Belajar dari Argentina: Ketika Korupsi dan Gejolak Kurs Berkorelasi Kuat
Bagaimana rasanya menjadi warga di negara dengan inflasi tinggi dan kurs amblas? Ini pasti menyesakkan. Inflasi tinggi memerosotkan nilai riil uang warga berpendapatan tetap. Kurs amblas meningkatkan kewajiban luar negeri dan beban impor. Inilah sedang terjadi di Argentina dengan inflasi pada kisaran 30 persen dan kurs peso pada kisaran 40 peso per dollar AS.
Situasi ini menyebabkan aksi protes warga dan mulai ada penjarahan toko seperti diberitakan televisi Al Jazeera, Rabu (5/9/2018). Dapur umum pun mulai bermunculan untuk menolong warga pengangguran.
Inilah buah dari pemerintahan yang tidak pernah belajar serius dari kesalahan masa lalu soal perekonomian.
Argentina pada dekade 1920-an setara Perancis tetapi merosot dan berada dalam peringkat buruk persaingan global. Derita ekonomi terus berlanjut hingga pada dekade 1990-an dan kini pada tahun 2018. Terkadang ada era di mana tercapai stabilitas, tetapi tidak ada jaminan akan kesinambungannya.
Kleptokrasi adalah salah satu akar dari permasalahan seperti dituliskan harian AS The Christian Science Monitor edisi 28 Agustus 2018. Korupsi yang sistemik mendera perekonomian. Kolusi penguasa dan pengusaha menjadi tradisi di negara yang terkenal dengan karakter oligarki korup.
Kolusi penguasa dan pengusaha menjadi tradisi di negara yang terkenal dengan karakter oligarki korup.
Alokasi dana negara, termasuk yang dibiayai dari pinjaman luar negeri, mengalir ke proyek-proyek pemerintah. Namun, untuk kelangsungan proyek pekerjaan umum ini, pebisnis memberi suap ke para pejabat. Nilai-nilai proyek membengkak, tetapi hasilnya tidak efisien dan tidak efektif serta menyebabkan timbunan utang.
Pada kuartal pertama 2018, negara ini memiliki utang luar negeri sebesar 252 miliar dollar AS dan cadangan devisa hanya sebesar 45 miliar dollar AS pada periode yang sama.
Dari masa ke masa, kleptokrasi dan korupsi sistemik tidak sirna. Presiden Mauricio Macri yang berkuasa sejak 2015 mencoba melakukan pembersihan, tetapi belum menunjukkan hasil signifikan.
Skandal mantan Presiden
Hal terbaru adalah isu suap yang merugikan negara, seperti dipublikasikan harian La Nacion di awal Agustus 2018. Publikasi ini bersumber pada “catatan-catatan” berisi skandal korupsi yang bertahun-tahun disembunyikan.
Publikasi ini bersumber pada “catatan-catatan” berisi skandal korupsi yang bertahun-tahun disembunyikan.
Catatan ini memperlihatkan aliran suap dari pengusaha ke para pejabat. Penerima suap itu antara lain mantan Presiden Cristina Fernandez de Kirchner (2007-2015), dan Presiden pendahulu yang juga suaminya Nestor Kirchner (2003-2007). Catatan ini memang khusus soal korupsi dan aksi suap selama pemerintahan Cristina dan Nestor.
Dalam sebuah catatan ada satu aliran dana sebesar 160 juta dollar AS selama periode 2005-2015 ke dua mantan Presiden itu. Ini baru jumlah yang sangat kecil. Pada 30 Agustus 2018, Forbes meluncurkan artikel yang menuliskan 36 miliar dollar AS dana negara lenyap akibat korupsi.
Terkait “catatan itu”, otoritas telah menangkap sejumlah pebisnis dan pejabat. Sebagian telah bersedia bersaksi untuk imbalan keringanan hukuman. Di antara yang sempat tertangkap adalah beberapa perwakilan dari perusahaan konstruksi, Techint, raksasa konstruksi Italia-Argentina milik miliuner Paolo Rocca, orang kaya Argentina.
Rocca membantah keterlibatan Techint. Hanya saja mantan Direktur Techint, Luis Betnaza, di awal Agustus 2018 bersaksi bahwa anak buahnya, Hector Zabaleta, memberi suap untuk membuat pemerintah Argentina bersedia bernegosiasi dengan almarhum Presiden Venezuela Hugo Chavez pada 2008. Ini setelah Sidor, anak perusahaan Techint dinasionalisasi pemerintah Venezuela. Cristina saat menjabat Presiden oleh Rocca dimohonkan berkomunikasi dengan Chavez seperti diberitakan LaRepublica berbasis di Miami, 14 April 2008.
