Laporan Status Hutan Dunia 2022 dari FAO menunjukkan seluas 420 juta hektar hutan dunia berkurang selama 1990-2020. Ratusan juta hektar hutan juga diperkirakan hilang apabila tidak ada upaya pencegahan.
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
·5 menit baca
Laporan Status Hutan Dunia 2022 dari Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) menunjukkan 420 juta hektar atau sekitar 10,34 persen dari total luas hutan dunia berkurang selama 30 tahun terakhir. Laporan ini juga mendorong tiga upaya yang harus diambil semua pihak untuk mempertahankan hutan tersisa.
Dalam laporan Status Hutan Dunia (SOFO) 2022 yang diluncurkan pada Kongres Kehutanan Dunia Ke-15 di Seoul, Korea Selatan, 2 Mei 2022 ini menunjukkan bahwa deforestasi di dunia masih terus terjadi. Mengacu data FAO pada 2020 yang dirangkum untuk laporan SOFO 2022, 420 juta hektar hutan di dunia telah hilang sepanjang 1990 hingga 2020.
Laporan ini juga memperkirakan 289 juta hektar hutan di wilayah tropis akan hilang sepanjang 2016-2050 apabila tidak ada tindakan pencegahan dari semua pihak. Kehilangan luas hutan hingga 289 juta hektar menghasilkan emisi 169 gigaton setara karbon dioksida (GtCO2e) yang pada akhirnya berimbas pada kenaikan suhu Bumi.
Indonesia juga telah menghentikan izin baru hutan primer dan lahan gambut sebagai upaya mempertahankan tutupan hutan tersisa.
Selain itu, laporan SOFO 2022 juga menyatakan bahwa 15 persen dari 250 penyakit menular yang muncul telah dikaitkan dengan kondisi hutan saat ini. Disebutkan bahwa 30 persen penyakit baruyang dilaporkan sejak tahun 1960,khususnya demam berdarah dan malaria, dapat dikaitkan dengan deforestasi dan perubahan penggunaan lahan.
Direktur Jenderal FAO Qu Dongyu saat membuka Kongres Kehutanan Dunia Ke-15 menyampaikan, hutan merupakan salah satu faktor penting dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan 2030. Keberadaan hutan berperan dalam mengatasi tantangan global, seperti ketahanan pangan, krisis iklim, dan hilangnya keanekaragaman hayati.
Menurut Qu, seluruh dunia harus menghentikan deforestasi untuk menghindari kenaikan emisi gas rumah kaca yang signifikan.Menghentikan deforestasi juga dapat berkontribusi dalam melindungi setengah keanekaragaman hayati terestrial Bumi yang mendukung ekosistem untuk pertanian berkelanjutan.
”Setiap negaraharus memulihkan lahan terdegradasi melalui aforestasi dan reboisasi dan memperluas agroforestri untuk menghilangkan karbon dioksida dengan cara yang hemat biaya.Pengelolaan hutan secara berkelanjutan dan membangun rantai nilai hijau akan membantu memenuhi permintaan di masa depan,” ujarnya.
Pernyataan Qu ini juga sejalan dengan rekomendasi dari laporan SOFO 2022. Laporan tersebut merekomendasikan dan mendorong semua pihak melakukan upaya melalui tiga jalur yang saling terkait untuk mencapai pemulihan hijau dan mengatasi krisis lingkungan, termasuk perubahan iklim serta hilangnya keanekaragaman hayati.
Upaya pertama yang perlu ditempuh menurut rekomendasi laporan SOFO 2022 adalah menghentikan deforestasi dan memelihara hutan. Sejumlah hasil kajian menunjukkan bahwa menjaga ekosistem hutan dalam kondisi baik dapat menghindari emisi karbon ke atmosfer 3,6 GtCO2e per tahun selama 2020-2050.
Upaya kedua adalah memulihkan lahan terdegradasi dan memperluas agroforestri. Memulihkan lahan terdegradasi diperkirakan dapat membantu menyerap 1,5 GtCO2e per tahun sepanjang 2020-2050. Adapun memperluas agroforestri dapat meningkatkan produktivitas pertanian hingga1 miliar hektar.
