Kota-kota Pesisir Indonesia di Garis Depan Krisis Iklim
Kota-kota pesisir Indonesia termasuk berada di garis depan krisis iklim dengan risiko tertinggi. Selain kenaikan muka air laut dan bencana yang makin ekstrem, pemanasan global ini juga mengancam perekonomian.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kota-kota dan kawasan permukiman di pesisir Indonesia termasuk yang berada di garis depan krisis iklim dengan risiko tertinggi. Selain kenaikan muka air laut dan bencana yang makin ekstrem, pemanasan global ini juga berdampak sangat besar terhadap perekonomian karena menurunnya sumber daya laut dan pesisir.
”Laporan Penilaian Keenam IPCC menempatkan Indonesia yang merupakan negara kepulauan tropis ini sebagai salah satu hotspot, yang sangat berisiko terdampak pemanasan global. Risiko ini terutama dialami kota-kota di pesisir,” kata ahli iklim Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Wakil Ketua Kelompok Kerja I Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) Edvin Adrian di Jakarta, Kamis (3/3/2022).
Menurut Edvin, laporan IPCC yang diluncurkan pada awal pekan ini menekankan pentingnya adaptasi, terutama dalam menghadapi dampak perubahan iklim yang sudah terjadi. Proses adaptasi tidak bisa ditunda lagi karena suhu Bumi dipastikan bakal bertambah melewati ambang batas 1,5 derajat celsius pada 2030 dibandingkan pada suhu pra-Revolusi Industri tahun 1850. Saat ini, peningkatan suhu global sudah mencapai 1,1 derajat celsius.
Jangan melakukan adaptasi secara keliru, yang justru memperburuk kualitas lingkungan.
”Peningkatan suhu melebihi ambang ini akan menyebabkan sebagian dampak perubahan iklim tidak bisa diubah lagi, jadi manusianya yang harus beradaptasi,” katanya.
Dampak sosial ekonomi
Laporan IPCC ini memperingatkan, kota-kota di dunia telah menjadi titik panas perubahan iklim, terutama yang terletak di daerah pesisir. Satu miliar orang akan menghadapi risiko banjir yang jauh lebih besar karena kenaikan permukaan laut.
Selain itu, ancaman bencana juga datang dari cuaca ekstrem, siklon, dan tornado, peningkatan banjir pasang, atau lebih buruk lagi, genangan permanen rob. Menurut laporan IPCC, ”Populasi yang terpapar ini berlipat ganda pada kenaikan permukaan laut rata-rata 0,75 meter (m) dan bisa hingga tiga kali lipat sebesar 1,4 m tanpa perubahan populasi dan adaptasi tambahan.
Seperti ditulis dalam ringkasan utama laporan IPCC, perubahan iklim telah menyebabkan kerusakan substansial dan kerugian yang semakin tidak dapat diubah di ekosistem darat, air tawar, pesisir, dan laut terbuka. Selain kenaikan muka air laut, dampak permanen dari perubahan iklim ialah sebagian spesies tidak bisa bertahan, termasuk di antaranya terumbu karang di perairan tropis.
”Ini bakal berdampak besar bagi perekonomian dan kehidupan sosial masyarakat di pesisir,” kata Edvin.
Dampak sosial ekonomi ini juga dilaporkan Bappenas dalam kajian Kebijakan Pembangunan Berketahanan Iklim (2021). Disebutkan, dari 102.000 kilometer (km) pesisir Indonesia, yang memiliki kerentanan karena perubahan iklim sangat tinggi, yaitu sekitar 1.800 km.
Sulawesi Selatan menjadi provinsi yang memiliki Coastal Vulnerability Index (CVI) 5 (sangat tinggi) terpanjang, yaitu mencapai 573 km. Sementara total potensi kerugian ekonomi untuk sektor kelautan diperkirakan Rp 400,8 triliun dan sektor pesisir Rp 6,7 triliun.
Adaptasi berkelanjutan
Debra Roberts, Ketua Kelompok Kerja untuk laporan IPCC ini, dalam keterangan pers menyebutkan, urbanisasi dan perubahan iklim telah menciptakan risiko kompleks, terutama bagi kota-kota yang buruk tata kelolanya, serta tingkat kemiskinan dan pengangguran yang tinggi.
”Tetapi, kota juga memberikan peluang untuk aksi iklim,” ujarnya. Beberapa contoh peluang untuk aksi iklim di kota di antaranya bangunan hijau hingga sistem transportasi publik yang lebih berkelanjutan, yang menghubungkan daerah perkotaan dan pedesaan, yang dapat membantu membangun masyarakat yang lebih inklusif dan lebih adil.
Menurut Edvin, upaya adaptasi terhadap dampak perubahan iklim tidak boleh melupakan aspek mitigasi. ”Ini berarti, jangan melakukan adaptasi secara keliru, yang justru memperburuk kualitas lingkungan. Misalnya, daripada membuat tanggul laut yang prosesnya tidak ramah lingkungan, sebaiknya memiliki solusi membuat sabuk hijau dengan mangrove,” katanya.
Contoh lainnya, tambah Edvin, dalam hal adaptasi terhadap peningkatan kebakaran hutan, harus lebih memperhatikan ekosistem melalui pembasahan kembali tanah gambut dan penanaman kembali hutan. Orientasinya jangan hanya pada pemadaman, tetapi harus pada pencegahan.
Tekait masalah ini, Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) dalam laporan yang dirilis pada Rabu (23/2/2022) juga memperingatkan tentang ancaman kebakaran hutan besar yang diperkirakan meningkat tajam dalam beberapa dekade mendatang sebagai konsekuensi dari pemanasan global. Publikasi tersebut menyerukan kepada pemerintah untuk mengadopsi ”Formula Kesiapsiagaan Kebakaran” baru.
Saat ini, respons untuk memadamkan kebakaran hutan biasanya mendapat alokasi lebih dari setengah anggaran, sementara perencanaan menerima kurang dari 1 persen. Disarankan tiap negara berisiko kebakaran agar berinvestasi hingga 1 persen untuk perencanaan, 32 persen untuk pencegahan, 13 persen untuk kesiapsiagaan, 34 persen untuk respons, dan hingga 20 persen untuk pemulihan.