Perkembangan teknologi medis dalam pelayanan kanker dapat meningkatkan harapan hidup bagi pasien kanker. Hal Itu terutama dengan memanfaatkan teknologi dalam upaya deteksi dini.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·5 menit baca
Meningkatnya risiko penyakit tidak menular, termasuk kanker, tidak terelakkan ditambah gaya hidup masyarakat yang semakin jauh dari sehat. Hal itu, di antaranya, terlihat dari banyaknya masyarakat berperilaku sedentari yang jarak bergerak, sering mengonsumsi makanan cepat saji, kebiasaan mengonsumsi minuman manis, tidur tidak teratur, dan stres yang tinggi.
Kesadaran masyarakat untuk melakukan pemeriksaan rutin sebagai penapisan kesehatan pun amat penting. Risiko penyakit tidak hanya mengintai masyarakat usia lanjut, tetapi juga pada usia produktif. Hal ini termasuk pada risiko penyakit kanker.
Di Indonesia, berdasarkan data Global Burden of Cancer (Globocan), kasus baru kanker terus meningkat. Pada 2018, tercatat 348.809 kasus baru kanker dan meningkat pada 2020 sebanyak 396.914 kasus baru.
Jenis kanker yang terbanyak adalah kanker payudara dan kanker leher rahim (serviks). Apabila dirinci berdasarkan jenis kelamin, kanker paling banyak pada perempuan, yakni kanker payudara dan kanker serviks, sementara pada laki-laki kanker paru dan kanker kolorektal (usus besar dan rektum).
”Berdasarkan data dari rumah sakit, sebagian besar kasus kanker yang datang dalam keadaan lanjut sehingga keberhasilan pengobatan menjadi rendah. Biaya yang diperlukan juga tinggi,” ujar Ketua Kolegium Perhimpunan Ahli Bedah Onkologi Indonesia (PABOI) Sonar Soni Panigoro saat diwawancarai di Jakarta, pekan lalu.
Dalam penanganan kanker, deteksi dini memiliki peranan penting dalam keberhasilan terapi. Semakin dini kanker ditemukan, semakin mudah pengobatan yang diberikan sehingga hasil yang didapatkan semakin baik. Angka harapan hidup pasien pun semakin tinggi.
Sayangnya, lebih dari 80 persen kasus kanker di Indonesia ditemukan dalam stadium lanjut. Pada kondisi ini, kanker pada pasien sudah bermetastasis atau menyebar ke berbagai organ tubuh.
Hal ini yang juga menyebabkan pembiayaan kanker di Indonesia sangat besar. Berdasarkan data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan pada 2020, beban pembiayaan untuk kanker merupakan terbesar kedua setelah jantung, yakni mencapai Rp 3,5 triliun.
Sebagian besar kasus kanker yang datang dalam keadaan lanjut sehingga keberhasilan pengobatan menjadi rendah. Biaya yang diperlukan juga tinggi.
Sonar, yang juga dokter spesialis bedah subspesialis bedah onkologi RS Pondok Indah, menyampaikan, pemanfaatan teknologi terkini seharusnya dapat dimanfaatkan dalam penanganan kanker. Teknologi bukan hanya untuk pengobatan yang lebih tepat dan efektif, melainkan juga untuk pencegahan sebagai upaya deteksi dini. Dengan begitu, harapan hidup pasien lebih tinggi.
Contoh kasus Angelina Jolie. Dari pemeriksaan darah yang dilakukannya untuk mengetahui adanya kelainan gen BRCA (breast cancer), kanker payudara yang dimilikinya dapat diprediksi. ”Dengan deteksi yang sangat dini, kanker dapat dihindari,” katanya.
Menurut dia, optimalisasi pemanfaatan teknologi untuk deteksi dini kanker perlu didukung dengan edukasi berkala dan masif kepada masyarakat. Kesadaran masyarakat untuk melakukan deteksi dini perlu dibangun terlebih dahulu. Bersamaan dengan itu, penyediaan fasilitas yang terjangkau, baik terkait distribusi maupun biaya, harus dipastikan.
