Presiden Tanda Tangani Rencana Aksi Nasional Sawit Berkelanjutan
Presiden Joko Widodo menandatangani Instruksi Presiden No 6 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Perkebunan Sawit Berkelanjutan Tahun 2019-2024.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo menandatangani Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Perkebunan Sawit Berkelanjutan Tahun 2019-2024. Penerbitan inpres itu perlu diintegrasikan dengan sejumlah aturan lain terkait dengan pengelolaan kepala sawit.
Inpres ini disebut bertujuan meningkatkan kapasitas dan kapabilitas pekebun, penyelesaian status dan legalisasi lahan, pemanfaatan kelapa sawit sebagai energi baru terbarukan dan meningkatkan diplomasi untuk mencapai perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan, serta mempercepat tercapainya perkebunan kelapa sawit Indonesia berkelanjutan.
Inpres tersebut ditujukan kepada Menteri Koordinator Perekonomian, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Menteri Keuangan, Menteri Pertanian, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Menteri Luar Negeri, Menteri Perdagangan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Ketenagakerjaan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Sekretaris Kabinet, Kepala Badan Informasi Geospasial, serta Gubernur dan Bupati/Wali Kota.
Menurut situs resmi Sekretaris Kabinet pada 27 November 2019, Presiden menginstruksikan kepada para pejabat tersebut untuk melaksanakan Rencana Aksi Nasional Kebun Sawit Berkelanjutan Tahun 2019-2024 sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing.
Tugas itu meliputi, antar alain, penguatan data, penguatan koordinasi, dan infrastruktur, meningkatkan kapasitas dan kapabilitas pekebun, pengelolaan dan pemantauan lingkungan, penerapan tata kelola perkebunan dan penanganan sengketa, percepatan pelaksanaan Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO), dan meningkatkan akses pasar produk kelapa sawit.
Para menteri, gubernur, dan bupati/wali kota diminta melaporkan hasil pelaksanaan capaian RAN KSB Tahun 2019-2024 kepada Presiden melalui Menteri Koordinator Perekonomian secara berkala setiap enam bulan atau sewaktu-waktu diperlukan. Selanjutnya Menteri Koordinator Perekonomian melaporkan kepada Presiden tentang pelaksanaan inpres tersebut.
”Instruksi presiden ini mulai berlaku pada tanggal dikeluarkan,” bunyi akhir inpres tersebut yang dikeluarkan di Jakarta pada 22 November 2019.
Terkait inpres ini, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar enggan berkomentar. Ia beralasan hal terkait sawit ditanyakan ke Kementerian Pertanian dan Kementerian Koordinator Perekonomian, termasuk tentang perkembangan moratorium sawit. ”Saya sudah buat laporannya di Kementerian Ekuin (kini Kementerian Koordinator Perekonomian). Saya lapor Presiden dulu,” ujarnya.
Bagi KLHK, Presiden memerintahkan agar Menteri LHK meningkatkan upaya konservasi keanekaragaman hayati dan lanskap perkebunan kelapa sawit, menyelesaikan status lahan usaha perkebunan kelapa sawit yang terindikasi dalam kawasan hutan dan pada ekosistem gambut, serta melakukan pelaporan, pengukuran, dan verifikasi potensi emisi gas rumah kaca di perkebunan kelapa sawit. Tugas penyelesaian status lahan sawit di kawasan hutan itu hampir mirip dengan amanat yang diberikan Presiden melalui Inpres No 8 Tahun 2018 atau lebih dikenal dengan Inpres Moratorium Sawit.
Integrasi rencana aksi
Membaca isi Inpres 6 Tahun 2019 ini, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Muhammad Teguh Surya menanyakan integrasi pelaksanaan RAN dengan inpres-inpres yang lain, seperti Inpres Moratorium Sawit, Inpres Penghentian Pemberian Izin Baru di Hutan Alam Primer dan Gambut, dan kebijakan lainnya yang sedang digodok, seperti peraturan presiden terkait sertifikasi ISPO dan rancangan peraturan pemerintah terkait penyelesaian perkebunan kelapa sawit dalam kawasan hutan.
”ISPO terus mendapat penekanan dalam dua inpres yang berkaitan dengan sawit, tetapi perpresnya belum juga ditandatangani dan prosesnya masih tertutup. Sementara industri sawit berkaitan dengan hajat hidup orang banyak,” ujarnya.
ISPO mendapat penekanan dalam dua inpres berkaitan dengan sawit, tetapi perpresnya belum ditandatangani dan prosesnya tertutup. Sementara industri sawit berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.
Ia mengingatkan, idealnya Inpres RAN Kebun Kelapa Sawit Berkelanjutan ini dikeluarkan setelah ada hasil evaluasi dari Inpres Moratorium Sawit. Dengan demikian, ada arah lebih jelas dan proses lebih terintegrasi serta memiliki dasar hukum lebih kuat dan mengikat semua pihak.
Teguh Surya juga memandang dari durasi waktu pelaksanaan agak aneh karena dibatasi pada satu periode pemerintahan saja, yaitu 2019-2024. Menurut dia, RAN bisa dirancang untuk 30 tahun ke depan mengingat sawit dianggap salah satu sumber devisa terbesar saat ini dan masa depan.