Asia Harus Hindari Pola UE dan AS yang Terjebak
Perekonomian Asia akan membesar dan berpotensi jauh lebih besar lagi. Ekonomi kawasan ini sudah membesar alamiah sejak dekade 1970-an lewat pembangunan berpola ”angsa liar terbang” (wild flying geese) yang dipimpin Jepang.
Hal itu telah berperan menjadi pilar bagi kerja sama internasional skala Asia untuk tahap selanjutnya. Pola angsa liar terbang dulu melahirkan macan Asia, yakni Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong, dan Singapura.
Pola itu secara langsung dan tak langsung memunculkan China sebagai katalisator baru yang signifikan bagi perekonomian dunia dan tentu Asia. Dan, akan lebih besar lagi potensinya jika ada kebijakan serius untuk memperbesar kue ekonomi.
Adalah hal urgen untuk memperbesar kue ekonomi demi mengangkat harkat ratusan juta jiwa penduduk Asia yang hidup sangat miskin di samping gemerlapnya buah manis perekonomian.
Kebijakan yang pas dan sinkron sangat diperlukan untuk menghilangkan pola perekonomian Amerika Serikat (AS), yang membesar tetapi yang tertinggal dibiarkan tertinggal. Demikian juga ekonomi Eropa, membesar tetapi ada kawasan di Timur dan Selatan yang kurang maju.
Di Uni Eropa (UE), kesenjangan ekonomi begitu besar. AS dan UE amat berbeda dengan kawasan Skandinavia yang lebih egaliter.
Asia akan bernasib sama seperti AS dan Eropa jika mengikuti begitu saja pola pembangunan di kedua kawasan itu. Jika atensi besar pada pilar-pilar pembangunan yang merata tidak menjadi pemikiran sejak dini, Asia akan mengarah seperti UE dan AS.
Kegagalan memikirkan lorong-lorong wilayah tertinggal di Asia akan memunculkan dualisme perekonomian. Celah besar untuk dualisme perekonomian itu ada dan berakar kuat.
Dualisme ini jelas terlihat di Asia dengan keberadaan warga superkaya dan warga miskin akut sekaligus. Dualisme yang menyejarah ini telah memunculkan kebijakan yang membingungkan.
Di Malaysia, ada kebijakan keberpihakan yang kaku, yakni Kebijakan Ekonomi Baru, yang mengutamakan pribumi atau berbasis ras. Ini dengan sendirinya menisbikan nonpribumi yang juga tertinggal. Akarnya adalah perekonomian dualisme warisan lama di Malaysia.
Di Filipina, dengan komposisi ras yang relatif sama, muncul hambatan menuju homogenitas. Bahasa saja sudah menjadi masalah bagi semua warga di Filipina. Tagalog yang mendominasi wilayah Bulacan menjadi bahasa yang tidak sudi didengar oleh orang Mindanao.
Lebih lucu lagi, jenis makanan yang enak dirasakan warga di kawasan Bicol tidak berterima rasa di wilayah luar Bicol, seperti dikatakan Prof Dr Agapito Rubio Jr dari Ateneo de Naga University, Filipina. Hal ini menjadi hambatan untuk menjadikan Filipina tumbuh merata dan memiliki persatuan yang kukuh.
Pemikiran pada pencegahan jurang sosial dan ekonomi harus jadi perhatian.
Inilah salah satu contoh nyata tentang ekonomi Asia yang penuh warna-warni, yang terungkap dalam seminar di Magister Manajemen Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Selasa (21/11). Efek perbedaan rasa di Filipina, menurut Agapito, menyebabkan hambatan ekspansi bisnis lintas wilayah di Filipina. Bayangkan hal seperti itu terjadi di dalam satu negara seperti Filipina.
Di luar Filipina ada lagi masalah ketidaksukaan berbasis golongan seperti terjadi di Myanmar dengan kasus Rohingya. Ada kasus kurang lebih serupa di Thailand di mana wilayah selatan lebih tertinggal. Ini serupa dengan kasus Mindanao di Filipina.
Secara ekonomi politik ke depan, hal itu bakal memunculkan benih-benih masalah seperti terjadi di wilayah Basque (Spanyol) atau Corsica (Perancis), dan Skotlandia di Inggris.
