Tragedi ini terjadi setelah hutan adat masyarakat Yerisiam di Kampung Sima lenyap dan berganti wujud menjadi perkebunan kelapa sawit. Hutan seluas 17.000 hektar itu kini sedang dihabisi dan masyarakat tidak berdaya.
Oleh
Kelvin Hianusa/Fabio Maria Lopes Costa/Harry Susilo
·4 menit baca
Sinar terik matahari menyertai laju mobil minibus yang kami tumpangi. Setelah sekitar 1,5 jam membelah jalan Trans-Papua dari pusat Kabupaten Nabire, Papua, mobil kami berbelok menembus jalan tanah berdebu menuju arah pantai. Kemudian, tampak deretan rumah kayu yang dibangun berjarak satu sama lain dan sebuah sekolah dasar.
Mobil kami pun berhenti. Kami tiba di Kampung Sima, kampung terpencil di Distrik Yaur, Nabire. Anak-anak berlarian keluar dari gedung sekolah yang berdinding kusam. Ketika melihat kami, mereka melempar senyum.
Kasus Covid-19 di Indonesia belum mereda saat kami datang ke Kampung Sima, tetapi tidak tampak satu pun warga yang mengenakan masker. Sebagian justru menatap curiga orang yang bermasker sembari menyebut tidak ada Covid-19 di kampung mereka.
Kami menjumpai warga Kampung Sima. Salah satunya, Yohan Ramar (40), yang tengah bermuram durja. Yohan jengkel karena kini berburu hewan sulit sekali. ”Tiga bulan ini, tak pernah terkena (binatang) saya punya jerat. Karena hutan sudah tidak ada. Mereka sudah kabur,” keluh Yohan, 26 April 2021.
Tampak hutan itu hanya memagari perkebunan kelapa sawit yang ada di baliknya. Hutan disisakan sedikit sehingga kebun kelapa sawit tidak terlihat dari jalan.
Sama seperti Yohan, mayoritas warga Kampung Sima menyandarkan hidup dengan berburu binatang liar di hutan, seperti babi atau rusa. Mereka biasanya berjalan sekitar 1 kilometer dari kampung untuk memasang jerat di hutan. Tradisi itu sudah dilakukan turun-temurun oleh masyarakat Suku Yerisiam yang mendiami Kampung Sima.
Biasanya mereka bisa menjerat 8-9 babi atau rusa setiap bulan. Namun, semua serba susah sekarang, bisa mendapatkan satu ekor saja sudah anugerah. Belum lagi mereka harus berjalan empat kali lebih jauh untuk memasang jerat.
Tragedi ini terjadi setelah hutan adat masyarakat Suku Yerisiam di Kampung Sima lenyap dan berganti wujud menjadi perkebunan kelapa sawit. Hutan seluas 17.000 hektar (ha) itu kini sedang dihabisi dan masyarakat tidak berdaya.
Yohan membawa kami bertemu warga lain yang sedang berkumpul. Kepala Urusan Pemerintahan Kampung Sima, Yulianus Awujani, tengah bersantai. Ia bercerita, warga kehilangan sumber penghasilan karena hutan adat direnggut perusahaan kelapa sawit milik PT Nabire Baru. Hutan adat di Distrik Yaur seluas 17.000 ha sudah berubah menjadi perkebunan kelapa sawit.
Tidak hanya kehilangan sumber kehidupan, warga juga harus berurusan dengan banjir. Tanpa hutan, mereka kehilangan benteng alami untuk mencegah banjir. Daerah yang tidak pernah banjir besar sejak tahun 90-an itu mengalami banjir parah setiap tahun mulai 2017. Banjir setinggi 1 meter lebih itu tak surut dua hari.
”Pernah ada banjir sebelum tahun 90-an, tetapi tidak seperti sesudah hutan dibongkar,” ucap Yulianus.
Saat perjalanan kembali ke Nabire dari Kampung Sima, kami melihat hutan alam seolah berbaris di tepi jalan Trans-Papua. Namun, jika ditengok ke dalam atau dilihat melalui udara, tampak hutan itu hanya memagari perkebunan kelapa sawit yang ada di baliknya. Hutan disisakan sedikit sehingga kebun kelapa sawit tidak terlihat dari jalan.
Cerita warga Kampung Sima membawa kami ke sekretaris adat suku, Yerisiam Robertino Hanebora. Dia salah seorang sosok yang mengetahui proses pengambilalihan hutan adat menjadi perkebunan kelapa sawit.
Robertino mengatakan, awal masuknya perkebunan sawit tidak sesuai prosedur. Perusahaan awal, PT Sariwana Unggul Mandiri, pada 2008 hanya bertujuan investasi pengelolaan kayu merbau. Namun, pada 2011, warga dikejutkan karena areal hutan sudah berubah jadi perkebunan sawit. Pengambilalihan dilakukan Good Hope melalui anak perusahaan mereka, PT Nabire Baru.
Ajukan gugatan
Perwakilan masyarakat Suku Yerisiam mengajukan gugatan izin usaha PT Nabire Baru pada akhir 2014 ke pengadilan tata usaha negara di Jayapura, Papua. Majelis hakim menolak gugatan mereka pada Maret 2015.
Dua tahun berselang, PT Nabire Baru kembali mendekati masyarakat kampung. Mereka berjanji untuk menjalankan program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Misalnya, menanggung biaya pendidikan anak, menyediakan fasilitas kesehatan dan pendidikan, serta memberdayakan kegiatan ekonomi masyarakat.
Namun, hingga saat ini, hanya layanan pendidikan yang diberikan oleh pihak perusahaan. Sementara penyediaan sarana infrastruktur, pemberdayaan ekonomi, dan fasilitas kesehatan belum terlihat.
Kami berjumpa dengan Manajer Program Tanggung Jawab Sosial (CSR) dan Humas PT Nabire Baru, Joko Rudigdo. Menurut Joko, perizinan kebun seluas 17.000 ha sudah sesuai prosedur, termasuk telah melewati persetujuan masyarakat adat. Terkait CSR, dia meyakini perusahaan telah berusaha memenuhi aspek pendidikan dan kesehatan warga. ”Soal banjir, kami akan membangun bendungan untuk mencegahnya,” kata Joko.
Setelah bertemu Joko, kami diizinkan masuk dan melihat langsung perkebunan kelapa sawit PT Nabire Baru.
Berdasarkan data Dinas Peternakan dan Perkebunan Kabupaten Nabire hingga Maret 2021, dari 17.000 hektar total luas lahan PT Nabire Baru, hanya 9.903,2 ha yang dapat digunakan untuk perkebunan sawit.
Ibarat nasi sudah menjadi bubur, begitulah nasib warga Kampung Sima yang harus hidup dalam kepahitan seusai hutan mereka sirna.