Upaya deteksi dini kanker serviks atau mulut rahim di Indonesia masih tergolong rendah. Kehadiran teknologi kamera pintar Femicam dapat mendokumentasikan, memvisualisasikan, sekaligus mendiagnosis kanker serviks.
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
·5 menit baca
Indonesia merupakan salah satu negara dengan kasus kanker serviks tertinggi di Asia. Data Globocan 2020 mencatat, kanker serviks adalah kanker perempuan terbanyak kedua setelah kanker payudara di Indonesia dengan jumlah kasus 36.633 atau 17,2 persen. Kanker ini bahkan tercatat membunuh 57 perempuan Indonesia setiap hari.
Meski sudah dicanangkan Gerakan Nasional Deteksi Dini Kanker Serviks sejak 2015, cakupan penapisan atau skrining untuk mengetahui dan mendeteksi kanker serviks di Indonesia tergolong masih rendah, yakni 9,4 persen. Idealnya, deteksi dini kanker serviks membutuhkan upaya penapisan minimal hingga 80 persen.
Rendahnya cakupan penapisan ini menjadi salah satu penyebab prevalensi kanker tersebut masih tinggi di Indonesia, bahkan meningkat setiap tahun. Padahal, kunci menurunkan kasus dapat dilakukan dengan tiga pendekatan, yakni menghilangkan perilaku seks bebas, menjaga kesehatan atau kebersihan organ genitalia, dan deteksi dini melalui penapisan serta vaksinasi.
Salah satu cara untuk mendeteksi dini kanker serviks yaitu dengan inspeksi visual asam asetat (IVA test). Deteksi dengan cara ini memiliki keunggulan, yakni biaya yang murah, hasil pemeriksaan cepat, dan bersifat non-invasif atau tidak melukai tubuh pasien.
Namun, deteksi dini kanker serviks menggunakan IVA test memiliki kekurangan, yakni tidak ada dokumentasi atau gambar pemeriksaan dan berisiko terjadi kesalahan diagnosis. Hal ini disebabkan diagnosis IVA test masih mengandalkan ingatan dokter saat melihat perubahan warna antara sebelum dan sesudah dioles asam-asetat.
Guna mengatasi kekurangan itu sekaligus membantu memudahkan upaya deteksi dini kanker serviks, teknologi kamera medis Femicam dari akronim feminim camera pun dikembangkan. Femicam merupakan kamera pintar yang didesain untuk mendokumentasikan atau memvisualisasi hasil pemeriksaan kanker serviks.
Tim pengembang Femicam, Syailendra Harahap, dalam acara Demo Day Health Innovation Sprint Accelerator 2022 beberapa waktu lalu menyampaikan, Femicam dikembangkan sejak 2015. Pengembangan diinisiasi oleh Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) sekaligus Direktur Utama Rumah Sakit YPK Mandiri Endy M Moegni.
Awal pengembangan Femicam pada 2015 dilakukan perancangan kamera untuk dokumentasi IVA test. Selanjutnya, studi penggunaan dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) bersama dengan FKUI dan pengembangan produk sesuai standar medis.
Komponen Femicam terdiri dari perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software). Perangkat keras Femicam dengan berat kurang dari satu kilogram ini meliputi kamera CMOS dengan sensor mencapai 5 megapixel dan resolusi 1600x1200. Alat ini juga dilengkapi dengan tripod penyangga dan penutup campuran aluminium.
Dengan teknologi yang disematkan pada Femicam, alat ini dapat memberikan visualisasi hasil IVA test. Pengoperasian Femicam disertai perangkat lunak dengan sistem kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) dapat digunakan untuk prognosis bagi petugas non-spesialis sehingga dapat memitigasi risiko kesalahan diagnosis.
Menurut Syailendra, prognosis dalam Femicam mengacu pada data dari studi IVA test Profesor Endy M Moegni sebagai data rujukan atau standar. Dengan kata lain, prognosis ini tidak menggantikan diagnosis utama dari dokter atau bidan dan hanya bersifat membantu.