Sementara upaya ketiga yang harus dilakukan semua pihak adalah memanfaatkan hutan secara berkelanjutan dan membangun rantai nilai hijau dalam jangka panjang. Pemanfaatan secara berkelanjutan perlu dilakukan mengingat konsumsi sumber daya alam diperkirakan terus meningkat dari 92 miliar ton pada 2017 menjadi 190 miliar ton pada 2060.
Aksi Indonesia
Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Agus Justianto yang hadir mewakili Indonesia di Kongres Kehutanan Dunia Ke-15 menyampaikan, Indonesia terus melakukan sejumlah aksi korektif untuk mempertahankan kelestarian hutan.Aksi tersebut antara lain mengembangkan perhutanan sosial, penanaman hutan yang melibatkan pelaku usaha, serta penghentian izin baru di hutan primer dan gambut.
Hingga Januari 2022, program perhutanan sosial telah mencapai 4,9 juta hektar dan terbentuk 8.154 kelompok usaha yang sebagian besar mengelola kawasan hutan dengan pola agroforestri.Diproyeksikan pada 2024 areal perhutanan sosial dapat mencapai lebih dari 8 juta hektar dari total target seluas 12,7 juta hektar.
Terkait dengan upaya lainnya, kata Agus, setiap tahun pemerintah melakukan rehabilitasi hutan seluas 200.000 hektar. Upaya ini didukung dengan kegiatan rehabilitasi yang dilakukan pelaku usaha dengan luas mencapai 100.000hektar setiap tahun.
Selain itu, Indonesia juga telah menghentikan izin baru hutan primer dan lahan gambut sebagai upaya mempertahankan tutupan hutan tersisa. Di sisi lain, pemerintah telah memberlakukan moratorium pembukaan hutan untuk perluasan kebun sawit beserta evaluasinya. Dari evaluasi ini, sekitar 1 juta hektar areal yang bernilai konservasi tinggi di perkebunan sawit tetap dipertahankan sebagai kawasan hutan.
Bantu pemulihan
Laporan SOFO ini diperbarui setiap dua tahun berdasarkan penelitian dan data kehutanan terbaru. Studi ini menyimpulkan bahwa pemulihan global berakar pada hutan.
Pepohonan dan hutan dapat membantu dunia pulih dari pandemi Covid-19 dan guncangan ekonomi terkait, selain memerangi perubahan iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati. Diperkirakan lebih dari setengah produk domestik bruto dunia, 84,4 triliun dollar AS (Rp 1,2 kuintiliun) pada tahun 2020, bergantung pada jasa ekosistem, termasuk yang disediakan hutan.
Laporan ini merinci tindakan yang telah lama dipromosikan oleh CIFOR-ICRAF, yaitu peta jalan keuangan yang direkomendasikan untuk pembuat kebijakan dan sektor swasta.
Laporan ini antara lain disusun beberapa ilmuwan dari Pusat Penelitian Kehutanan Internasional dan Agroforestri Dunia (CIFOR-ICRAF).
”Meskipun laporan terbaru ini tidak mengejutkan dalam hal penelitiannya, laporan ini merinci tindakan yang telah lama dipromosikan CIFOR-ICRAF, yaitu peta jalan keuangan yang direkomendasikan untuk pembuat kebijakan dan sektor swasta,” kata Robert Nasi, Direktur Pelaksana CIFOR-ICRAF, dalam siaran pers Rabu.
Secara khusus, SOFO menetapkan cara menghentikan deforestasi dan memelihara hutan dapat secara signifikan menghindari pelepasan emisi gas rumah kaca yang dibutuhkan hingga 2030 agar menjaga pemanasan Bumi di bawah 1,5 derajat celsius. Merestorasi 1,5 miliar hektar lahan terdegradasi dan memperluas agroforestri bermanfaat pada peningkatan pertanian pada 1 miliar hektar lainnya. (ICH)