Kesaksian lain datang dari Claudio Uberti, pejabat Argentina yang bertanggung jawab atas segala proyek pekerjaan publik untuk jalan dan jaringan kereta api di Provinsi Santa Cruz, Argentina, daerah asal Cristina dan suaminya. Uberti mengatakan, Betnaza sendiri memberi lebih 100.000 dollar AS dalam lima atau enam kesempatan kepada Nestor Kirchner.
Techint juga menjadi target investigasi oleh penuntut di Milan, Italia, terkait aliran dana ke Swiss, Panama, dan Uruguay untuk tujuan pencucian uang. Kasus suap Techint hanya salah satu contoh dari kolusi pengusaha dan pebisnis yang terkait dengan Nestor Kirchner.
Menteri Perekonomian Argentina (2002-2005) Roberto Lavagna pernah mengatakan, proyek-proyek pekerjaan umum ditangani sekelompok yang bertindak seperti kartel. Akibatnya, biaya-biaya proyek pekerjaan umum yang bernilai miliaran peso menjadi sumber suap bagi pejabat. Lavagna dipecat oleh Presiden Nestor Kirchner karena mencuatkan isu ini.
Majalah Forbes menyebutkan kisah kerakusan Nestor, yang memilih pola suap diberi lewat kotak-kotak berisi uang tunai. Nestor disebutkan pernah marah saat kotak-kotak uang tidak berisi banyak dan dikabarkan menyukai mata uang peso ketimbang dollar AS. Pernah dalam satu kesempatan Nestor menendang tas berisi uang yang kemudian isinya beterbangan di kantornya di Casa Rosada, Istana Kepresidenan di Buenos Aires.
Nestor disebutkan pernah marah saat kotak-kotak uang tidak berisi banyak dan dikabarkan menyukai mata uang peso ketimbang dollar AS.
Nestor dituliskan akan meminta sekretaris pribadi memberi kode kepada para penyetor suap jika uang yang diberikan tidak cukup banyak. Uang-uang itu yang masuk diterbangkan ke Provinsi Santa Cruz di wilayah Patagonia, Argentina selatan, lewat jet pribadi.
Catatan supir pejabat
Ini adalah bagian dari catatan lengkap Oscar Centeno, seorang supir di departemen pekerjaan umum. Situs BBC pada 2 Agustus 2018 menyebutkan Centeno mencatat semua pengiriman tas-tas berisi uang tunai lengkap dengan nilainya selama periode 2003-2015, era kekuasaan suami istri Nestor dan Cristina.
Centeno mengetahui ini karena dia bertanggung jawab untuk semua pengambilan dan pengiriman. Ini sehububungan dengan perannya sebagai supir pribadi Roberto Baratta, pejabat tinggi Argentina di Departemen Perencanaan. Inilah yang juga bocor ke harian La Nacion di awal 2018. Roberto Baratta sendiri adalah tangan kanan Menteri Perencanaan Julio De Vido di era kekuasaan Cristina.
Dalam catatan itu tersebut nama-nama pebisnis seperti Sanchez Caballero, mantan pimpinan Iesca, sebuah perusahaan konstruksi yang menangani proyek mega kelistrikan. Juga tercatat nama Gerardo Ferreyra dan Jorge Guillermo Neira, berposisi sebagai Wakil Presiden Electroingenieria, perusahaan yang mengerjakan proyek kelistrikan di wilayah Patagonia.
Ada banyak yang disebut di dalam catatan itu, termasuk Ketua Kadin Argentina untuk Urusan Konstruksi, Carlos Wagner. Dia ini adalah salah satu otak kartel proyek pekerjaan umum yang bermuara pada kekuasaan Cristina.
Bahkan di dalam skandal suap dengan sasaran utama adalah Cristina Fernandez de Kirchner ini juga terlibat Angelo Calcaterra, seorang pengusaha yang juga sepupu Presiden Argentina Mauricio Macri.
Konfirmasi dari catatan ini terungkap di pengadilan sepanjang 2018. Ini berkat strategi hakim yang mengancam nama-nama yang terlibat dengan hukuman penjara tetapi ditawarkan keringanan untuk mendapatkan informasi lanjutan.
