Orangtua dan pengasuh diharapkan segera melengkapi jadwal imunisasi lengkap rutin anak. Hal ini diperlukan untuk mencegah risiko kesakitan, kecacatan, dan kematian akibat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Berbagai tantangan dalam pelaksanaan imunisasi rutin lengkap pada anak di Indonesia bermunculan. Di masa pandemi, tantangan tersebut semakin besar, khususnya akibat kekhawatiran orangtua akan penularan Covid-19. Perlu pendekatan sosial untuk memastikan program imunisasi tetap berjalan optimal.
Berdasarkan laporan cakupan imunisasi dari Kementerian Kesehatan pada Juni 2020, cakupan imunisasi rutin menurun. Angka cakupan imunisasi difteri, pertusis, dan tetanus (DPT3) serta campak dan rubela (MR1), misalnya, turun lebih dari 35 persen pada Mei 2020 dibandingkan dengan periode waktu yang sama pada tahun sebelumnya.
Health Officer and Vaccine Demand Unicef Indonesia Sartini Saman, di Jakarta, Selasa (15/3/2022), menyampaikan, penurunan cakupan imunisasi bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga di tingkat global. Akibatnya, semua negara, termasuk di regional Asia Tenggara, berisiko tinggi mengalami kejadian luar biasa penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I).
”Sebelum pandemi terjadi, sudah ada 20 juta bayi baru lahir di dunia yang tidak mendapatkan imunisasi lengkap dan 13 juta di antaranya tidak menerima satu dosis pun. Apalagi, setelah lebih dari dua tahun pandemi terjadi, semakin banyak anak yang tidak mendapatkan imunisasi,” ucapnya.
Mengutip data Kementerian Kesehatan, jumlah anak yang tidak mendapatkan imunisasi polio (IPV) juga semakin meningkat selama pandemi. Pada 2019, jumlah anak yang tidak mendapatkan imunisasi polio mencapai 1 juta anak. Jumlah ini menurun dari tahun sebelumnya yang tercatat sebesar 1,5 juta anak. Namun, pada 2020, jumlah ini meningkat signifikan menjadi 2,8 juta anak.
Sartini menuturkan, gangguan dalam layanan imunisasi sangat besar dan dirasakan secara langsung oleh masyarakat. Pada April 2020, dilaporkan 84 persen puskesmas dan posyandu mengalami hambatan pelayanan imunisasi. Hambatan terbesar ialah penghentian layanan serta menurunnya permintaan masyarakat akibat takut tertular Covid-19.
Sebelum pandemi terjadi, sudah ada 20 juta bayi baru lahir di dunia yang tidak mendapatkan imunisasi lengkap dan 13 juta di antaranya tidak menerima satu dosis pun. Apalagi, setelah lebih dari dua tahun pandemi terjadi, semakin banyak anak yang tidak mendapatkan imunisasi.
Selain itu, sumber daya yang tersedia juga semakin terbatas. Petugas pengelola program imunisasi dan sumber daya imunisasi banyak yang dialihkan untuk penanganan Covid-19. Alat pelindung diri untuk imunisasi pun masih kurang.
Karena itu, Sartini menuturkan, layanan imunisasi di fasilitas kesehatan yang terdekat di masyarakat harus segera kembali beroperasi. Banyaknya posyandu yang tidak lagi melayani imunisasi semakin menyulitkan akses masyarakat pada layanan tersebut.
Tidak semua masyarakat tinggal berdekatan dengan puskesmas atau fasilitas kesehatan lainnya. Sementara layanan imunisasi di fasilitas kesehatan swasta tidak ditanggung oleh pemerintah ataupun program JKN.
Strategi komunikasi
Sartini menambahkan, komunikasi dan edukasi terkait pentingnya imunisasi rutin lengkap juga harus terus disampaikan kepada masyarakat. Kesadaran masyarakat untuk segera melengkapi imunisasi anaknya perlu dibangun kembali. Imunisasi amat dibutuhkan untuk mencegah kesakitan, kecacatan, dan kematian anak akibat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.
Sebelum pandemi, berbagai persoalan dalam pelaksanaan imunisasi anak telah ada, antara lain, masalah haram-halal vaksin, ketidakpercayaan pada manfaat vaksin, serta ketakutan akan suntikan multipel.
Ketika pandemi, persoalan lain muncul. Selain banyaknya layanan yang tidak beroperasi, orangtua dan pengasuh juga khawatir membawa anaknya imunisasi di fasilitas pelayanan kesehatan karena takut tertular Covid-19. Akhirnya, sebagian orangtua dan pengasuh memilih menunda imunisasi.
Survei Unicef dan Kementerian Kesehatan menunjukkan berbagai faktor berkontribusi pada keputusan orangtua dan pengasuh dalam mencari layanan imunisasi selama pandemi. Faktor yang paling banyak ditemukan adalah pengetahuan mengenai manfaat imunisasi. Faktor lainnya, pandangan terhadap kualitas layanan imunisasi dan pengalaman layanan yang berhubungan dengan kepercayaan.
Communications Development Specialist Unicef Indonesia Risang Rimbatmaja menuturkan, strategi komunikasi yang tepat sangat berperan untuk mendukung pelaksanaan imunisasi di Indonesia. Dalam hal ini, intervensi perubahan perilaku dapat dilakukan.
Strategi komunikasi perlu ada untuk memengaruhi kelompok masyarakat yang masih ragu agar berubah menjadi bersedia diimunisasi. ”Tujuan komunikasi adalah meningkatkan kesediaan orangtua agar anaknya diimunisasi,” katanya.
Menurut dia, pendekatan norma sosial dibutuhkan untuk memastikan keberhasilan komunikasi pada masyarakat. Keterlibatan tokoh masyarakat untuk mendorong masyarakat luas ikut serta dalam program imunisasi juga sangat berpengaruh.
”Data dan riset yang akurat mengenai manfaat imunisasi memang penting. Namun, itu perlu diperkuat dengan aspek sosial. Pengaruh lingkungan lebih penting untuk mendorong masyarakat agar sadar dan mau untuk diimunisasi,” ucap Risang.