Mobilitas masyarakat mulai dilonggarkan di tren kasus Covid-19 yang dilaporkan terus menurun. Meski begitu, upaya pengendalian Covid-19, mulai dari protokol kesehatan, pelacakan kasus, dan vaksinasi jangan mengendur.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mulai melonggarkan aturan mobilitas masyarakat di tengah pandemi Covid-19, di antaranya penghapusan syarat testing untuk perjalanan domestik dan aturan karantina bagi pelaku perjalanan luar negeri yang masuk ke Bali. Pelonggaran ini diharapkan tidak mengendurkan upaya pengendalian pandemi, terutama terkait protokol kesehatan, testing, dan pelacakan, serta vaksinasi.
Epidemiolog yang juga Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (Iakmi), Hermawan Saputra, saat dihubungi di Jakarta, Senin (7/3/2022), menuturkan, penghapusan aturan karantina bagi pelaku perjalanan luar negeri yang masuk ke Bali sebaiknya dikaji ulang. Ketentuan ini dikhawatirkan membahayakan kesehatan komunitas. Syarat vaksinasi pun dinilai tidak bisa menjamin masyarakat terbebas dari penularan.
”Aturan karantina dan vaksinasi itu tidak ada hubungannya. Vaksinasi tidak menjadikan orang yang sudah divaksin terlindungi 100 persen. Justru karantina yang menjadi bagian dari konsep dasar perlindungan dari ancaman penyakit yang tidak hanya Covid-19, tetapi juga penyakit lainnya,” tuturnya.
Hermawan menuturkan, penularan Covid-19 masih menjadi ancaman global. Kasus Covid-19 yang sempat menurun tetap bisa melonjak dalam waktu singkat. Hal itu menunjukkan bahwa penyebaran Covid-19 belum terkendali.
Menurut dia, situasi pandemi di Indonesia pun belum bisa dikatakan aman sehingga kewaspadaan masih diperlukan. Upaya pengendalian Covid-19 harus terus diperkuat untuk memastikan laju penularan tetap terkendali.
Aturan karantina dan vaksinasi itu tidak ada hubungannya. Vaksinasi tidak menjadikan orang yang sudah divaksin terlindungi 100 persen.
Terkait dengan penghapusan syarat testing, baik antigen maupun tes berbasis reaksi rantai polimerase (polymerase chain reaction/PCR) pada perjalanan domestik, Hermawan berpendapat, hal itu tidak akan berpengaruh secara bermakna dalam upaya pengendalian pandemi. Pasalnya, syarat testing bagi pelaku perjalanan sifatnya pasif dan hanya untuk keperluan penapisan (screening).
”Yang lebih penting untuk dilakukan adalah testing yang sifatnya sistematik melalui testing random sampling (tes sampel acak). Itu dilakukan dengan pelacakan kasus aktif setiap waktu dengan sampel pada kelompok dengan risiko penularan yang tinggi sebagai mitigasi risiko,” ucapnya.
Menurut Hermawan, pelonggaran mobilitas masyarakat saat ini jangan sampai turut mengendurkan upaya pengendalian Covid-19, mulai dari protokol kesehatan, testing dan pelacakan berbasis epidemiologi, serta vaksinasi. Masyarakat harus tetap menjalankan protokol kesehatan minimal dengan 3M, yakni menggunakan masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak. Hal tersebut merupakan perilaku baru yang tidak bisa dikecualikan dalam situasi pandemi saat ini.
Selain itu, pemerintah juga mesti tetap memperkuat upaya 3T yakni testing, pelacakan, dan isolasi. Percepatan vaksinasi Covid-19 pun perlu dikebut, terutama dalam cakupan vaksinasi dosis primer lengkap yang dilanjutkan dengan vaksinasi dosis penguat (booster).
Total penduduk yang sudah mendapatkan vaksinasi dosis lengkap baru 71 persen dari total sasaran atau 148,3 juta orang. Cakupan di sejumlah daerah pun masih minim, seperti Papua (23,2 persen), Papua Barat (39,9 persen), dan Maluku (40 persen).
Secara terpisah, Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono mengatakan, pemerintah telah memperbarui aturan pemberian vaksinasi dosis penguat dari yang sebelumnya diberikan dalam jangka waktu enam bulan setelah vaksin dosis kedua menjadi hanya tiga bulan dari vaksinasi dosis kedua. Penyesuaian aturan ini diharapkan dapat mempercepat terjadinya kekebalan komunitas di masyarakat.
Ia pun mengatakan, situasi penularan Covid-19 di masyarakat menunjukkan tren kasus yang menurun. Angka reproduksi virus (reproduction rate/Rt) juga mulai menurun di sejumlah wilayah. Namun, perhatian masih diperlukan pada daerah yang masih mengalami peningkatan kasus, yakni Aceh, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah, Gorontalo, dan Kalimantan Utara.
Dante menambahkan, dari segi kasus yang dirawat di rumah sakit juga terus menurun. Saat ini 60 persen kasus yang dirawat tak bergejala atau bergejala ringan. Selain itu, sebanyak 50 persen kasus kematian disebabkan ada komorbid berat yang separuh dari kasus meninggal juga merupakan warga lanjut usia atau lansia dan belum menerima vaksin dosis lengkap.
”Jadi, tidak semua pasien meninggal karena Covid-19, tetapi juga ada yang meninggal dengan Covid. Hasil audit kematian di rumah sakit menunjukkan bahwa mayoritas kasus meninggal adalah lansia dengan komorbid berupa diabetes, hipertensi, dan gagal ginjal,” tuturnya.