AICHR Ingatkan Perlindungan Semua Masyarakat ASEAN di Tengah Pandemi
Komisi HAM Antarnegara ASEAN atau AICHR meminta negara-negara ASEAN untuk melindungi semua masyarakat, termasuk para pengungsi.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi HAM Antarnegara ASEAN atau AICHR mengingatkan anggota ASEAN untuk melindungi semua masyarakat ASEAN, termasuk pengungsi, di tengah pandemi Covid-19. Perlindungan yang inklusif semakin dibutuhkan mengingat muncul kasus penolakan pengungsi dari Malaysia.
Wakil Indonesia untuk AICHR, Yuyun Wahyuningrum, menyatakan, ASEAN baru saja mengadopsi Declaration of the Special ASEAN Summit on Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) pada 14 April 2020. Isi deklarasi itu menyerukan ASEAN untuk memprioritaskan kesejahteraan dan membantu anggota ASEAN yang terdampak pandemi dalam perjuangan kolektif melawan Covid-19.
Oleh karena itu, Yuyun prihatin atas laporan otoritas maritim Malaysia mendorong kembali kapal pengungsi Rohingya yang berusaha mencari perlindungan pada 16 April 2020. Sebagaimana diketahui, Malaysia memberlakukan pengetatan perbatasan untuk menghadapi Covid-19.
”Di masa pandemi, sangat penting untuk saling menjaga satu sama lain. Ini adalah waktu untuk berbelas kasih, terutama bagi mereka yang terpinggirkan dan sangat membutuhkan bantuan, seperti Rohingya,” kata Yuyun melalui keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (23/4/2020).
Ia melanjutkan, pengetatan kontrol perbatasan dan pembatasan pergerakan penting untuk mengurangi penyebaran Covid-19. Akan tetapi, penolakan untuk menerima pengungsi tidak boleh terjadi. Semua negara anggota ASEAN memiliki protokol kesehatan, di mana mereka yang datang ke daratan dapat menjalani karantina selama 14 hari di tempat yang ditentukan.
Ditambah lagi, pada Februari 2020, Satuan Tugas Perencanaan dan Kesiapsiagaan dari Bali Process telah mengeluarkan pernyataan yang menyoroti pentingnya menyelamatkan manusia di laut dan tidak membahayakan keselamatan manusia. Malaysia, Indonesia, Myanmar, Thailand, dan Bangladesh ikut dalam satgas tersebut.
Pernyataan tersebut merupakan salah satu respons terhadap migrasi lewat maritim yang tidak teratur berdasarkan prinsip non-refoulement. Prinsip ini melarang suatu negara mengembalikan pengungsi ke negara asal jika masih berbahaya.
”Kita harus tidak mengulangi kesalahan yang sama pada 2015, ketika puluhan orang Rohingya meninggal di laut karena kapal mereka dicegah untuk turun ke Malaysia, Thailand, dan Indonesia. Hak untuk mencari suaka dijamin dalam Pasal 16 Deklarasi Hak Asasi Manusia ASEAN (AHRD),” kata Yuyun.
Sebelumnya, Malaysia menolak sebuah kapal yang membawa pengungsi Rohingya dengan alasan takut dengan Covid-19. Bangladesh akhirnya menyelamatkan kapal itu, yang berisi 396 pengungsi Rohingya yang telah berminggu-minggu terombang-ambing di laut. Dari para pengungsi itu, petugas mengetahui, 32 orang tewas dan jenazahnya dibuang ke laut (Kompas, 17 April 2020).
Perkembangan itu menunjukkan, Malaysia, yang tengah berada dalam kuncitara nasional, memperkuat sikapnya untuk menolak Rohingya masuk. Sejak krisis 2015, beberapa pengungsi telah diizinkan masuk ke negara itu. Awal bulan ini, 202 pengungsi Rohingya mendarat di Langkawi dan ditahan.
Malaysia adalah tujuan favorit bagi pengungsi Rohingya. Selain karena merupakan negara mayoritas Muslim, negara ini menampung diaspora Rohingya yang cukup besar.
Para aktivis kini takut, para pengungsi dari Rohingya akan terapung-apung di atas kapal dalam waktu lama dan tidak mampu mencapai negara lainnya. ”Mengirimkan kapal pengungsi yang tidak lengkap ke laut adalah melanggar hukum dan merupakan hukuman mati,” kata CEO Fortify Rights Matthew Smith.
Kembali ditolak
Dalam perkembangan yang terbaru, Bangladesh, Kamis (23/4/2020), mengumumkan tidak akan menerima dua kapal yang membawa ratusan pengungsi Rohingya yang kelaparan. Pernyataan itu keluar setelah seruan untuk membantu pengungsi menguat akibat kontroversi pekan lalu.
”Dua kapal yang membawa Rohingya berusaha masuk ke perairan kami. Angkatan Laut dan penjaga pantai kami dalam keadaan siaga dan mereka telah diperintahkan untuk tidak membiarkan kapal-kapal ini memasuki Bangladesh. Tidak ada lagi Rohingya yang akan diizinkan masuk,” kata Menteri Luar Negeri AK Abdul Momen.
Dua kapal tersebut kini berada di perairan internasional. Mereka terombang-ambing setelah para penyelundup manusia berusaha mencapai Malaysia, menurut sejumlah lembaga bantuan dan seorang pemimpin komunitas Rohingya.
Amnesty International menyatakan, dua kapal ikan tersebut sedang membawa ratusan pengungsi Rohingya, termasuk perempuan dan anak-anak. Organisasi HAM ini menyatakan, Bangladesh dan negara di sekitar kawasan harus menyelamatkan mereka. ”Kami harap Bangladesh akan terus menerima para pengungsi Rohingya di masa-masa sulit ini,” ujar Biraj Patnaik, Direktur Amnesty International di Asia Selatan.
Lebih dari 730.000 warga Rohingya terpaksa mengungsi dari Negara Bagian Rakhine, Myanmar, pada 2017, setelah militer Myanmar membalas serangan tentara Arakan Rohingya. Mayoritas pengungsi ditampung di Cox’s Bazar, Bangladesh, yang kini dihuni oleh hampir 1 juta orang (AFP/REUTERS)