Penggunaan Penyuara Telinga yang Tidak Tepat Sebabkan Gangguan Pendengaran
Masyarakat sebaiknya memperhatikan penggunaan penyuara telinga, seperti ”headset” dan ”earphone”. Penyuara telinga sebaiknya digunakan maksimal 60 persen dari volume tertinggi dan istirahat setelah 60 menit pemakaian.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menggunakan penyuara telinga seperti, headset dan earphone, dapat membantu suara yang didengarkan dari gawai menjadi lebih jelas. Namun, penggunaan penyuara telinga yang tidak tepat berisiko membahayakan kesehatan telinga. Kebisingan yang ditimbulkan dapat menyebabkan terjadinya gangguan pendengaran.
Staf medis fungsional (SMF) Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga-RSUD Dr Soetomo Surabaya, Nyilo Purnami, mengatakan, berbagai kegiatan dan komunikasi di era pandemi ini lebih banyak dilakukan secara daring. Penggunaan penyuara telinga seperti earphone pun menjadi lebih sering untuk membantu memperjelas suara yang didengarkan dari gawai. Meski begitu, penggunaan penyuara telinga sebaiknya tidak digunakan dalam waktu yang lama.
”Pemakaian earphone atau headphone yang tidak sesuai berpotensi mengganggu pendengaran. Paparan suara yang terus-menerus dapat mengakibatkan kelelahan sel pendengaran di rumah siput yang ada di dalam telinga. Jika tidak diatasi, hal ini dapat menyebabkan kerusakan sel secara permanen,” katanya dalam acara daring yang diikuti di Jakarta, Jumat (4/3/2022).
Nyilo menuturkan, gangguan pendengaran yang disebabkan oleh penggunaan penyuara telinga yang tidak tepat ini juga dapat disebut sebagai gangguan pendengaran akibat bising. Gangguan ini seringkali tidak disadari oleh penderita. Biasanya, orang lain yang berada di sekitar penderita yang mengetahui gangguan tersebut.
Orang yang mengalami gangguan pendengaran akibat bising biasanya akan kesulitan mendengar percakapan. Penderita juga akan kesulitan mendengar bunyi atau frekuensi yang tinggi. Tidak jarang telinga akan berdenging. Gangguan ini bisa juga terjadi pada kedua telinga.
Gangguan pendengaran akibat bising yang disebabkan oleh penggunaan penyuara telinga yang tidak tepat ini dikhawatirkan dapat membuat penderita kesulitan beradaptasi ketika pertemuan tatap muka kembali diberlakukan. Karena itu, pencegahan harus dilakukan agar tidak terjadi gangguan pendengaran.
Nyilo memaparkan, kriteria suara bising antara lain memiliki intensitas suara lebih dari 85 desibel (dB) atau setara dengan suara kebisingan di jalan raya. Selain itu, semakin tinggi frekuensi suara yang didengarkan, potensi kerusakan pendengaran pun akan semakin besar. Terlalu lama kebisingan yang terpapar juga akan memperburuk gangguan yang terjadi, bahkan gangguan bisa terjadi berkepanjangan.
Pemakaian earphone atau headphone yang tidak sesuai berpotensi mengganggu pendengaran. Paparan suara yang terus-menerus dapat mengakibatkan kelelahan sel pendengaran di rumah siput yang ada di dalam telinga. Jika tidak diatasi, hal ini dapat menyebabkan kerusakan sel secara permanen.
Meski begitu, ia menuturkan, penyuara telinga tetap bisa digunakan asalkan aman untuk kesehatan telinga. Gunakan penyuara telinga yang sesuai dengan anatomi telinga. Disarankan menggunakan penyuara telinga yang menutup seluruh bagian telinga, bukan yang dimasukkan ke dalam lubang telinga seperti earbuds. Ini terutama apabila digunakan dalam jangka waktu lama.
