Pemerintah Daerah Terus Didorong Adopsi Kebijakan Tanpa Limbah
Beberapa daerah telah menerapkan pendekatan zero waste atau tanpa limbah dalam sistem pemerintahannya. Masalah dalam pengelolaan sampah terpilah adalah persoalan sistem tata kelola yang belum terbangun dengan baik.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Transformasi kebijakan sangat penting dalam mendukung pengelolaan sampah yang berkelanjutan. Dengan dorongan dan advokasi, beberapa kabupaten/kota bahkan telah menerapkan pendekatan zero waste atau tanpa limbah dalam sistem pemerintahannya.
Hal tersebut disampaikan sejumlah perwakilan yang tergabung dalam Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) saat konferensi pers secara daring, Kamis (24/2/2022). AZWI merupakan kumpulan sejumlah lembaga non-pemerintah yang fokus terhadap isu lingkungan untuk menciptakan dampak yang lebih besar dalam memengaruhi pembuat kebijakan.
Co-Coordinator AZWI Rahyang Nusantara mengemukakan, target Indonesia zero waste atau tanpa limbah tidak bisa dicapai hanya dengan kebijakan larangan plastik dan pemilahan sampah. Namun, zero waste merupakan aspek yang sangat kompleks karena berhubungan dengan isu strategis, seperti advokasi hulu, plastik sekali pakai, kebijakan kota tanpa limbah, sampah impor, dan transisi berkeadilan.
”Kita memiliki banyak sekali regulasi persampahan, mulai dari undang-undang hingga peraturan daerah. Peraturan ini menekankan pada pengurangan dan penanganan sampah. Sementara dalam hierarki pengelolaan sampah, hal utama adalah pengurangan sampah sehingga ini harus terus dipromosikan,” ujarnya.
Selama ini, AZWI tidak hanya fokus melakukan advokasi, tetapi juga turut mendampingi pengembangan model transformasi zero waste cities. Kota-kota ini akan mengadopsi kebijakan tanpa limbah, seperti ekonomi sirkular, pengurangan, dan penggunaan kembali.
Pada 2017, model ini dimulai dengan tiga daerah percontohan di Jawa Barat, yakni Kabupaten dan Kota Bandung serta Cimahi. Namun, kini zero waste cities terus dikembangkan di lebih dari 10 kabupaten/kota yang tersebar di Jawa, Bali, dan Sumatera.
Direktur Harian Yaksa Pelestarian Bumi Berkelanjutan (YPBB) Bandung Fictor Ferdinand mengatakan, dalam konsep zero waste cities, masalah dalam pengelolaan sampah terpilah adalah persoalan sistem tata kelola yang belum terbangun dengan baik. Oleh karena itu, dibutuhkan pendekatan secara sistem untuk membangun pengelolaan sampah yang bertumpu pada pengumpulan terpilah sebagai titik intervensinya.
”Saat ini, AZWI telah mengembangkan model zero waste cities di sejumlah daerah. Dalam model ini, sampah dipilah dari sumber dan dikumpulkan serta diolah sedekat mungkin dengan sumbernya melalui teknologi pengomposan di tingkat komunitas. Hal ini membuat sampah yang dibawa ke tempat pembuangan akhir semakin berkurang,” tuturnya.
Sejak dibentuk pada 2017 sampai saat ini, AZWI terus mendorong semua pihak untuk bertransformasi mendukung pengelolaan sampah yang berkelanjutan. Sejumlah pencapaian yang diraih, antara lain, sebanyak lebih dari 75 kabupaten/kota dan 2 provinsi telah mengeluarkan peraturan daerah tentang peraturan pembatasan plastik sekali pakai.
Selain itu, AZWI juga berhasil mendorong dikeluarkannya peraturan baru untuk membatasi 2 persen kontaminan dalam perdagangan sampah plastik. Adapun upaya lainnya yang saat ini masih terus dilakukan adalah mendorong korporasi barang konsumen yang bergerak cepat (FMCG) untuk membuka peta jalan pengurangan sampah ke publik.
Dalam menjalankan program kerjanya, AZWI didukung oleh sejumlah anggota, antara lain Gita Pertiwi, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Lembaga Kajian Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL), Lembaga Observasi Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton), Greenpeace, serta Nexus3 Foundation.
Dalam konsep zero waste cities, masalah dalam pengelolaan sampah terpilah adalah persoalan sistem tata kelola yang belum terbangun dengan baik.
Kajian dan laporan
Guna mendorong semua pihak bertransformasi mendukung pengelolaan sampah yang berkelanjutan, AZWI beserta anggotanya juga merilis sejumlah kajian dan laporan yang berkaitan dengan kondisi persampahan saat ini maupun aspek penunjang lainnya.
Salah satu kajian yang dilakukan terkait advokasi korporasi FMCG. Dari riset dan investigasi yang dilakukan AZWI, hanya sekitar 30 perusahaan yang mengajukan peta jalan pengurangan sampah ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Namun, pengajuan oleh perusahaan belum transparan dan tidak bisa diakses publik.
AZWI juga membuat laporan perkembangan kebijakan pembatasan plastik sekali pakai di sejumlah daerah. Laporan menyebutkan, kebijakan larangan total kantong plastik di DKI Jakarta telah mengurangi 42 persen sampah plastik dalam enam bulan pertama. Sementara di Bali, kebijakan ini telah mengurangi 57 persen kantong plastik, 81 persen sedotan, dan 70 persen busa pada tahun pertama.
Peneliti ICEL, Bella Nathania, menyatakan, pemerintah daerah (pemda) merupakan pihak yang sangat berperan dalam kebijakan pembatasan plastik sekali pakai. Pemda tidak punya alasan lagi untuk menunda penyusunan kebijakan tersebut guna mengatasi persoalan sampah plastik di daerah masing-masing.
Dari 50 peraturan pembatasan plastik sekali pakai yang diteliti ICEL, terdapat 15 peraturan yang mengadopsi instrumen ekonomi di dalamnya. Instrumen ekonomi ini penting sebagai bentuk penegakan hukum. Akan tetapi, kata Bella, instrumen ekonomi ini juga tidak bisa diterapkan sembarangan sebelum ada penguatan instansi atau lembaga maupun sumber daya manusia di tiap daerah.
”Hal yang tidak kalah pentingnya untuk mempersiapkan lembaga dalam mengimplementasikan instrumen ekonomi ini ialah sumber informasi. Sebab, tanpa adanya informasi, kita tidak bisa mengetahui secara pasti biaya dan manfaat ketika kita menerapkan instrumen ekonomi,” ucapnya.