Manusia senang mendengar cerita dan juga senang bercerita. Puluhan ribu tahun silam, cerita tentang bumi dan matahari tercipta disampaikan para nenek dan kakek kepada anak serta cucu mereka di tepi sungai saat hari mulai gelap. Cerita itu mungkin diawali dengan ungkapan yang lebih kurang sama artinya dengan: ”pada suatu hari…”.
Beribu-ribu tahun kemudian, kisah hebat yang lain tentang penciptaan matahari dan bumi juga disampaikan, diulang-ulang, dan diajarkan di pusat-pusat awal mula peradaban besar, seperti di lembah Sungai Nil, sebuah area di Mesopotamia, serta dataran sungai besar di China.
Dengan cerita itu, puluhan ribu, ratusan ribu, bahkan mungkin jutaan orang tergerak untuk bekerja sama, mewujudkan cita-cita yang terkandung dalam kisah nan heroik. Manusia selalu senang bercerita dan juga senang mendengar cerita. Fenomena inilah yang oleh penulis Sapiens, Yuval Noah Harari, disebut sebagai kekuatan narasi.
Dibandingkan dengan makhluk hidup lainnya, termasuk yang berkerabat dekat, seperti simpanse, manusia mempunyai keunggulan membangun narasi lewat bahasa, yang kemudian dipahami oleh jutaan manusia lainnya. Atas dasar narasi itulah, peradaban dibangun, ribuan orang bersedia tewas di medan laga, bersedia bekerja seumur hidup demi apa yang diagung-agungkan dalam kisah tersebut.
Sepanjang perjalanan umat manusia, ada banyak contoh bahwa untuk membangun narasi yang mampu memberi api pada nasionalisme, dan gerakan-gerakan lainnya, orang tak segan ”menyusun” sejarah agar cocok dengan konstruksi narasi akbar yang hendak diciptakan. Misalnya, ras tertentu adalah keturunan agung, memiliki tugas mulia, sementara ras lain merupakan hama, tak layak hidup di bumi.
Dengan kata lain, harus diakui, setiap negara, setiap wilayah, setiap religi, memiliki cerita, kisah asal mula yang berbeda-beda. Menurut kelompok A, dengan cara itu, bumi, matahari, dan manusia tercipta. Adapun menurut kelompok B, bumi, manusia, dan matahari tercipta dengan cara yang berbeda.
Kegelisahan
Sejarawan David Christian dalam bukunya, Origin Story (Kisah Asal-Usul, terjemahan), gelisah dengan kenyataan itu. Beragam sejarah atau kisah asal-usul yang ada selama ini telah membuat manusia terkotak-kotak. Ada kami, kita, dan mereka. Maka, ia hendak membangun kisah asal-usul, sebuah kisah sejarah, yang dapat menghubungkan semua manusia.
Kisah sejarah ini dibangun berdasarkan temuan sains paling mutakhir: alam semesta mengembang, realitas kuantum, gaya inti kuat, lubang hitam, evolusi, dan seterusnya. Menurut Christian, ketiadaan kisah asal-usul yang baru, yang lebih cocok dengan realitas modern, membuat manusia sekarang kehilangan arah. Terpaan globalisasi menyebabkan manusia di setiap negara dengan beragam religi seperti kebingungan, tak tahu apa yang menjadi pegangan.
Karena itu, menurut dia, perlu dibangun pengembangan Kisah Asal-Usul yang baru. ”Untuk mengerti sejarah umat manusia, kita harus paham bagaimana suatu spesies aneh berevolusi, yang berarti belajar evolusi kehidupan di planet bumi, yang berarti belajar evolusi planet bumi, yang berarti belajar evolusi bintang dan planet, yang berarti mengetahui evolusi alam semesta,” tulis Christian.