Bersiaplah Menghadapi Kebakaran Hutan Lebih Ekstrem
Laporan terbaru memperingatkan, risiko kebakaran ekstrem terjadi seiring pemanasan suhu Bumi. Pemanasan global mengubah banyak lanskap menjadi kotak api, dan cuaca yang lebih ekstrem berarti angin yang mengipasi api itu.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dunia harus bersiap menghadapi kebakaran hutan besar yang diperkirakan bakal meningkat tajam dalam beberapa dekade mendatang sebagai konsekuensi dari pemanasan global. Dengan tren ini, negara-negara yang rentan mengalami kebakaran hutan, termasuk Indonesia, diharapkan mengalokasikan dua pertiga anggaran penanganan kebakaran hutan untuk perencanaan, pencegahan, kesiapsiagaan, dan pemulihan serta sepertiga tersisa untuk tanggapan.
Peringatan ini disampaikan Program Lingkungan Perserikatan Bangsa Bangsa (UNEP) dalam laporan terbarunya yang dirilis pada Rabu (23/2/2022). Laporan berjudul ”Spreading like Wildfire: The Rising Threat of Extraordinary Landscape Fires” ini dirilis sebelum sesi ke-5 Sidang Majelis Lingkungan PBB (UNEA-5.2) yang akan digelar di Nairobi, antara 28 Februari dan 2 Maret 2022.
Laporan ini menyimpulkan, pada akhir abad ini, kemungkinan terjadi bencana kebakaran hutan akan meningkat dengan faktor 1,31 menjadi 1,57. Bahkan, di bawah skenario emisi terendah, kita kemungkinan akan melihat peningkatan yang signifikan dalam peristiwa kebakaran hutan.
Bukti-bukti menunjukkan bahwa kebakaran hutan akan menjadi lebih sering di beberapa daerah. Dampak perubahan iklim terhadap perilaku kebakaran di masa depan sangat kompleks. Namun, model saat ini menunjukkan bahwa beberapa daerah, seperti kutub utara, kemungkinan besar akan mengalami peningkatan kebakaran yang signifikan pada akhir abad ini.
Kita harus meminimalkan risiko kebakaran hutan ekstrem dengan menjadi lebih siap: berinvestasi lebih banyak dalam pengurangan risiko kebakaran, bekerja dengan komunitas lokal, dan memperkuat komitmen global untuk memerangi perubahan iklim.
Area hutan tropis di Indonesia dan Amazon selatan juga disebut akan mengalami peningkatan kebakaran jika emisi gas rumah kaca berlanjut pada tingkat saat ini. Juga akan ada perubahan signifikan pada area yang terbakar di lanskap yang saat ini mengalami kebakaran. Ini termasuk sabana tropis serta padang rumput tropis dan sedang, yang diprediksi akan berubah dengan meningkatnya kebakaran di beberapa daerah dan penurunan kebakaran di tempat lain.
Publikasi tersebut menyerukan kepada pemerintah untuk mengadopsi ”Formula Kesiapsiagaan Kebakaran” baru, dengan dua pertiga pengeluaran ditujukan untuk perencanaan, pencegahan, kesiapsiagaan, dan pemulihan, dengan sepertiga tersisa untuk tanggapan. Saat ini, respons langsung terhadap kebakaran hutan biasanya menerima lebih dari setengah pengeluaran terkait, sementara perencanaan menerima kurang dari 1 persen.
Untuk mencegah kebakaran, 50 ahli yang menulis laporan ini menyerukan kombinasi sistem pemantauan berbasis data dan sains dengan pengetahuan lokal serta membangun kerja sama regional dan internasional yang lebih kuat. ”Tanggapan pemerintah saat ini terhadap kebakaran hutan sering kali menempatkan uang di tempat yang salah. Para pekerja layanan darurat dan petugas pemadam kebakaran di garis depan yang mempertaruhkan hidup mereka untuk memerangi kebakaran hutan perlu didukung,” kata Inger Andersen, Direktur Eksekutif UNEP, dalam keterangan tertulis.
Namun, menurut Andersen, ”Kita harus meminimalkan risiko kebakaran hutan ekstrem dengan menjadi lebih siap: berinvestasi lebih banyak dalam pengurangan risiko kebakaran, bekerja dengan komunitas lokal, dan memperkuat komitmen global untuk memerangi perubahan iklim.”
Dalam laporan UNEP ini, para penulis mendorong pentingnya melakukan audit biaya kebakaran sehingga bisa alokasikan anggaran penanganan dengan lebih tepat. Dicontohkan, kerugian ekonomi di Amerika Serikat, salah satu dari sedikit negara yang menghitung dampak kebakaran hutan itu, bervariasi antara 71 miliar dollar AS dan 348 miliar dollar AS dalam beberapa tahun terakhir.
Sebagian besar negara tidak memiliki penilaian mengenai kerugian akibat kebakaran dan kebanyakan mengalokasikan lebih dari setengah pengeluaran yang terkait dengan kebakaran hutan untuk respons. Sementara untuk perencanaan biasanya hanya menerima 0,2 persen dari total anggaran untuk kebakaran hutan.
Namun, untuk mengurangi biaya besar dari kerusakan dan kerugian itu, UNEP menyarankan untuk mengatur anggaran dengan lebih baik. Disarankan tiap negara berisiko kebakaran agar berinvestasi hingga 1 persen untuk perencanaan, 32 persen untuk pencegahan, 13 persen untuk kesiapsiagaan, 34 persen untuk respons, dan hingga 20 persen untuk pemulihan.
Lingkaran krisis iklim
Laporan ini menjelaskan, meningkatnya risiko kebakaran ekstrem terjadi seiring dengan pemanasan suhu Bumi. Pemanasan global mengubah banyak lanskap menjadi kotak api, dan cuaca yang lebih ekstrem berarti angin yang lebih kuat, lebih panas, dan lebih kering untuk mengipasi api itu.
”Pada akhir abad ini, kemungkinan peristiwa kebakaran hutan yang serupa dengan ’Musim Panas Hitam Australia 2019-2020’ atau kebakaran besar Arktik pada tahun 2020 kemungkinan akan meningkat sebesar 31-57 persen,” sebut laporan setebal 124 halaman ini.
Laporan juga menyoroti, kebakaran hutan yang tidak terkendali dan ekstrem dapat menghancurkan manusia, keanekaragaman hayati, dan ekosistem. Di sisi lain, bencana kebakaran hutan juga dapat memperburuk perubahan iklim serta menyumbang gas rumah kaca yang signifikan ke atmosfer, yang pada akhirnya menambah laju pemanasan global.
Menurut laporan Copernicus Atmosphere Monitoring Service (CAMS) Uni Eropa, hutan yang terbakar secara global pada 2021 telah mengeluarkan lebih dari 2,5 miliar ton CO2. Jumlah emisi ini setara emisi tahunan India dari semua sumber.
Kebakaran hutan juga berdampak besar pada kesehatan global. Sebelum keluarnya laporan UNEP, studi yang diterbitkan di The Lancet (2021) menunjukkan bahwa paparan asap kebakaran hutan, terutama dari cemaran PM 2,5, menghasilkan lebih dari 30.000 kematian di 43 negara yang termasuk dalam penelitian ini. Sebanyak 15,1 juta kematian dipicu penyakit kardiovaskular dan 6,8 juta kematian terkait pernapasan.