Memanen Air Hujan untuk Mengoptimalkan Penggunaan dan Memitigasi Bencana
Memanen air hujan dapat dilakukan di rumah, kantor, dan gedung dengan berbagai metode. Gerakan ini tidak hanya meningkatkan ketersediaan air, tetapi juga mengoptimalkan penggunaannya dan memitigasi bencana.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Memanen air hujan dapat mengoptimalkan penggunaan air agar tidak terbuang sia-sia sekaligus memitigasi bencana hidrometeorologi, seperti banjir, kekeringan, dan longsor. Jika dilakukan secara masif, gerakan ini akan turut meningkatkan kualitas kehidupan di masa depan.
Dalam skala besar, pemanfaatan air hujan dilakukan dengan membangun waduk, bendungan, dan embung. Air hujan juga dapat dipanen di rumah, kantor, dan gedung dengan berbagai metode, seperti instalasi pengolahan air hujan (IPAH), akuifer buatan simpanan air hujan (ABSAH), teknologi GAMA Rain Filter, dan sumur resapan.
Pelaksana tugas Direktur Rehabilitasi Perairan Darat dan Mangrove Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Muhammad Zainal Arifin mengatakan, pemanenan air hujan menjadi hal mendasar siklus hidrologi. Oleh sebab itu, gerakan tersebut perlu dijadikan tanggung jawab bersama agar lebih optimal dalam memanfaatkan air dan mengurangi dampak negatifnya seperti bencana.
”Memanen air hujan bukan sekadar menangkap atau menampung, melainkan sebesar-besarnya memanfaatkannya dengan produktif. Secara ekologis, upaya ini juga mencegah bencana di musim hujan dan kemarau,” ujarnya dalam Kongres Memanen Air Hujan Indonesia #4 yang diselenggarakan Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada secara daring, Minggu (6/3/2022).
Zainal menyebutkan, program Kampung Ramah Air Hujan yang dikembangkan oleh KLHK dapat diintegrasikan dengan gerakan memanen air hujan. Dalam memenuhi kebutuhan air, program itu mengintervensi konservasi tanah dan air, baik secara vegetasi maupun teknik sipil.
Hal ini dilakukan untuk mewujudkan ketahanan air di suatu kampung atau desa. Konsep itu diharapkan berujung pada perbaikan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
”Hal yang paling penting adalah adanya interaksi dan koneksi dari multisektor. Dengan begitu, sistem yang dibangun mengundang kontribusi semua pihak dalam mengelola air, khususnya memanen air hujan,” ujarnya.
Perlu perubahan konsep drainase dari membuang air secepat-cepatnya ke sungai menjadi konsep menampung, memanfaatkan, meresapkan, mengalirkan, dan memelihara. Perubahan harus dibudidayakan sehingga menjadi gerakan kultural dan meluas secara cepat.
”Diperlukan dukungan peraturan yang memotivasi dan mengakselerasi kegiatan memanen hujan di kantor pemerintah dan swasta, kawasan industri, kawasan publik, kawasan wisata, dan lainnya,” katanya.
Menurut Direktur Mitigasi Bencana Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Taufik Kartiko, kegiatan memanen air hujan menjadi upaya memitigasi kekeringan dan banjir sekaligus meningkatkan ketersediaan air bersih di suatu kawasan. Air hujan dapat digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, seperti untuk mencuci tangan dalam mencegah penularan Covid-19.
”Program ini diharapkan menjadi gerakan yang diinisiasi masyarakat. Edukasi warga berupa percontohan pemanfaatan air hujan untuk bencana kekeringan dan kesehatan dengan proses elektrolisis air juga sudah dilakukan,” ucapnya.
Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Wikan Sakarinto menambahkan, memanen air hujan tidak cukup dengan menyediakan bak penampungan. Inovasi, kreativitas, dan teknologi dibutuhkan agar gerakan itu lebih efektif mendukung kehidupan.
”Berbicara mengenai gerakan besar memanen air hujan, kita harus memiliki big data (mahadata). Jika tidak dikelola dengan big data atau kelak dengan artificial intelligence (kecerdasan buatan), efektivitasnya tidak akan berkelanjutan,” ucapnya.
Menurut Wikan, pendidikan vokasi dapat dikerahkan untuk memajukan gerakan memanen air hujan itu. Selain itu, melalui program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), mahasiswa dapat berkontribusi dalam riset dan mengembangkan beragam teknologinya.
”Dalam proyek kemasyarakatan, mahasiswa MBKM belajar bagaimana membagikan teknologi yang bermanfaat bagi masyarakat. Mahasiswa akan berkolaborasi bersama pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat, komunitas warga, dan lainnya,” katanya.
Budayawan Slamet Rahardjo Djarot mengatakan, memanen air hujan sudah terjadi secara alami melalui air yang diserap oleh tanah. Namun, hal itu tidak dibarengi dengan kesadaran untuk melindungi kawasan resapan air yang justru banyak beralih menjadi bangunan, seperti perumahan.
”Banjir, banjir bandang, longsor terjadi di mana-mana. Menyedihkan. Kita semua tahu penyebabnya, tetapi terus berulang. Manusia itu cuma berpikir tentang dirinya,” ucapnya.