Tingkat Kekebalan yang Tinggi Tidak Mencegah Lonjakan Kasus
Vaksinasi penting untuk meningkatkan daya tahan tubuh masyarakat dari penularan Covid-19. Meski begitu, hal ini tidak menjamin lonjakan kasus bisa dihindari. Upaya pengendalian lain tetap harus diperkuat.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagian besar masyarakat Indonesia sudah memiliki kekebalan terhadap Covid-19. Kadar antibodi yang terhitung pun cukup tinggi. Meski begitu, tingginya kekebalan tubuh pada masyarakat tidak menjamin mencegah lonjakan kasus Covid-19.
Berdasarkan hasil survei serologi Covid-19 terbaru oleh Kementerian Kesehatan dan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, sebanyak 99,2 persen masyarakat Indonesia memiliki antibodi virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19. Selain itu, kadar antibodi yang diukur juga cukup tinggi.
”Kalau pada Desember 2021, titer antibodi masyarakat 500-600, saat ini sudah sekitar 7.000. Ini menunjukkan banyak masyarakat sudah memiliki antibodi sekaligus kadar antibodinya juga tinggi,” ujar Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin di Jakarta, Senin (18/4/2022).
Menurut dia, kadar antibodi yang cukup tinggi tersebut akan mampu memperkuat perlindungan masyarakat dari Covid-19. Masyarakat yang tertular dapat cepat pulih dan mengurangi risiko untuk dirawat di rumah sakit. Hal ini pula yang menjadi dasar bahwa mudik Lebaran tahun ini bisa lebih lancar.
Meski begitu, Kepala Bidang Pengembangan Profesi Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) Masdalina Pane menilai, kekebalan terhadap Covid-19 tidak bisa menjadi jaminan tidak terjadi lonjakan kasus Covid-19. Pada Desember 2021, misalnya, hasil survei serologi menunjukkan kekebalan yang terbentuk sudah mencapai 85 persen.
Akan tetapi, itu kenyataannya tidak dapat mencegah lonjakan. Pada awal Januari 2022, persentase angka positif mingguan masih sekitar 1 persen, Persentase tersebut justru melonjak menjadi 17,61 persen pada 20 Februari 2022 (Kompas.id, 25/2/2022).
”Kalau kematian dan hospitalisasi dari penularan varian Omicron lebih rendah dari saat penularan varian Delta itu bukan karena kekebalan komunitas yang terbentuk, melainkan lebih karena varian Omicron saat ini tidak virulen (ganas),” kata Masdalina.
Menurut Masdalina, selama tidak ada virus dengan variant of concern yang beredar di masyarakat, kasus penularan Covid-19 diharapkan bisa tetap terkendali. Walau begitu, upaya mengantisipasi libur panjang tetap harus dilakukan karena potensi penularan masih bisa terjadi.
Kalau kematian dan hospitalisasi dari penularan varian Omicron lebih rendah dari saat penularan varian Delta, itu bukan karena kekebalan komunitas yang terbentuk, melainkan lebih karena varian Omicron saat ini tidak virulen.
Upaya pelacakan kasus aktif harus terus digencarkan dan diikuti dengan upaya pertahanan yang kuat. Masyarakat juga perlu diajak untuk tetap disiplin melakukan protokol kesehatan, antara lain memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan. Apabila mengalami gejala, sekalipun gejala ringan, segera periksakan diri ke fasilitas kesehatan. Pemerintah juga perlu lebih gencar menjalankan 3T (tes, lacak, isolasi).
”Lindungi pula populasi rentan, seperti lansia, bayi, anak balita, masyarakat dengan komorbid, dan penderita gangguan sistem imun tubuh. Perkuat pencegahan dan deteksi dini pada kelompok tersebut dan tingkatkan daya tahan tubuh serta harus bisa mengendalikan komorbidnya,” ujar Masdalina.
Secara terpisah, Guru Besar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Soedjatmiko menyampaikan, risiko penularan Covid-19 pada anak harus dicegah secara optimal, khususnya saat mudik Lebaran 2022. Berdasarkan data yang dilaporkan pemerintah selama ini, kasus penularan selalu meningkat setelah libur panjang. Peningkatan kasus Covid-19 juga ditemukan pada usia anak.
”Sebaiknya, anak tidak diajak berpergian terlebih dulu. Perlindungan pada anak belum optimal, terutama pada anak usia kurang dari enam tahun yang belum bisa mendapatkan vaksinasi Covid-19,” ucap Soedjatmiko.