Masa Isolasi Mandiri Dipersingkat Menjadi Tujuh Hari
Pasien Covid-19 yang menjalani isolasi mandiri dapat melakukan ”exit test” dengan tes PCR setelah lima hari terkonfirmasi Covid-19. Jika tes tersebut menunjukkan hasil negatif, masa isolasi dapat selesai.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pasien Covid-19 kini cukup melakukan isolasi mandiri selama tujuh hari apabila hasil tes reaksi berantai polimerase atau PCR negatif. Status Covid-19 yang tercantum di aplikasi Peduli Lindungi pun akan otomatis berubah menjadi hijau.
Sekretaris Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Kemenkes Siti Nadia Tarmizi mengatakan, aturan terkait exit test PCR sebagai penentu kesembuhan pada pasien isolasi mandiri disederhanakan dari sebelumnya harus dua kali kini hanya menjadi satu kali. Tes tersebut dapat dilakukan setelah lima hari masa isolasi dijalankan.
”Hari keenam isolasi bisa melakukan exit test PCR. Jika pada hari ketujuh tes PCR menunjukkan hasil negatif, itu berarti isolasi mandiri bisa selesai dilakukan,” ucapnya di Jakarta, Rabu (23/2/2022).
Sementara bagi pasien Covid-19 yang tidak melakukan exit test setelah lima hari terdiagnosis Covid-19, status Covid-19 di aplikasi Peduli Lindungi baru akan otomatis berubah jadi hijau setelah 10 hari terdiagnosis Covid-19. Status itu akan berubah otomatis meski tidak melakukan exit test.
Hari keenam isolasi bisa melakukan ’exit test’ PCR. Jika pada hari ketujuh tes PCR menunjukkan hasil negatif, itu artinya isolasi mandiri bisa selesai dilakukan.
Direktur Pelayanan Kesehatan Rujukan Kementerian Kesehatan Siti Khalimah mengatakan, perubahan masa isolasi bagi pasien isolasi mandiri (isoman) dan isolasi terpusat (isoter) itu dilakukan mengacu pada pedoman terbaru yang dikeluarkan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat. Apabila selama lima hari melakukan isoman/isoter tidak menunjukkan gejala, pasien dapat melakukan tes PCR sebagai exit test.
Bagi pasien yang memiliki hasil tes negatif, ia dapat dinyatakan sembuh atau selesai menjalankan isolasi. Namun, pada pasien dengan hasil tes positif, isolasi perlu dilanjutkan dengan pemantauan dari tenaga kesehatan. ”Exit test cukup dilakukan sekali saja agar lebih efisien,” ucapnya.
Pengendalian menurun
Sementara itu, Skor Indeks Pengendalian Covid-19 atau IPC di Indonesia oleh Kompas secara nasional kembali turun. Angka indeks nasional turun 6 poin menjadi 61. Sulawesi Utara, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan memimpin penurunan terbesar, lebih dari 10, disusul Kalimantan Utara, Sulawesi Barat, dan Kepulauan Riau, turun 10 poin.
Adapun penurunan DKI Jakarta dan Banten melambat. Bali menjadi provinsi pertama yang berpeluang keluar dari serangan gelombang ketiga Covid-19 dengan kenaikan 5 poin, disusul Maluku naik satu poin.
Meski mulai terlihat penurunan jumlah kasus Covid-19 nasional, hal itu belum memengaruhi angka indeks. Penyebabnya, pada sepekan terakhir penghitungan indeks, terjadi puncak lonjakan jumlah kasus melampaui pada masa varian Delta. Skor manajemen pengobatan jauh lebih tinggi ketimbang manajemen infeksi, yang menandakan belum terjadi kegentingan pada okupansi RS atau angka kematian.
Siti menyampaikan, kasus Covid-19 di Indonesia saat ini masih meningkat. Kasus Omicron pun sudah tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Meskipun situasi perawatan pasien Covid-19 masih terkendali, rumah sakit harus bersiap menghadapi eskalasi kasus Omicron.
Saat ini, tren kasus kematian dan kasus konfirmasi Covid-19 mulai meningkat. Hal itu diiringi dengan peningkatan keterisian tempat tidur di rumah sakit untuk pasien Covid-19. Secara nasional, tingkat keterisian tempat tidur (bed occupancy rate/BOR) sebesar 38,29 persen.
Namun, sejumlah wilayah menunjukkan tingkat keterisian cukup tinggi, antara lain DI Yogyakarta (51 persen), DKI Jakarta (49 persen), Jawa Tengah (48 persen), Jawa Barat (47 persen), dan Sumatera Selatan (47 persen).
”Meski rumah sakit kini sudah lebih siap dibandingkan dengan kondisi tahun lalu, kita harus mulai bersiap. Kita bisa melakukan konversi tempat tidur secara bertahap sesuai dengan kebutuhan. Saat ini, kenaikan terjadi perlahan, tetapi cenderung meningkat,” kata Siti.
Peningkatan kapasitas ruang perawatan Covid-19 dapat dilakukan dengan mengacu pada Surat Edaran Menteri Kesehatan Nomor 11 Tahun 2011. Peningkatan kapasitas perawatan akan dilakukan berdasarkan zona dari rumah sakit. Jika BOR rumah sakit untuk pasien Covid-19 lebih dari 80 persen, 40 persen tempat tidur rawat inap perlu dikonversi untuk pasien Covid-19.
Pada RS dengan BOR antara 60 persen dan 80 persen, konversi tempat tidur dilakukan minimal 30 persen dari tempat tidur yang tersedia. Sementara untuk rumah sakit dengan BOR kurang dari 60 persen, konversi tempat tidur bisa dilakukan minimal 20 persen dari tempat tidur yang tersedia.
Siti menambahkan, skenario berikutnya disiapkan apabila kenaikan pasien di RS lebih dari dua kali lipat atau tingkat keterisian lebih dari 100 persen. Pelayanan tenda darurat di area perawatan pasien Covid-19 bisa dilakukan. Rumah sakit lapangan atau RS darurat Covid-19 juga dapat didirikan bekerja sama dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)/TNI di lokasi yang berada di luar area rumah sakit.
Siti mengatakan, strategi lain juga disiapkan untuk menghadapi kondisi kekurangan tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan. Kekurangan tenaga kesehatan saat ini lebih banyak disebabkan banyaknya tenaga kesehatan terpapar Covid-19 akibat penularan makin cepat sementara keterisian tempat tidur di rumah sakit sebenarnya masih terkendali.
Dalam kondisi krisis, mobilisasi semua tenaga kesehatan yang memungkinkan untuk melakukan pelayanan perlu dilakukan. Namun, pada kondisi kontingensi, pengaturan jadwal tetap dapat dilakukan. Dokter ataupun tenaga kesehatan yang menjalani isolasi mandiri dengan kondisi tanpa gejala diharapkan tetap terlibat dalam pelayanan melalui pengobatan jarak jauh (telemedicine) untuk memberikan telekonsultasi bagi staf rumah sakit ataupun pasien.
”Koordinasi dengan organisasi profesi juga akan dilakukan dalam penyediaan tenaga cadangan untuk membantu pelayanan. Mobilisasi tenaga kesehatan RS dapat dilakukan pula dari wilayah dengan kasus Covid-19 rendah wilayah dengan kasus tinggi,” kata Siti.