Hingga 2019, total utang Arab Saudi mencapai 180 miliar dollar AS. Dengan rencana penerbitan 26,6 miliar dollar AS, total utang Riyadh bisa mencapai 206,6 miliar dollar AS pada 2020.
Oleh
kris mada
·4 menit baca
RIYADH, SELASA — Penurunan harga minyak diduga akan mendorong Arab Saudi menerbitkan surat utang baru. Sebab, negara itu akan kehilangan hingga Rp 2,34 triliun per hari sepanjang 2020 gara-gara kekacauan pasar minyak global dan perlambatan ekonomi global yang dipicu pandemi Covid-19.
Sejumlan bankir, Senin (13/4/2020), di Riyadh, menyebut, penerbitan surat utang baru oleh Riyadh hanya soal waktu. Pekan lalu, Qatar dan Abu Dhabi mendapatkan total 17 miliar dollar AS dari surat utang baru.
”Langkah logis (bagi Riyadh menerbitkan surat utang setelah Doha dan Abu Dhabi). Mereka (Arab Saudi) mungkin akan menunggu reaksi pasar minyak beberapa waktu karena mereka sangat diasosiasikan dengan minyak,” kata seorang bankir yang kerap mengurus penerbitan surat utang di Arab Saudi.
Dalam pernyataan kepada Financial Times pada Maret 2020, Menteri Keuangan Arab Saudi Mohammed al-Jadaan mengatakan bahwa Riyadh telah mengubah batas maksimum utang dari 30 persen produk domestik bruto (PDB) menjadi 50 persen PDB. Dengan PDB 786,5 miliar dollar AS, Riyadh bisa memiliki total utang 393,2 miliar dollar AS.
Hingga 2019, total utang Arab Saudi mencapai 180 miliar dollar AS. Dengan rencana penerbitan 26,6 miliar dollar AS, total utang Riyadh bisa mencapai 206,6 miliar dollar AS pada 2020. Karena batas utang sudah dinaikkan, Arab Saudi masih bisa menambah hingga 185 miliar dollar AS sepanjang 2020.
Selain menaikkan batas maksimum utang, Arab Saudi juga melebarkan defisit APBN dari 6 persen menjadi 9 persen PDB. Dengan demikian, defisit APBN Arab Saudi 2020 ditoleransi mencapai 70,78 miliar dollar AS. Riyadh juga memangkas APBN 2020 senilai 13,3 miliar dollar.
Pendapatan migas
Penyebab defisit APBN Arab Saudi antara lain pemangkasan produksi minyak. Arab Saudi secara faktual menjadi pemimpin Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC). Minggu (12/4/2020), OPEC dan sejumlah negara produsen minyak sepakat memangkas 9,7 juta barel per hari pada Mei dan Juni 2020.
Pada Senin kemarin, Menteri Energi Arab Saudi Pangeran Abdulaziz bin Salman dan Presiden Amerika Serikat Donald Trump menyebut pemangkasan global bisa mencapai 20 juta barel per hari.
Riyadh berkomitmen memangkas hingga 3,7 juta barel per hari. Dengan komitmen itu, sejumlah pihak di Riyadh bisa kehilangan hampir 40 miliar dollar AS sepanjang 2020. Dalam APBN 2020, Riyadh memproyeksikan pendapatan dari minyak mencapai 136,47 miliar dollar AS.
Bank investasi Arab Saudi, Al Rajhi Capital, awalnya memproyeksikan Riyadh mendapat 129,52 miliar dollar AS dari minyak dan 92 miliar dollar AS dari pendapatan non-migas. Dengan kesepakatan OPEC, pendapatan migas Riyadh akan terpangkas 38,62 miliar dollar AS menjadi 90,9 miliar dollar AS. Pada nilai tukar Rp 15.000 per dollar AS, potensi kehilangan pendapatan Riyadh setara Rp 1,58 triliun per hari.
Selain karena pemangkasan produksi migas, Riyadh juga kehilangan pendapatan karena menunda penarikan pajak. Kebijakan itu bagian dari stimulus untuk mendorong perekonomian yang terdampak Covid-19.
Akibatnya, pendapatan nonmigas Arab Saudi berkurang 18,6 miliar dollar AS menjadi 73,4 miliar dollar AS. Dengan kata lain, Riyadh kembali kehilangan potensi pendapatan setara 50,95 juta dollar AS alias Rp 764 miliar per hari. Gabungan potensi kehilangan pendapatan dari sektor migas dan nonmigas mencapai Rp 2,34 triliun per hari.
”Kami tidak tahu berapa defisit anggaran karena kami tidak tahu seberapa besar pemerintah memangkas belanja. Ada ruang untuk memangkas belanja lebih jauh dan kami kira pemerintah akan melakukan itu,” kata Kepala Penelitian Al Rajhi Capital Mazen Al Sudairi.
Sudairi menduga uang yang dihasilkan lembaga investasi pemerintah, Public Investment Fund, dan 29 miliar dollar AS hasil penjualan saham perusahaan minyak Arab Saudi, Aramco, bisa dialirkan ke perekonomian.
”Penting menjaga dana itu tetap di perekonomian lokal untuk merawat stabilitas perbankan. Hasil penjualan saham Aramco membuat tabungan dan pasokan uang stabil selama beberapa bulan terakhir,” ujarnya.
Sementara itu, pasar minyak terus bereaksi setelah keputusan OPEC. Harga brent, minyak yang jadi acuan harga global, naik menjadi 32,2 dollar AS per barel pada perdagangan Selasa.
Sementara Texas WTI menjadi 22,8 dollar AS per barel. Memang, harga minyak belum kembali seperti pada Januari 2020. Kala itu, Brent dipasarkan pada kisaran 63,5 dollar AS per barel dan Texas WTI pada 57,5 dollar AS per barel.
Harga minyak sulit terangkat sedikitnya karena dua faktor. Pertama, AS tidak mau mengungkap komitmen pemangkasan produksi minyak. Padahal, AS bolak-balik memaksa OPEC dan negara produsen minyak non-OPEC bersepakat soal pemangkasan produksi. Washington beralasan, produksi nasionalnya akan terpangkas secara otomatis di tengah penurunan permintaan.
Kedua, jumlah yang dipangkas lebih rendah dari jumlah pengurangan permintaan di tengah pandemi. Sejumlah pihak menyebut permintaan global berkurang 30 juta barel per hari. Sementara OPEC+ hanya menyepakati pemangkasan total 20 juta barel per hari secara bertahap.
”Kesepakatan gagal mencapai aras yang ditunggu pasar. Kami harap OPEC+ terus berunding demi kestabilan pasar minyak,” kata Presiden Petroleum Association of Japan (PAJ) Takashi Tsukioka. (AP/REUTERS)