Penggunaan penyuara telinga juga harus diatur dengan maksimal 60 persen dari volume tertinggi. Setiap 60 menit penggunaan penyuara telinga sebaiknya istirahat selama 15 menit. Perawatan penunjang juga diperlukan untuk menjaga kesehatan telinga, seperti pemeriksaan telinga dari kotoran dan infeksi serta pemeriksaan pendengaran dengan audiometri nada murni.
Gangguan pada anak
Staf pengajar Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RSUP Cipto Mangunkusumo, Amanda Soebandi, menyampaikan, risiko gangguan pendengaran akibat kebisingan bisa terjadi pada usia anak. Gangguan pendengaran yang disebabkan oleh kebisingan disebut juga trauma akustik. Data dari Centers for Disease Control and Prevention pada 2021 menunjukkan, sebanyak 12,5 persen anak usia 6-19 tahun mengalami trauma akustik.
Gangguan ini disebabkan paparan terhadap suara yang keras, seperti tembakan, ledakan, ataupun petasan. Trauma akustik juga bisa terjadi akibat paparan jangka lama terhadap kebisingan. Itu, antara lain, kebisingan yang dihasilkan dari suara peralatan mekanik, seperti kendaraan bermotor, alat pemotong rumput, dan bor; kebisingan di acara olahraga dan konser; serta kebisingan dari musik atau suara keras yang didengarkan dari alat penyuara telinga ataupun pengeras suara.
”Untuk mencegah trauma akustik, perlu diperhatikan terkait intensitas suara dan durasi dari paparan kebisingan. Selain itu, orangtua juga perlu segera menyadari apabila anak mengalami gangguan pendengaran agar bisa cepat teratasi,” ucap Amanda.
Adapun intensitas suara dan durasi yang disarankan untuk mencegah trauma akustik pada anak ialah pada kebisingan jalan raya sebaiknya dibatasi maksimal 8 jam per hari dengan intensitas suara 85 desibel. Suara keras dari pemotong rumput maksimal 91 desibel dengan durasi maksimal 2 jam per hari.
Amanda menyampaikan, deteksi dini gangguan pendengaran pada anak bisa dilakukan dengan pengamatan sederhana. Orangtua perlu waspada jika anak kesulitan mendengar suara lain di sekitar dan sulit mendengar suara bernada tinggi. Kewaspadaan juga perlu ditingkatkan jika anak mengeluhkan suara yang berdenging dan berdesis, telinga terasa penuh, selalu bicara dengan suara keras, gangguan atau terlambat bicara, dan terbiasa mendengarkan televisi atau musik dengan volume keras.
”Gangguan pendengaran perlu dideteksi sedini mungkin di tingkat keluarga. Pemeriksaan perlu dilanjutkan skrining dan evaluasi obyektif. Gangguan pendengaran pada bayi dan anak merupakan masalah serius yang dapat mengganggu perkembangan anak,” kata Amanda.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyampaikan, upaya pencegahan dan pengendalian gangguan pendengaran dan kesehatan telinga harus menjadi perhatian semua pihak, mulai dari pemerintah pusat dan daerah, organisasi kemasyarakatan, dunia usaha, hingga setiap individu masyarakat. Kampanye untuk menjaga kesehatan telinga harus disampaikan secara berkelanjutan agar kesadaran masyarakat bisa lebih baik.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan, pada 2021 satu dari lima orang di dunia mengalami gangguan pendengaran atau ketulian. Gangguan ini dapat berdampak buruk bagi perkembangan kognitif, psikologis, dan sosial bagi penderitanya.
”Upaya pencegahan dan pengendalian gangguan pendengaran dan telinga perlu ditingkatkan, baik pada upaya promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif. Masyarakat juga perlu menjaga kesehatan telinga dengan menerapkan safe listening (mendengarkan suara dengan aman), rutin melakukan pemeriksaan telinga, dan deteksi dini gangguan pendengaran,” tutur Budi.