Kala Kalah dalam Perang Harga Minyak
Siapa mendapatkan keuntungan dari kejatuhan harga minyak? Apakah para pemilik kendaraan bermotor, juga negara yang miskin sumber minyak. Atau malah Rusia dan Arab Saudi -- dua negara pemicu kejatuhan harga minyak itu?
Kejatuhan harga minyak dua pekan lalu secara sekilas tampak telah menghadirkan pemenang. Pemenangnya adalah para pemilik kendaraan bermotor, juga negara yang miskin sumber minyak. Sebut saja Jepang, India dan bahkan China. Mereka yang kalah adalah Rusia dan Arab Saudi (dua negara pemicu kejatuhan harga minyak itu), mungkin juga Amerika Serikat sebagai penghasil minyak serpih. Namun apakah memang benar demikian?
Ada “harga” yang harus ditanggung atas keputusan Presiden Rusia, Vladimir Putin, untuk bergeming dengan runtuhnya kesepakatan soal penurunan produksi minyak dan dimulainya perang harga melawan Pangeran Mahkota Saudi, Mohammed bin Salman (MBS).
Masing-masing negara itu dapat kehilangan pendapatan ekspor lebih dari 100 juta dollar AS per hari. Perusahaan-perusahaan minyak serpih AS pun harus berjuang dengan penurunan produksi. Utang yang harus mereka tanggung siap-siap berkelindan dengan turunnya pendapatan karena turunnya harga.
Namun ada wajah yang lebih besar dari soal adu bebal antara Putin dan MBS. Wabah Covid-19 di China pada awalnya dan penyebarannya yang cepat berdampak pada ekonomi global menjadi faktor penting dalam peta perminyakan global saat-saat ini.
Covid-19 dan akibatnya sekaligus menjadi faktor pengubah “permainan” dengan akibat dan waktu akibatnya yang belum terhitung saat ini. Yang jelas dan itu telah mengakibatkan perang harga minyak Rusia versus Saudi, Covid-19 telah mendorong turunnya permintaan minyak –terutama dari China- pada pekan-pekan pertama tahun 2020.
Covid-19 dan akibatnya sekaligus menjadi faktor pengubah “permainan” dengan akibat dan waktu akibatnya yang belum terhitung saat ini.
Baca juga: Waspadai Harga Minyak
Sebagai respon, Arab Saudi dan negara-negara OPEC lainnya menyerukan OPEC+ untuk mengurangi stok produksi agar pasokan jadi semakin turun dengan total 3,6 juta barel per hari. Ketika Rusia menolak rencana itu, OPEC membatalkan semua batas produksi.
Pada 9 Maret, tak lama setelah pembicaraan OPEC+ runtuh di Wina, minyak telah turun ke harga 31 dollar AS per barel dari sekitar 66 dollar AS per barel pada akhir 2019 karena Riyadh mengatakan akan mengangkat produksi ke rekor tertingginya.
Merujuk data OPEC (2018), cadangan minyak negara-negara OPEC mencakup 79,4 persen secara global dengan volume mencapai 1.189 miliar barel. Negara-negara non OPEC berarti memiliki cadangan minyak sebesar 308 miliar barel.
Dari sisi negara, cadangan minyak anggota OPEC terbesar dimiliki Venezuela dengan volume 302 miliar barel atau 25,5 persen dari cadangan minyak OPEC.
Arab Saudi memiliki cadangan minyak 267 miliar barrel (22,4 persen), disusul kemudian Iran dengan 155 miliar barel (13,1 persen) dan Irak dengan 145 miliar barel (12,2 persen). Cadangan minyak AS diperkirakan mencapai 264 miliar barel, diikuti Rusia dengan cadangan minyak 256 miliar barel.
Baca juga: Perang Harga Minyak Dunia
Amerika Serikat telah menambahkan sekitar 4 juta barrel per hari dalam produksi minyak serpihnya ke pasar global sejak 2016, tepat ketika aliansi OPEC + terbentuk dan mulai memotong pasokan untuk mendukung harga. Namun peningkatan produksi serpih yang produktif tidak berkelanjutan pada harga rendah.
