Negara-negara Teluk Hadapi Tekanan Berat
Negara-negara penghasil minyak sekuat tenaga mengurangi dan atau mengimbangi kerugian dari sumber pendapatan mereka. Tekanan dari anjloknya harga minyak berkelindan dengan pandemi Covid-19.

Pekerja melintas dekat tangki penyimpanan di fasilitas perusahaan minyak Aramco di Abqaiq, Arab Saudi, 12 Oktober 2019.
BAGHDAD, MINGGU — Negara-negara Teluk menghadapi tekanan ganda akibat anjloknya harga minyak mentah dan pandemi Covid-19. Jutaan pegawai negeri sipil Irak harus siap-siap menghadapi pemotongan tunjangan sosial.
Arab Saudi juga dilaporkan bakal menunda megaproyeknya. Ekonomi Mesir dan Lebanon pun semakin tertekan setelah remitansi dari warga yang bekerja di negara produsen minyak anjlok.
Kantor berita AP, Senin (27/4/2020), melaporkan, negara-negara penghasil minyak sekuat tenaga mengurangi dan atau mengimbangi kerugian dari sumber pendapatan mereka.
Bersama minyak negara lain di dunia dan kawasan, mereka berjibaku melawan Covid-19. Usaha itu tidak mudah karena sejumlah negara mengalami konflik-konflik sosial sebelumnya.
Dana Moneter Internasional (IMF) memproyeksikan perekonomian seluruh negara eksportir minyak di Teluk akan terkontraksi tahun ini. Tekanan paling besar diperkirakan menimpa Irak, yakni 5 persen.
Sebanyak 90 persen anggaran negara itu sepenuhnya tergantung pada penjualan minyak. Menteri Perminyakan Thamir Ghadhban mengatakan, pendapatan ekspor minyak mentah telah turun 50 persen.
Baca juga: Harga Minyak Jatuh, Arab Saudi Tambah Utang
IMF memroyeksikan perekonomian seluruh negara eksportir minyak di kawasan Teluk akan terkontraksi tahun ini. Tekanan paling besar diperkirakan menimpa Irak, yakni sebesar 5 persen.
Di saat beberapa negara Teluk dapat mengandalkan cadangan mata uang asing mereka, Irak tidak memiliki banyak pilihan. Negara itu sangat tergantung dari minyak. Sebanyak 90 persen dari anggaran negara itu sepenuhnya tergantung dari penjualan minyak.
Irak menyaksikan protes besar-besaran dalam beberapa bulan terakhir. Aksi itu digelar oleh warga yang marah terhadap ekonomi yang lemah dan korupsi yang merajalela. Kekacauan sosial itu dikhawatirkan bisa meletus lagi sewaktu-waktu.
Pengurangan belanja hanya akan menambah rasa sakit bagi warga yang berjuang untuk bertahan di bawah kebijakan pembatasan warga dalam melawan penyebaran wabah Covid-19.

Seorang pekerja mengisi bahan bakar pada kendaraan roda empat di sebuah stasiun pengisian bahan bakar untuk umum di Riyadh, Arab Saudi, 16 Februari 2020. Arab Saudi telah melancarkan perang strategisnya dengan menurunkan harga minyak hingga 7 dollar AS per barel dan meningkatkan produksi.
Pengunjuk rasa masih bertahan di Lapangan Tahrir di kota Baghdad. Mereka bertahan dengan mendirikan kemah-kemah. Para pengunjuk rasa itu bertekad mempertahankan aksi mereka. ”Menjelang musim panas, situasi kondisi berkembang menjadi sebuah badai yang ’sempurna’ bagi pemerintah,” kata Sajad Jiyad, seorang analis yang berbasis di Irak.
Minyak jenis Brent sebagai patokan harga minyak internasional saat ini diperdagangkan pada level 20 dollar AS per barel. Harga itu diperkirakan bisa turun ke level harga yang belum pernah terjadi sejak tahun 2001.
Tekanan terhadap harga lebih lanjut akan dirasakan sebagai kesepakatan OPEC untuk memotong tingkat produksi sebesar 23 persen yang dimaksudkan untuk menstabilkan pasar minyak.
Baca juga: Negara Lain Pangkas Produksi, AS Malah Tolak Berkomitmen
Robin Mills, CEO Qamar Energy, sebuah perusahaan konsultan energi yang berbasis di Dubai, menyatakan, Mei dan Juni diperkirakan akan sangat sulit bagi negara-negara produsen minyak di Teluk. Sebab, tangki-tangki penyimpanan minyak akan penuh saat itu, membuat lebih sulit bagi negara-negara itu untuk memasarkan minyak mereka.
”Sejauh ini masih awal dan belum ada yang mencapai tahap anggarannya habis,” kata Mills. ”Namun, hal itu tidak bisa dihindari, Irak mungkin akan terpukul lebih dulu.”
Dalam rancangan anggaran tahun 2020, Irak telah mengandalkan pendapatan dari harga minyak dengan asumsi harga di level 56 dollar AS per barel. Anggaran raksasa dibutuhkan untuk mendanai proyek-proyek pembangunan dan sektor publik yang membengkak, menelan biaya hampir 45 miliar dollar AS dalam bentuk kompensasi dan pensiun.
Menteri Perminyakan Thamir Ghadhban mengatakan baru-baru ini bahwa pendapatan dari ekspor minyak mentah telah turun 50 persen.