Sejauh ini efeknya tidak signifikan untuk pembersihan negara dari korupsi. Para jaksa penuntut mencoba melakukan tugasnya dengan menangkapi banyak para pelaku, yang disebut kubu penguasa-pengusaha. Akan tetapi sebagian besar sudah dibebaskan. Strategi mereka, dengan bantuan pengacara, diposisikan bahwa para pengusaha dipaksa atau diperas suami istri Kirchners. Argumentasi ini membuat mereka terlihat sebagai korban.
“Nyatanya tidak seperti itu,” demikian dituliskan di harian Buenos Aires Times, 11 Agustus 2018.
Wagner, pemilik perusahaan bernama Esuco, adalah inti dari skema suap ini. Javier Sanchez Caballero–mantan CEO Iecsa–merupakan salah satu pemain antusias dan pendukung aksi suap demi kelangsungan proyek perusahaan.
Uang negara lenyap padahal cukup untuk menutupi defisit anggaran. Inilah salah satu alasan di balik stagflasi ekonomi Argentina sekarang. Kasus suap ini melibatkan jumlah uang yang lebih banyak dari defisit anggaran pemerintah yang pada Juli 2018 sebesar 14,279 miliar dollar AS.
Populis tetapi korup
Tampaknya ada kemajuan atas semua kasus ini. Cristina Fernandez de Kirchner segera menghadapi pengadilan. Cristina memiliki kekebalan hukum dengan kedudukannya sebagai senator tetapi dia tidak terhindar dari pengadilan. Cristina sejauh ini mengatakan semua kasus itu bermotifkan politik.
Banyak pihak skeptis apakah kasus ini akan tuntas. “Saya tetap skeptis,” kata Agustino Fontevecchia, mantan anggota redaksi Forbes dan kini kini Direktur Digital Perfil, Argentina.
Skeptisme ini masuk akal. Harian AS The New Yorker pada 29 Juni 2016 menuliskan artikel berjudul “Argentina’s Culture of Corruption”. Argentina dari waktu ke waktu sarat dengan budaya korupsi, dan juga berlangsung di era Presiden Carlos Saul Menem (1989–1999).
Negara ini juga didera kediktatoran terutama periode 1974 – 1983. Era ini dikenal dengan julukan “Dirty War” merujuk pada terorisme negara untuk memberangus pembangkang politik, terutama terkait komunisme.
Naluri politik Nestor dan Cristina justru muncul di era “dirty war” dan menempatkan mereka ke tampuk kekuasana Argentina. Duet ini di masa mudanya penentang diktator dan berjiwa sosial.
Hanya saja Nestor dan Cristina, yang di awal penampilan mereka disambut rakyat justru berubah di tengah perjalanan waktu. Keduanya terjebak kasus korupsi yang ditutupi dengan gaya pemerintahan populis berupa kesediaan memberikan subsidi pada rakyat. Ini berlanjut pada Cristina.
“Mayoritas pengikut Cristina sadar bahwa dia ini korup tetapi pendukung berpikir bahwa dana memang dibutuhkan untuk tujuan politik,” kata Jaime Duran Barba, seorang sosiolog dan penasihat Presiden Mauricio Macri seperti dikutip harian MercoPress, 8 Juni 2017.
Efeknya adalah anggaran negara kosong kas di akhir era Nestor dan Cristina. Ini diperburuk dengan aliran modal asing yang seret karena keduanya menentang kapitalisme Barat.
Efeknya adalah anggaran negara kosong kas di akhir era Nestor dan Cristina.
Situasi ini membuat Presiden Macri terpaksa meminta bantuan pada Dana Moneter Internasional pada Mei lalu sebesar 50 miliar dollar AS, termasuk untuk membayar cicilan utang luar negeri yang dikorup di era sebelumnya. Inilah juga salah satu penyebab gejolak kurs peso.
Hanya saja konsekuensi dari bantuan IMF ini, pemerintah Argentina harus memangkas deficit anggaran negara dengan melepas subsidi. Ini menaikkan harga-harga dan membuat ekonomi Argentina mengalami stagnasi, julukan bagi pertumbuhan mandek diiringi inflasi.
Presiden Macri sejauh ini memohonkan pengertian 43 juta warganya akan keadaan sulit dan berjanji untuk melakukan pembersihan. Hal ini dia katakan karena kurs peso terus anjlok hingga Bank Sentral Argentina terpaksa menaikkan suku bunga hingga 60 persen. Produksi domestik bruto (PDB) Argentina yang pada awal 2018 sebesar 638 miliar dollar AS diperkirakan terkontraksi 1,9 persen sepanjang 2018.
(AP/AFP/REUTERS)