Produksi AS saat ini mencapai rekor tertinggi, yakni sekitar 13 juta barrel per hari. Perang harga yang berkelanjutan bakal berarti memuncaknya produksi AS. Mungkin saja itu akan berlaku selamanya.
Produsen minyak serpih umumnya mendasarkan belanja modal mereka untuk tahun 2020 mereka pada harga minyak WTI di level 50 dollar AS per barrel. Itu artinya perusahaan-perusahaan itu bakal harus memotong investasi modal secara dramatis sebagai respons terhadap harga minyak saat-saat ini. Mau tidak mau.
Amerika Serikat telah menambahkan sekitar 4 juta barrel per hari dalam produksi minyak serpihnya ke pasar global sejak 2016, tepat ketika aliansi OPEC + terbentuk dan mulai memotong pasokan untuk mendukung harga.
Melawan produksi minyak serpih Amerika, menurut media Forbes, adalah salah satu motivasi Putin untuk menolak proposal agresif Arab Saudi untuk memotong 1,5 juta barrel tambahan per hari dari produksi OPEC +.
Rusia dinilai mulai bosan memberi ruang bagi pasokan minyak baru AS dan secara efektif mensubsidi serpih melalui mekanisme pemotongan harga guna mendukung harga minyak global.
Putin juga jengkel dengan sanksi Pemerintahan Trump terhadap pipa gas alam Nord Stream 2 Rusia ke Eropa dan pada Perdagangan Rosneft, entitas Rusia yang memasarkan sebagian besar produksi minyak Venezuela. Washington digunakan untuk menerapkan sanksi tersebut melalui revolusi energinya sendiri.
Baca juga: Gejolak di Ladang-ladang Minyak
Moskwa dinilai sudah cukup sabar terhadap AS. Sebagai negara adikuasa energi, AS menjadi ancaman Rusia dalam menggarap pasar-pasar utamanya di Eropa dan Asia. Rusia yakin akan mendukung aliansi OPEC +, meskipun ada ancaman permintaan dari penyebaran global Covid-19. Itu semata karena Rusia yakin dapat bertahan dengan harga yang lebih baik daripada produsen OPEC di Timur Tengah, termasuk Arab Saudi, Kuwait, dan Uni Emirat Arab.
Kementerian Keuangan Rusia mengatakan cadangannya akan memungkinkann untuk menahan harga 25-30 dollar AS per barrel untuk jangka waktu 6-10 tahun. Namun jelas periode harga rendah yang diperpanjang dan perkiraan pendapatan rendah tidak dapat menjadi pilihan yang menarik bagi siapa pun, termasuk Rusia.
Posisi Arab Saudi sendiri dinilai berada dalam osisi terlemah. Saudi adalah produsen berbiaya terendah di dunia, dengan biaya ekstraksi sekitar 3 dollar AS per barrel. Itu berarti negara itu dapat menghasilkan keuntungan di pasar, dalam kondisi pasar jeblok sekali pun, lebih dari siapa pun.
Namun, hal yang patut diingat adalah, Saudi juga bergantung pada pendapatan minyak lebih dari Rusia dan AS. Kerajaan itu, mengutip data Dana Moneter Internasional (IMF), membutuhkan harga minyak Brent setidaknya di level 83 dollar AS per barrel untuk menyeimbangkan anggarannya.
Baca juga: Perang Harga Minyak Tambah Kekhawatiran Global
Arab Saudi terang-terangan membutuhkan pendapatan minyak yang sangat besar untuk mendanai program Visi 2030-nya. Visi itu jelas: melepaskan ketergantungannya pada minyak semata bagi ekonomi negeri itu. Penawaran saham perdana Aramco bolehlah disebut sebagai peretas jalan. Namun kini harga saham perusahaan itu juga tengah jatuh di tengah aksi jual besar-besaran di ekuitas global.