Seorang perawat Arab Saudi memeriksa seorang pasien di sebuah klinik keliling yang melayani penduduk Distrik Ajyad Almasafi di kota suci Mekkah, 7 April 2020, yang telah ditutup pihak berwenang, bersama dengan kota-kota besar lainnya, di tengah langkah-langkah untuk mengekang penyebaran dari Covid-19.
Para pejabat Irak pun memperdebatkan opsi pemotongan gaji. Sejumlah sumber mengungkapkan opsi penundaan pekerja sektor publik dari tunjangan sosial mereka sampai sektor keuangan membaik.
Pertanyaannya adalah berapa banyak yang harus dipotong dan dari siapa. Muncul rekomendasi, gaji pekerja kelas atas bakal dipotong hingga 50 persen. Dari sisi anggaran ada positifnya, tetapi berisiko memicu keresahan di kalangan pekerja.
Namun, para ahli mengatakan bahwa itu tidak akan cukup jika harga minyak tetap 20-30 dollar AS per barel. ”Pemotongan perlu lebih dalam dan bahkan jika pendapatan sangat rendah, akan sampai pada titik di mana pemotongan tidak cukup,” kata Jiyad.
Kesepakatan OPEC akan mengharuskan Irak memotong produksi lebih dari 1 juta barel per hari dari produksi pada Mei dan Juni.
Baca juga: Gagalnya Jaringan Intelijen di Balik Merebaknya Covid-19
Selain itu, negara itu dibiarkan tanpa eksekutif yang efektif untuk melakukan reformasi dengan kekosongan kepemimpinan yang berkelanjutan sejak Desember. Sebagaimana diketahui, Perdana Menteri Adel Abdul-Mahdi mengundurkan diri di bawah tekanan pengunjuk rasa.
Mustafa Kadhimi yang ditunjuk sebagai PM akan mengajukan usulan kabinetnya ke parlemen pada pekan-pekan ini. Namun, dia pun menghadapi tentangan dari kelompok-kelompok politik utama.
Sampai pemerintahan di Irak terbentuk, maka anggaran tahun 2020 tidak mungkin disetujui. Ini membatasi kemampuan negara itu meminjam dari lembaga internasional untuk dukungan anggaran.
Investasi tertunda
Di seluruh wilayah Teluk, penurunan harga minyak akan menggagalkan investasi masa depan dan rencana-rencana pembangunan. Produsen minyak mentah terbesar di kawasan itu, Arab Saudi, berencana untuk memotong pengeluaran sebesar 5 persen atau sekitar 13,3 miliar dollar AS.
Cadangan devisa Arab Saudi diperkirakan tergerus hingga 500 miliar dollar AS. Sejumlah target rencana Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman atas penyelesaian kota-kota baru dan mega proyeknya kemungkinan akan tertunda.
Kuwait memiliki cadangan devisa yang cukup. Namun, negara seperti Bahrain menghadapi utang yang besarnya diperkirakan setara dengan 105 persen dari produk domestik bruto (PDB) negara itu.
Jumlah itu bahkan setelah Bahrain menerima penangguhan utang 10 miliar dollar AS dari negara-negara tetangganya untuk menghindari gagal bayar atas pembayaran kembali surat utang 750 juta dollar AS pada 2018.

Foto dari maskapai penerbangan Emirates, Sabtu (8/3/2020) di Dubai, Uni Emirat Arab, ini memperlihatkan pegawai maskapai tersebut membersihkan layar televisi di kursi penumpang pesawat A380-800 dengan disinfektan untuk mencegah penyebaran Covid-19.
Guncangan ganda pandemi dan penurunan harga minyak juga diperkirakan akan memukul keras Mesir, Jordania, dan Lebanon. Negara-negara itu bergantung pada kiriman uang dari diaspora besar dan pekerja di negara-negara Teluk yang kaya.
Di Lebanon, pengiriman uang remitansi mencapai 12,5 persen dari PDB sedangkan di Mesir, diaspora dan warga negara itu menyumbang 10 persen dari PDB. Ditambah dengan krisis ekonomi dan gejolak keuangannya sendiri, kerugian untuk Lebanon diperkirakan relatif besar.
”Bagaimana kita diharapkan untuk bertahan hidup mulai sekarang. Kami mulai kelaparan,” kata seorang pria Lebanon ketika ia menunggu dalam antrean panjang di luar sebuah gerai jasa transfer uang di Beirut.
Baca juga: Senator AS Menekan Arab Saudi untuk Mengurangi Produksi Minyak
Di tingkat perusahaan, produsen minyak global raksasa lainnya harus bergulat dengan kehilangan lapangan-lapangan kerja dan guncangan ekonomi. Produsen dan perusahaan jasa AS, misalnya, telah mengurangi jumlah karyawan hingga ribuan orang.
Jumlah itu diperkirakan bisa bertambah jika pandemi Covid-19 berlanjut. Banyak produsen minyak serpih sudah berjuang sebelum pandemi terjadi.
Jatuhnya harga minyak juga telah memberikan pukulan ke Rusia pada saat penutupan wilayah dilakukan secara parsial. Para pejabat Rusia mengatakan bahwa cadangan devisa yang solid di negara itu dapat membantu menopang guncangan. Ditegaskan bahwa biaya produksi yang rendah memungkinkan perusahaan-perusahaan minyak Rusia tetap untung. (AP/AFP)