Deteksi kanker serviks dengan Femicam juga memungkinkan pasien untuk mendapatkan hasil pemeriksaan berupa gambar. Adapun gambar yang dihasilkan dapat dijadikan media penjelasan untuk pasien dan sebagai alat konsultasi kepada spesialis tentang berbagai kelainan yang ditemukan pada saat pemeriksaan fisik genitalia eksternal dan inspekulo.
”Semua data pemeriksaan akan disimpan di cloud (komputasi awan) dan akan terkirim ke alamat e-mail pasien. Data ini kemudian dapat dicetak dan digunakan sebagai rujukan ke dokter spesialis bila dibutuhkan pemeriksaan lebih lanjut,” ucap Syailendra.
Distribusi Femicam
Femicam telah melalui proses pabrikasi alat kesehatan yang memenuhi standar Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada 2019. Satu tahun berselang, Femicam mendapat registrasi izin edar dari Kemenkes dan telah teregistrasi serta tayang di katalog elektronik Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP).
Pada 2021, Femicam telah terdistribusi di sejumlah rumah sakit swasta, dokter swasta, dan puskesmas. Sampai saat ini, Femicam telah terjual 29 unit dan ditargetkan penjualan menembus 2.500-4.000 unit sepanjang tahun 2022.
Semua data pemeriksaan akan disimpan di cloud (komputasi awan) dan akan terkirim ke alamat e-mail pasien. Data ini kemudian dapat dicetak dan digunakan sebagai rujukan ke dokter spesialis bila dibutuhkan pemeriksaan lebih lanjut.
Selain cepat dan non-invasif, menurut Syailendra, biaya penggunaan Femicam tergolong murah dan terjangkau untuk masyarakat. Satu alat Femicam memang dijual seharga Rp 80 juta. Namun, dari analisis penghitungan yang dilakukan, pasien hanya perlu mengeluarkan biaya Rp 6.400 untuk sekali deteksi kanker serviks menggunakan alat ini.
”Untuk menjawab tantangan bagaimana memeriksa 75 juta wanita Indonesia dengan deteksi dua tahun sekali, diperlukan sekitar 15.000 alat Femicam. Alat ini harus tersebar di seluruh Indonesia mulai dari rumah sakit, puskesmas, hingga bidan,” katanya.
Sebagai upaya menambah akurasi dari sistem AI Femicam, ke depan tim akan bekerja sama dengan sejumlah pihak, seperti Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) serta Ikatan Bidan Indonesia (IBI). Selain itu, Femicam juga diupayakan agar dapat terintegrasi dengan Indonesia Health Services (IHS) Kemenkes untuk memetakan angka kanker serviks.
Syailendra berharap, hadirnya Femicam dengan harga yang terjangkau dan bersifat non-invasif dapat membuat wanita Indonesia tertarik untuk menjalani pemeriksaan kanker serviks secara rutin. Dengan kian meningkatnya ketertarikan ini, diharapkan Gerakan Nasional Deteksi Dini Kanker Serviks dapat terlaksana dengan sukses.
Enggan periksa
Ketua Dewan Penasehat Himpunan Onkologi Ginekologi Indonesia Andrijonomengatakan, angka deteksi dini kanker serviks di Indonesia masih rendah karena mayoritas perempuan masih malu dan enggan untuk melakukan pemeriksaan. Bahkan, sebagian juga menganggap deteksi dini kanker serviks masih belum perlu dilakukan karena tidak memiliki keluhan.
Andrijono menegaskan, pemeriksaan fisik melalui deteksi dini yang inovatif dan penanganan infeksi human papillomavirus (HPV) untuk mencegah penularanperlu diinformasikan secara berkala. Hal ini bertujuan agar kesadaran masyarakat meningkat.
”Kanker serviks seharusnya sudah bisa diupayakan untuk eliminasi kasus infeksinya karena sudah sangat jelas penyebab utamanya. Pada tahap ini, deteksi dini menjadi hal yang mutlak dilakukan untuk mencegah semakin banyaknya keterlambatan penanganan,” ungkapnya.