Apa yang terjadi selanjutnya tergantung pada seberapa jauh Arab Saudi memutuskan untuk meningkatkan produksinya. Tidak seperti Rusia, yang memiliki kapasitas cadangan terbatas, Saudi dapat dengan cepat mendorong produksi minyak menjadi 12 juta barel per hari dalam upaya untuk memperluas pangsa pasar mereka dan memaksa Moskow kembali ke meja perundingan. Akan sampai mana dan kapan itu terjadi? Atau hubungan Arab Saudi-Rusia bakal berakhir secara permanen? Tidak ada yang dapat memastikan.
Posisi OPEC
Menarik dinantikan apa yang akan dilakukan OPEC sebagai organisasi. Cerminan sikap anggota-anggotanya, khususnya Arab Saudi, menarik dicermati. Sejak dibentuk pada tahun 1960 untuk mengoordinasikan kebijakan produksi minyak di antara para anggotanya, OPEC dalam beberapa dekade terakhir ini semakin dituntut bekerja sama dengan produsen di luar kelompok untuk mengelola pasar. OPEC telah mengalami sejumlah periode penting menghadapi kejatuhan harga minyak.
Baca juga: Asumsi Harga dan Produksi Minyak Mentah Diubah
Pada tahun 1985-1986, misalnya, OPEC telah membatasi produksi pada awal 1980-an untuk mendukung harga minyak. Arab Saudi memikul beban pemotongan terbesar. Frustrasi karena kehilangan pangsa pasar, Arab Saudi menggenjot produksinya sehingga membuat harga minyak di bawah 10 dollar AS pada tahun 1986. Harga pulih perlahan dari posisi terendah, sebagian dengan memaksa perusahaan minyak dengan biaya lebih tinggi dari OPEC untuk menunda proyek produksi.
OPEC juga menaikkan produksinya pada 1997 atas permintaan Menteri Perminyakan Arab Saudi saat itu, Ali Naimi. Hal itu dilakukan untuk memenuhi kenaikan permintaan dari China. Namun krisis keuangan Asia dan kelebihan produksi OPEC menyebabkan jatuhnya harga minyak menjadi sekitar 9 dollar AS per barel pada tahun 1999 karena anjloknya permintaan.
OPEC lalu mengumumkan tiga kali pengurangan produksi antara April 1998 dan April 1999 dengan mengurangi produksi sebesar 4,3 juta barel per hari. Pemotongan itu disertai oleh ultimatum Saudi yang dikirim ke Venezuela dan produsen OPEC lainnya untuk berhenti memproduksi lebih dari kuota mereka.
Baca juga: Arab Saudi Layani Tantangan Perang Minyak
Krisis keuangan global pada tahun 2008 juga memberi guncangan besar bagi harga minyak. Harga minyak rontok dari level 147 dollar AS per barel menjadi 36 dollar AS per barel pada akhir tahun itu. Antara September dan Desember 2008, OPEC mengadakan tiga pertemuan di mana kelompok itu setuju untuk menahan produksi 4,2 juta barrel per hari.
Krisis harga minyak lalu terjadi lagi tahun 2014-2016 akibat ledakan produksi minyak serpih di AS. Pangsa pasar OPEC terkikis karenanya. Harga minyak jatuh mendekati level 27 dollar AS pada 2016 dari di atas 115 dollar AS pada 2014.
Menghadapi ketegangan pada anggaran mereka, Arab Saudi dan Rusia berkolaborasi menciptakan aliansi informal OPEC dan produsen lainnya, dijuluki OPEC +. Kelompok ini menyetujui pemangkasan pertama pada 2016 dan pada Januari 2020 pemangkasan mencapai 2,1 juta barel per hari. Sekali lagi Arab Saudi kembali melakukan pengurangan produksinya dengan jumlah paling banyak. (AP/AFP/REUTERS)