Masalah lain lagi adalah kesenjangan usia, di samping kesenjangan jender. Jepang yang maju ternyata telah direpotkan dengan kekurangan tenaga untuk merawat warga lansia dan anak-anak yang kurang perhatian karena kesibukan berkarier generasi muda dan orangtua muda. Ini dikatakan Tamako Watanabe, peneliti dari The Japan Research Institute Limited (JRI).
Akibatnya, di Jepang muncul sebuah kebutuhan yang kemudian diwujudkan dengan keberadaan lembaga bernama Florence. Ini sebuah organisasi sosial relawan yang merawat anak-anak dari orangtua yang sibuk dan warga lansia yang telantar. Jepang yang kaya ternyata memiliki persoalan dengan sukses ekonominya.
Ini sekaligus membuka hipotesis tentang Jepang yang relatif anti-pekerja imigran dalam jumlah besar. Jepang berkibar dengan investasinya ke seberang, tetapi relatif menutup diri untuk masuknya para perawat dari Indonesia, sebagai contoh. Jepang tidak fair dengan ekspansi investasinya ke seberang sebab tidak diiringi dengan mobilitas bagi residen permanen asing.
ASEAN pun sadar akan hal ini dengan peletakan pilar berupa Komunitas Ekonomi ASEAN, dengan moto ’satu visi, satu identitas’.
Ini baru sebuah contoh kecil. Ke depan, Asia pasti akan berkembang, seperti ditekankan Prof Dr Patrick Zaigenhaim, dosen Universiti Malaya.
Namun, Asia perlu memikirkan semua aspek ini agar kelak tidak timbul fenomena seperti yang sudah terjadi di UE. Ada rasa euro-sceptism atau rasa skeptisisme pada UE. Rasa seperti ini sudah menyebabkan mundurnya Inggris dari UE. Skeptisisme serupa sudah banyak muncul di negara-negara lain di UE.
Maka dari itu, ke depan, Asia perlu memikirkan bukan saja soal liberalisasi dagang dan investasi. Pemikiran pada pencegahan jurang sosial dan ekonomi harus jadi perhatian. Jika berhasil, hal ini akan mampu membuat Asia ke depan menghindari pola UE yang jomplang dan tak berkesinambungan.
Mengatasi dominasi kapitalis
Sejak dini, kesadaran komunitas harus mencegah dominasi rasisme putih seperti terjadi di AS. Seperti dikatakan almarhum ekonom besar AS, Dr Milton Friedman, kemajuan itu pada hakikatnya harus berbasis kemasyarakatan. Jika hasil pembangunan tidak berbasis kemasyarakatan, kemajuan ekonomi akan membunuh fabrikasi kemasyarakatan.
Maka, tidak heran jika MK Narayanan, seorang mantan Penasihat Keamanan Nasional dan mantan Gubernur Benggala Barat, India, di harian The Hindu edisi 24 November menuliskan, agar dicegah pembangunan bipolar di Asia. Lebih jauh, kerja sama yang lebih berakar dalam, berbasis luas, menjadi keharusan di Asia.
ASEAN pun sadar akan hal ini dengan peletakan pilar berupa Komunitas Ekonomi ASEAN, dengan moto ”satu visi, satu identitas”. Di dalamnya termasuk kontak antarwarga.
Hal serupa ditekankan Chen Li, penulis dan mantan Dubes China untuk Finlandia di The Global Times, 24 November, bahwa Asia ke depan harus memikirkan kerja sama kawasan dengan aspek lebih luas, tidak hanya aspek ekonomi. Sebab, mekanisme pasar tidak akan otomatis menyejahterakan Asia secara lebih merata.
Menyerahkan pembangunan ekonomi semata-mata kepada para kapitalis bisa dipastikan tidak akan membawa Asia mencapai tujuan luhur, yakni satu visi, satu identitas. Kapitalis adalah pencari untung semata.
Pemerintah di Asia sejak dini harus mengantisipasi arah UE dan AS yang telah terjebak kapitalisme, dan para kapitalis penggelap pajak, pelanggar peraturan main. Kapitalisme dibutuhkan, tetapi pemerintah harus hadir dan kuat menandingi bahkan mengatur para kapitalis.