CSR Dilirik untuk Atasi Kendala Pembiayaan Sawit Berkelanjutan
Penggunaan CSR dapat menjadi peluang mengatasi kendala sumber pembiayaan dalam implementasi rencana aksi nasional kelapa sawit berkelanjutan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Implementasi Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan atau RAN-KSB yang diinisiasi sejak 2019 masih terkendala pembiayaan. Kolaborasi dengan konsep tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR dapat menjadi peluang mengatasi kendala ini dan mengoptimalkan implementasi di lapangan.
Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Kementerian Pertanian yang juga Ketua Sekretariat Pelaksana RAN-KSB Dedi Junaedi mengemukakan, saat ini telah banyak kemajuan terkait implementasi RAN-KSB sejak ditetapkan melalui instruksi presiden pada 2019. Implementasi ini juga telah ditunjukkan berbagai pihak dengan membentuk tim pelaksana daerah di tingkat provinsi hingga kabupaten.
”Mengingat sawit memiliki skala yang sangat luas tentu banyak tantangan dan kendalanya. Adanya pandemi juga membuat banyak anggaran untuk sawit berkelanjutan dialihkan,” ujarnya dalam webinar bertajuk ”Peluang Pembiayaan RAN-KSB”, Selasa (15/3/2022).
Pihak bisnis sangat senang apabila bisa berkolaborasi dengan pemerintah, komunitas, dan akademisi.
Dedi mengakui bahwa aspek sumber pembiayaan di daerah masih menjadi kendala dalam implementasi RAN-KSB. Sementara sumber pembiayaan yang saat ini sudah berjalan antara lain berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kementerian/lembaga, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), dan skema lainnya sesuai aturan yang berlaku.
Presiden Direktur Institute for Sustainability and Agility (ISA) Maria Nindita Radyati menyatakan, kolaborasi dengan konsep tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR dapat menjadi peluang mengatasi kendala sumber pembiayaan dalam implementasi RAN-KSB. Kolaborasi ini sangat penting mengingat RAN-KSB merupakan tugas berat dari pemerintah dengan skala dan parameter capaian yang sangat luas.
”Kolaborasi pentahelix sangat disukai oleh perusahaan. Jadi, pihak bisnis sangat senang apabila bisa berkolaborasi dengan pemerintah, komunitas, dan akademisi. Pihak lainnya dalam kolaborasi ini adalah media untuk menunjukkan reputasi perusahaan,” tuturnya.
Maria menjelaskan, terdapat beberapa peluang untuk kerja sama dengan sektor privat, yakni CSR perusahaan dalam pelaksanaan RAN-KSB. Peluang tersebut di antaranya pendampingan mediasi dalam penyelesaian konflik, membangun kapasitas dan pelatihan, proses pemetaan dan kelengkapan data, dukungan dalam sertifikasi sawit berkelanjutan (ISPO), serta kerja sama monitoring kondisi lingkungan hidup.
Menurut Maria, sebelum menjalankan program CSR, perusahaan akan melakukan pemetaan terlebih dahulu. Pada proses pemetaan ini, perusahaan juga membutuhkan data dan informasi terbaru. Dari sinilah pemerintah bisa berkolaborasi dengan perusahaan dalam memetakan dan menyediakan data-data sehingga biaya bisa ditekan.
”Hal yang diharapkan perusahaan dalam kolaborasi ini adalah untuk reputasi. Perusahaan akan sangat berterima kasih apabila pemerintah pusat atau daerah memberikan penghargaan yang bermacam-macam, seperti sertifikat kerja sama dan hal sederhana lainnya,” ucapnya.
Selain itu, tambah Maria, perusahaan juga senang jika memiliki hubungan baik dengan pemerintah setempat karena dapat memberikan perkembangan atas peraturan-peraturan baru dan kemudahan data. Dengan kolaborasi, perusahaan juga berharap mendapatkan publikasi kegiatan dalam situs resmi pemerintah.
Tantangan
Pelaksana tugas (Plt) Pusat Kebijakan APBN Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Wahyu Utomo mengatakan, pada periode 2020-2021, Indonesia menjadi produsen minyak sawit mentah (CPO) terbesar dengan kontribusi sekitar 58 persen dari total produksi CPO dunia. Dalam lima tahun terakhir, produksi kelapa sawit juga rata-rata tumbuh sekitar 7 persen.
”Ini menjadi peluang bagaimana kita bisa mengonversi produk yang bernilai tinggi. Oleh karena itu, dibutuhkan strategi hilirisasi sehingga bisa menghasilkan nilai tambah pada perekonomian dan memperluas kesempatan kerja serta meningkatkan pendapatan rata-rata masyarakat terutama petani,” tuturnya.
Meski demikian, Wahyu juga melihat terdapat sejumlah tantangan terkait dengan pencapaian sawit berkelanjutan. Tantangan itu di antaranya masih rendahnya produktivitas lahan sawit, besarnya selisih harga indeks pasar (HIP) antara solar dan bahan bakar nabati (BBN), permasalahan status legalitas lahan, hingga rendahnya ISPO.
Sejumlah upaya perbaikan yang telah dilakukan untuk mengatasi tantangan selisih HIP adalah dengan melakukan pemantauan harga dan tinjauan kebijakan harmonisasi tarif pungutan ekspor dan bea keluar secara berkala. Upaya ini sekaligus dilakukan dengan tetap mendorong hilirisasi sawit untuk meningkatkan nilai ekonomi dalam negeri.
Sementara upaya untuk mengatasi permalasahan status legalitas lahan menurut Wahyu adalah dengan terus meningkatkan pengawasan dalam alih fungsi lahan. Di sisi lain, para pekebun juga harus terus dilakukan pendekatan kegiatan sawit berstandar ISPO.