Sebanyak tujuh kasus kematian diduga terjadi akibat penularan hepatitis akut yang belum diketahui penyebabnya di Indonesia. Berbagai penguatan perlu dilakukan untuk mengendalikan penularan penyakit tersebut.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Satuan tugas hepatitis akut yang belum diketahui penyebabnya telah dibentuk. Satuan tugas yang terdiri dari Kementerian Kesehatan, organisasi profesi kedokteran, dan para ahli ini dibentuk untuk memperkuat upaya penanganan penyakit.
Direktur Utama Rumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti Saroso Mohammad Syahril di Jakarta, Jumat (13/5/2022), menuturkan, satuan tugas hepatitis akut ini secara khusus akan bertugas untuk memperkuat upaya penanganan penyakit yang belum diketahui penyebabnya ini. Upaya tersebut mulai dari preventif atau pencegahan, diagnosis, penatalaksanaan atau pengobatan, serta perawatan pasien hepatitis akut.
”Pedoman tata laksana hepatitis akut yang belum diketahui penyebabnya ini juga sudah disusun oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Pedoman inilah yang kita pakai di seluruh Indonesia, termasuk bagaimana langkah-langkah di dalam pemeriksaan di laboratorium,” tuturnya.
Syahril menuturkan, penegakan diagnosis hepatitis akut dapat dilakukan mulai dari gejala dan tanda yang terjadi. Dari pasien dengan dugaan hepatitis akut di Indonesia, gejala yang paling banyak ditemui yakni demam (72 persen), mual (55,6 persen), muntah (50 persen), hilang napsu makan (50 persen), diare akut (44,4 persen), malaise atau lelah (44,4 persen), nyeri perut (38,9 persen), dan myalgia atau nyeri otot (27,8 persen). Gejala lainnya, kulit dan sklera mata berwarna kuning, gatal, urine berwarna pekat seperti teh, dan perubahan warna feses menjadi pucat.
Apabila gejala tersebut ditemukan, sebaiknya langsung dicurigai sebagai hepatitis akut. Pemeriksaan lebih lanjut pun perlu dilakukan untuk mendukung penegakan diagnosis. Pemeriksaan enzim hati melalui pemeriksaan SGOT/SGPT dapat dilakukan. Dugaan akan semakin kuat apabila hasil pemeriksaan SGOT/SGPT menunjukkan hasil lebih dari 500 internasional unit per liter (IU/L).
Setelah itu, pemeriksaan lainnya juga dilakukan, antara lain pemeriksaan darah untuk mengetahui adanya virus hepatitis A, B, C, D, dan E serta pemeriksaan tes usap nasofaring dan orofaring untuk melihat kemungkinan adanya paparan virus lain. Pemeriksaan tes usap rektal atau tes usap dubur juga diperlukan.
Syahril menuturkan, upaya yang tidak kalah penting untuk diperhatikan adalah penanganan dan perawatan yang tepat dan cepat. Masyarakat ataupun orang terdekat dari anak harus segera mengenali tanda dan gejala dari hepatitis akut. Segera bawa anak ke fasilitas pelayanan kesehatan apabila menemukan gejala yang terkait.
Tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) pun harus lebih awas dengan gejala tersebut, termasuk pemeriksaan laboratorium penunjang apa saja yang harus dilakukan. ”Fasyankes jangan terlambat merujuk pasien jika fasyankes tersebut tidak memadai untuk menangani lebih lanjut,” kata Syahril.
Kasus baru
Merujuk data Kementerian Kesehatan terbaru, sudah ada 18 kasus diduga hepatitis akut yang tidak diketahui penyebabnya di Indonesia. Dari kasus tersebut, 12 kasus dilaporkan di DKI Jakarta dan masing-masing dengan satu kasus berada di Bangka Belitung, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara.
Adapun profil dari kasus tersebut, yakni sebanyak sembilan kasus terjadi pada laki-laki, delapan kasus ditemukan pada perempuan, dan satu kasus masih dalam proses verifikasi. Terduga kasus tersebut berusia 0-4 tahun (4 kasus), 5-9 tahun (6 kasus), 10-14 tahun (4 kasus), dan 15-20 tahun (4 kasus).
Fasyankes juga jangan terlambat untuk merujuk pasien jika fasyankes tersebut tidak memadai untuk melakukan penanganan lebih lanjut. (Mohammad Syahril)
Syahril menuturkan, dari 18 kasus yang diduga hepatitis akut dengan sebab yang belum diketahui itu, satu kasus masuk dalam kategori probable, sembilan kasus masih dalam kategori pending classification atau masih dalam pemeriksaan, satu kasus dalam proses verifikasi, dan tujuh kasus disisihkan (discarded). Kasus yang disisihkan ini karena ditemukan adanya penularan hepatitis A, hepatitis B, positif demam tifoid, demam berdarah, dan berusia di atas 16 tahun.
Berdasarkan kriteria yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kasus yang diduga hepatitis akut masuk dalam kategori probable apabila dari pemeriksaan tidak ditemukan virus hepatitis A, B, C, D, dan E. Selain itu, hasil pemeriksaan enzim hati SGOT/SGPT lebih dari 500 internasional unit per liter (IU/L). Kategori ini hanya diperuntukkan pada anak berusia 16 tahun ke bawah.
Kasus meninggal
Syahril mengungkapkan, dari 18 kasus yang dilaporkan dengan dugaan hepatitis akut misterius, sebanyak tujuh kasus berujung pada kematian. Keterlambatan penanganan dinilai menjadi penyebabnya.
”Pasien yang meninggal ini hampir semuanya dirujuk dengan keterlambatan sampai di rumah sakit. Pasien itu ada yang sudah dalam kondisi kejang dan kemudian sudah ada yang dalam kondisi kesadaran yang menurun. Jadi di tingkat rumah sakit sudah sulit untuk memberikan pertolongan lebih lanjut,” ujarnya.
Secara terpisah, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang juga Direktur Pascasarjana Universitas Yarsi Tjandra Yoga Aditama menuturkan, terlalu dini untuk menilai apakah penularan hepatitis akut yang belum diketahui penyebabnya ini akan berkembang menjadi pandemi seperti Covid-19. Berbagai penelitian masih harus dilakukan untuk melihat potensi penularannya.
”Walaupun demikian, kita semua tentu perlu waspada penuh dan melakukan antisipasi memadai. Jangan abai tetapi juga jangan pula panik. Lakukan penanggulangan sejalan dengan perkembangan ilmu yang ada,” katanya.