonggarkan bahkan mencabut karantina dan pembatasan sosial bukan keputusan mudah. Banyak pemerintah ragu untuk menentukan boleh atau tidak warga keluar rumah. Jika boleh, lalu bagaimana pembatasannya agar warga tetap aman.
Masalah pelik
Rupanya, keluar dari karantina atau pembatasan sosial pun menjadi masalah yang lebih pelik. Sampai sejauh ini, yang diketahui, membatasi interaksi antarmanusia ternyata berhasil menekan penyebaran wabah korona. Situs BBC News, 27 April, menyebutkan, kini pemerintah negara-negara tengah mencari akal untuk memperluas gelembung sosial antarwarga.
Belgia sedang mempertimbangkan untuk mengizinkan warga berkumpul dengan maksimal 10 orang setiap akhir pekan. Masing-masing dari 10 orang itu juga hanya boleh bertemu 10 orang lain. Masalah akan menjadi rumit lagi karena warga harus menentukan siapa 9 orang lain yang boleh berkumpul atau bertemu dengannya.
Selandia Baru sudah membuat kebijakan, mulai pekan depan warga boleh memperluas gelembung sosialnya dengan bertemu keluarga atau teman satu kota. Langkah Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern ini terbilang berani mengingat negara lain masih menunggu kepastian vaksin atau obat Covid-19 sebelum berani mencabut karantina.
Sejumlah pihak menilai, saat ini terlalu cepat melonggarkan karantina. Sebagian lain mengatakan, agar masyarakat tetap bisa bertahan, diperlukan solusi seperti perluasan gelembung sosial itu.
PM Australia Scott Morrison berjanji melonggarkan aturan menjaga jarak fisik secara bertahap agar kehidupan masyarakat bisa pulih dan roda perekonomian kembali berputar meski butuh waktu lama. Namun, jumlah orang yang boleh berkumpul tetap dibatasi. Ketentuan itu bisa jadi tak akan diubah, tetapi setidaknya gelembung sosial warga sedikit meluas.
Baca juga : Australia Genjot Tes Cepat Massal
Untuk membantu pemerintah melacak kluster jejak baru virus, sedikitnya 3,5 juta warga Australia mengunduh aplikasi COVIDsafe. Hanya dengan aplikasi ini, kata Morrison, pemerintah akan bisa memutuskan untuk melonggarkan atau mencabut kebijakan karantina dan pembatasan sosial.
Karantina dan pembatasan sosial jangka panjang terbukti mengusik kesehatan mental. Orang kehilangan kontak fisik dengan sesama sesederhana jabat tangan dan pelukan.
Wakil Direktur Eksekutif Pusat Kesehatan Mental Inggris Andy Bell tidak yakin perluasan gelembung sosial akan berdampak baik bagi kesehatan mental masyarakat karena kondisi setiap orang berbeda-beda. Apalagi jika gelembung sosial itu hanya mengumpulkan dan mengarantina maksimal 10 orang di satu atap yang sama.
Karantina akan terasa berat jika merasa tidak aman, jika tidak punya penghasilan, dan tinggal di tempat yang padat. Bisa jadi mental makin terganggu.
”Karantina akan terasa berat jika merasa tidak aman, jika tidak punya penghasilan, dan tinggal di tempat yang padat. Bisa jadi mental makin terganggu,” ujarnya kepada BBC.
Baca juga : Dua Miliuner Bertolak Belakang soal Pembatasan Sosial
Menurut Brian Dow, Wakil Kepala Kesehatan Mental Rethink, kebijakan perluasan gelembung sosial akan membawa pengaruh baik jika dikelola dengan baik.
”Bisa jadi orang bisa menghilangkan kegelisahan gara-gara merasa terpenjara di rumah. Memang ada yang mencoba mengakali dengan berinteraksi secara daring. Namun, sesungguhnya orang hanya butuh pelukan,” ujarnya.
Hidup baru
Setelah melonggarkan karantina, satu per satu negara mereka-reka gelembung sosial baru yang aman. Kini, yang menjadi pertanyaan adalah cara kembali ke realitas, berinteraksi dengan orang lain, tanpa membahayakan diri sendiri dan tidak membuat orang lain tersinggung. Selama paling tidak dua bulan, orang sudah terbiasa menjaga jarak setidaknya 2 meter.
Situs BBC News, 30 April 2020, menyebutkan, proses ini tak mudah karena seperti harus mengeset ulang norma sosial, cara berjabat tangan, dan pelukan sebagai bentuk kesopanan atau kasih sayang, yang dipelajari sepanjang hidupnya.
Baca juga : Kehidupan Normal Baru, Kita Tak Pernah Sama Lagi
Terkait dengan perluasan gelembung sosial, Ketua Bidang Kinerja Akademisi University of Portsmouth Erika Hughes memperkirakan, dalam hidup baru ini, setiap orang mau tak mau seperti harus membentuk kelompok kecil orang-orang terdekat yang dirasa aman dan nyaman untuk kontak fisik. Ini bisa menjadi solusi sementara waktu sampai dunia betul-betul aman dari wabah korona.
”Memang tidak mudah dan pasti menyakitkan tidak bisa memeluk atau sekadar bersalaman dan cium pipi kiri kanan karena kita manusia yang sudah terlahir harus begitu,” ujar Hughes.
Baca juga : Virus Korona Baru
Sementara Guru Besar Emeritus Psikologi Perkembangan Oxford University Robin Dunbar meyakini, jika suatu saat nanti kehidupan sudah kembali pulih seperti sebelum wabah korona datang, lama-kelamaan perilaku sosial manusia juga akan bisa kembali normal. Ini karena pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan kontak fisik.
”Nanti juga lama-lama akan kembali seperti dulu karena orang pasti tidak akan tahan untuk tidak mengulurkan tangannya,” katanya. (REUTERS/AFP/AP)