Penggunaan pesawat tanpa awak atau ”drone” membantu pemetaan dan mitigasi bencana. Pemantauan dampak bencana dapat dilakukan dari jarak jauh sehingga mengatasi keterbatasan akses yang sering dihadapi di lokasi bencana.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penggunaan pesawat nirawak atau drone membantu pemetaan dan mitigasi bencana. Pemantauan dampak bencana dapat dilakukan dari jarak jauh sehingga mengatasi keterbatasan akses yang sering dihadapi di lokasi bencana.
Sejumlah instansi yang bergerak dalam penanggulangan dan mitigasi bencana di Tanah Air memakai pesawat nirawak untuk mengumpulkan data dan visual di kawasan rawan bencana. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi, misalnya, telah menggunakan teknologi ini sejak 2017.
Koordinator Gerakan Tanah PVMBG Sumaryono mengatakan, pesawat nirawak sangat penting dalam pemetaan dampak bencana seperti longsor dan banjir bandang. ”Drone digunakan dalam melakukan delineasi untuk membantu pemodelan dan survei lapangan,” ujarnya saat dihubungi dari Jakarta, Senin (6/6/2022) sore.
Karena dapat dioperasikan dan dimonitor jarak jauh, pesawat nirawak juga mengatasi keterbatasan akses saat menuju lokasi bencana. Tidak jarang area terdampak terisolasi dan sulit dijangkau secara fisik karena rusaknya infrastruktur, seperti jalan dan jembatan.
Alhasil, pemetaan lapangan menjadi lebih efisien. ”Untuk mengidentifikasi longsor di daerah hulu, (drone) sangat membantu. Pemetaan yang tadinya dilakukan 3-4 hari (cara manual) bisa dikerjakan dalam sehari (memakai drone),” ujarnya.
Data yang dikumpulkan melalui pemantauan menggunakan pesawat nirawak juga dipakai untuk menyusun peta kawasan rawan bencana. Hal ini akan memperkuat mitigasi sehingga masyarakat mengetahui potensi bencana di sekitarnya.
Berdasarkan catatan Kompas, PVMBG telah berulang kali menggunakan pesawat nirawak di lokasi bencana. Pada 2017, misalnya, pesawat nirawak diterbangkan untuk memantau kondisi kawah puncak Gunung Agung di Bali yang mengalami erupsi.
Alat serupa juga dipakai saat mengamati area terdampak banjir bandang di Sentani, Papua, pada Maret 2019. Begitu juga dengan pemantauan kawasan yang dilanda longsor atau gerakan tanah di sejumlah daerah.
”Untuk pemetaan gerakan tanah menggunakan drone pada umumnya. Namun, kawasan gunung api membutuhkan drone dengan spesifikasi khusus,” katanya.
Ketua Harian Asosiasi Sistem dan Teknologi Tanpa Awak Ryan Fadhilah Hadi menuturkan, penanganan bencana memerlukan pengumpulan data secara cepat dan akurat. Pesawat tanpa awak membantu memenuhi kebutuhan itu sehingga penting untuk digunakan.
Karena dapat dioperasikan dan dimonitor jarak jauh, pesawat nirawak juga mengatasi keterbatasan akses saat menuju lokasi bencana. Tidak jarang area terdampak terisolasi dan sulit dijangkau secara fisik karena rusaknya infrastruktur, seperti jalan dan jembatan.
”Data itu bisa dimanfaatkan oleh pemerintah, swasta, maupun komunitas sehingga melahirkan ide-ide atau upaya-upaya untuk memitigasi bencana. Informasi tersebut juga digunakan dalam tanggap darurat,” ujarnya dalam diskusi daring, Senin.
Menurut Ryan, data yang diakses oleh pesawat nirawak tidak sekadar berupa foto, video, dan data visual. Apalagi, teknologi alat tersebut terus berkembang, salah satunya melalui sensor dalam mengidentifikasi suhu.
”Ada beberapa drone yang sudah dilengkapi dengan kamera inframerah sehingga bisa mendeteksi temperatur. Jadi, hal ini memungkinkan untuk mendeteksi suhu tubuh manusia untuk mencari korban hilang seperti di hutan,” katanya.