Teknologi robotik
Secara terpisah, dokter spesialis bedah urologi RS Pondok Indah, Hery Tiera, menuturkan, teknologi robotik kini mulai dimanfaatkan untuk deteksi dini kanker prostat. Melalui teknologi robotik MRI, tindakan biopsi yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis kanker prostat menjadi lebih baik. Biopsi dilakukan dengan panduan gambar dari MRI (pencitraan resonansi magnetik).
Ia mengatakan, teknologi robotik untuk penanganan kanker prostat tidak hanya bermanfaat untuk deteksi dini, tetapi juga untuk terapi operasi pengangkatan jaringan kanker. Biopsi menjadi lebih terarah dan mampu menyasar lesi atau jaringan abnormal yang berukuran kecil sampai 5 milimeter persegi. Kemampuan pergerakan lengan robot biopsi pun mencapai 1 milimeter.
”Ini memungkinkan pendeteksian secara dini kanker prostat pada stadium lebih awal. Akhirnya, harapan hidup pasien kanker prostat semakin meningkat,” ucap Hery. Dari sebuah penelitian, angka kelangsungan hidup dalam lima tahun pada kanker prostat yang ditangani pada stadium awal bisa mendekati 100 persen.
Ia menambahkan, penggunaan teknologi robotik untuk biopsi dibandingkan dengan metode lain dinilai lebih baik. Tindakan yang dilakukan dengan teknologi ini juga minimal invasif sehingga risiko komplikasi dan perdarahan setelah tindakan berkurang.
Pemulihan pasien pun lebih singkat. Tindakan dengan robotik biopsi prostat disampaikan pula minim risiko infeksi karena tindakan dilakukan di kulit bawah skrotum, sedangkan pada biopsi konvensional dilakukan melalui anus yang dapat meningkatkan risiko infeksi.
Kemajuan teknologi lain yang juga bisa dimanfaatkan untuk deteksi kanker adalah teknologi digital morphology analyzer. Teknologi ini dapat digunakan untuk mendeteksi dini adanya kanker darah dengan cara menemukan sel keganasan pada darah tepi.
Dokter spesialis patologi klinik RS Pondok Indah, Thyrza Laudamy Darmadi, memaparkan, teknologi digital morphology analyzer merupakan teknologi pembuatan preparat darah tepi otomatis yang dalam pembacaan hasil pemeriksaannya dilakukan menggunakan bantuan kecerdasan buatan (AI). Karena pembuatan preparat dilakukan secara otomatis, kualitas pembuatan preparat darah tepi lebih terjaga.
”Dengan teknologi digital morphology analyzer, pembacaan hitung jenis leukosit dapat dilakukan secara otomatis oleh artificial intelligence sehingga jenis leukosit dapat dikelompokkan sesuai dengan jenisnya dan dapat mengenali sel-sel keganasan darah. Proses analisis juga lebih cepat dengan tingkat ketelitian yang tinggi,” kata Thyrza.
Meski begitu, penggunaan teknologi ini tetap memerlukan keahlian dari dokter spesialis patologi klinik untuk validasi akhir. Apabila dari hasil pemeriksaan ada indikasi kanker darah, pemeriksaan lanjutan bisa dilakukan dengan pemeriksaan leukemia phenotyping dan pemeriksaan aspirasi sumsum tulang (bone marrow puncture) untuk melihat produksi darah di sumsum tulang. Selain itu, pemeriksaan imunohistokimia dan sitogenetik juga bisa dilakukan.
Menurut Sonar, pemanfaatan teknologi untuk penanganan kanker sudah mulai berkembang di Indonesia. Akan tetapi, perkembangan itu belum secepat di luar negeri. Mahalnya biaya investasi teknologi kesehatan serta pasar yang masih terbatas di Indonesia menjadi kendalanya.
Kondisi yang terjadi saat ini, pelayanan kanker di Indonesia masih terbatas. Layanan yang tersedia juga tidak terintegrasi dan tidak merata. Belum lagi antrean pasien yang cukup lama karena fasilitas rujukan utama yang kurang.
”Kita perlu melengkapi fasilitas yang terintegrasi, baik dari fasilitas, SDM, maupun pendukung lainnya. Dengan begitu, pelayanan di Indonesia juga lebih kompetitif dari negara tetangga. Pajak alat kesehatan pun perlu ditekan serendah mungkin. Jangan disamakan dengan pajak barang mewah,” tutur Sonar.