RUU Masyarakat Adat Tak Kunjung Disahkan, Optimalkan Peran Pemda
Pemda dapat mengeluarkan perda yang memberikan pengakuan bagi masyarakat adat beserta wilayahnya. Hal ini butuh dukungan dan dorongan dari Kementerian Dalam Negeri.
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang Masyarakat (Hukum) Adat hingga kini tak kunjung ditetapkan. Tanpa payung hukum, keberadaan mereka dan ruang kelola komunal mereka tak memiliki kepastian dan terus terancam kriminalisasi. Sambil menanti RUU ini, pemerintah daerah bisa berperan aktif dalam memberikan pengakuan kepada masyarakat adat di daerahnya.
Pakar hukum agraria sekaligus pengajar hukum adat Universitas Gadjah Mada (UGM), Rikardo Simarmata, mengatakan, setiap pemda dapat mengeluarkan peraturan daerah (perda) yang memberikan pengakuan bagi masyarakat adat beserta wilayahnya. Meski demikian, keterlibatan pemda ini juga butuh dukungan dan dorongan dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk mengakselerasi pengesahan perda tentang masyarakat adat.
Sebab, selama ini tidak ada upaya dari Kemendagri untuk mendorong pembuatan perda ini. Sementara kementerian/lembaga terkait lainnya juga menunggu adanya perda untuk memberikan pengakuan bagi masyarakat adat.
Isu lain yang perlu ditegaskan kembali dalam RUU Masyarakat Adat ialah terkait dengan resolusi penyelesaian konflik antara masyarakat adat dan korporasi ataupun pihak lainnya.
”Sebagai contoh, sekalipun informasi lokasi dan subyek tanah ulayat sudah diperoleh, Kementerian Agraria dan Tata Ruang tetap menunggu pemda untuk membuat perda pengakuan. Jadi. pembuatan perda ini penting agar kementerian/lembaga mau bergerak untuk mengakui hutan adat dan tanah ulayat,” tuturnya, Senin (6/6/2022).
Terkait dengan substansi dalam RUU Masyarakat Adat, Rikardo meyakini bahwa usulan dari akademisi dan organisasi masyarakat sipil yang disampaikan sejak beberapa tahun lalu sudah cukup kuat untuk melindungi masyarakat adat. Substansi itu di antaranya terkait dengan proses pengakuan, upaya perlindungan, hingga pelaksanaan aturan di daerah.
Di sisi lain, ia menilai stagnasi pembahasan RUU Masyarakat Adat bukan berasal dari dinamika internal partai politik di DPR. Stagnasi ini diduga karena masih adanya kelompok atau pihak tertentu yang khawatir masyarakat adat akan semakin kuat bila dilindungi undang-undang.
”Kelompok ini mulai dari politisi atau pihak yang memiliki agenda pribadi sampai kelompok agama tertentu yang takut masyarakat adat memiliki banyak pengikut. Bisa jadi mereka tidak ingin ada kebangkitan identitas tradisional,” ujarnya.
Sementara itu, tuntutan utama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) terhadap negara untuk mengakui dan melindungi masyarakat adat adalah dengan mengesahkan RUU Masyarakat Adat yang sesuai aspirasi. Namun, menurut Sekretaris Jenderal AMAN Rukka Sombolinggi, substansi dalam draf RUU Masyarakat Adat yang ada saat ini dinilai masih belum sesuai dengan aspirasi dikehendaki masyarakat adat.
Salah satu substansi yang dikehendaki dapat tertuang dalam RUU Masyarakat Adat di antaranya terkait dengan mekanisme pengakuan hak-hak masyarakat adat yang masih sulit dan rumit. Agar setiap proses pengakuan dan segala hal yang menyangkut masyarakat adat lebih terarah, maka perlunya lembaga khusus seperti Komisi Nasional Masyarakat Adat.
Isu lain yang perlu ditegaskan kembali dalam RUU Masyarakat Adat ialah terkait dengan resolusi penyelesaian konflik antara masyarakat adat dan korporasi ataupun pihak lainnya.Di sisi lain, seluruh aturan dan kebijakan yang mengatur tentang masyarakat adat harus tunduk pada RUU Masyarakat Adat agar terdapat harmonisasi dan sinkronisasi.
Tenaga Ahli Utama Kedeputian II Kantor Staf Presiden (KSP) Usep Setiawan menyatakan, tim kerja di KSP yang dibentuk untuk mempercepat penyelesaian konflik agraria dan pengakuan wilayah adat secara formal telah selesai dilakukan. Laporan tersebut juga telah dikirimkan ke presiden dan kementerian/lembaga terkait lainnya.
Terkait perkembangan dari RUU Masyarakat Adat, kata Usep, pemerintah masih terus membahas dan menyusun peraturan ini dengan DPR. Posisi terakhir RUU Masyarakat Adat telah masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2022.
Saat ini KSP juga tengah menyiapkan pembentukan gugus tugas untuk menjaring pandangan dan masukan dari para akademisi, tokoh gerakan masyarakat adat, hingga praktisi untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang terkait dengan masyarakat adat. Gugus tugas ini penting sebagai bentuk konsolidasi sehingga komitmen penyelesaian konflik agraria dan pengakuan wilayah adat dapat direalisasikan dengan cepat.