Pelarangan Ekspor Batubara Dinilai Tak Berdampak Signifikan bagi Lingkungan
Pemerintah harus mulai meninggalkan ketergantungan terhadap batubara. Kebijakan larangan ekspor batubara dinilai tidak terlalu berdampak bagi lingkungan ataupun ekonomi.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan larangan ekspor batubara yang berlaku pada 1-31 Januari 2022 dipandang tidak terlalu berdampak signifikan bagi lingkungan ataupun ekonomi. Pemerintah perlu melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap rencana energi nasional agar mampu mengurangi kecanduan, bahkan meninggalkan konsumsi batubara.
Juru Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional Ki Bagus Hadi Kusuma mengemukakan, kebijakan pemerintah menunjukkan potret sebenarnya bahwa Indonesia sangat kecanduan terhadap sumber energi batubara. Selain itu, batubara pun menjadi sumber komoditas ekonomi.
”Pada 2021 hampir 90 persen dari total 611 juta ton produksi batubara ditujukan untuk ekspor. Jadi selama ini jargon batubara untuk kebutuhan rakyat juga tidak benar. Jadi menghentikan ekspor menjadi solusi malas ketika sekarang terjadi krisis listrik karena pasokan batubara dalam negeri berkurang,” ujarnya di Jakarta, Senin (3/1/2022).
Seperti diberitakan, Kementerian ESDM melarang ekspor batubara bagi pemegang izin usaha pertambangan (IUP) atau izin usaha pertambangan khusus (IUPK) dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B). Kebijakan ini dikeluarkan guna menjamin terpenuhinya kebutuhan batubara untuk PLTU grup PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan produsen listrik independen (IPP) yang kekurangan pasokan.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Ridwan Jamaludin meyakini, jika kebijakan pelarangan ekspor tidak diambil, kekurangan pasokan batubara akan berdampak kepada lebih dari 10 juta pelanggan PLN, mulai dari masyarakat umum hingga industri di dalam dan di luar Jawa, Madura, dan Bali. Hampir 20 PLTU dengan daya sekitar 10.850 MW juga akan padam dan berpotensi mengganggu kestabilan perekonomian nasional (Kompas, 3/1/2022).
Sangat bergantungnya Indonesia terhadap ekspor batubara inilah yang, menurut Bagus, membuat aspek ekonomi semakin dikorbankan. Oleh karena itu, ke depan pemerintah harus mulai meninggalkan ketergantungannya terhadap batubara, baik sebagai sumber pemenuhan energi maupun ekonomi.
”Dari sisi lingkungan, kebijakan ini tidak akan berdampak apa pun kalau hanya sekadar menghentikan ekspor batubara selama satu bulan tanpa diiringi pemulihan lahan dan lingkungan di tingkat tapak. Di sisi lain, pasar batubara dalam negeri didorong untuk terus meningkat melalui program-program seperti elektrifikasi 35 gigawatt,” katanya.
Namun, penghentian operasi PLTU batubara ini juga harus diiringi dengan pengembangan pembangkit listrik energi baru terbarukan yang bersih dan ramah lingkungan. Beberapa energi bersih yang bisa dikembangkan dan melimpah pasokannya adalah surya dan angin.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat potensi energi terbarukan di Indonesia diperkirakan lebih dari 400.000 megawatt (MW). Namun, pemanfaatannya masih amat minim, kurang dari 11.000 MW. Pencapaian energi baru terbarukan dari sektor pembangkit listrik saat ini baru 12-13 persen. Namun, pencapaian secara keseluruhan tercatat lebih rendah, yakni 10 persen.
Sementara Hasil kajian Institute for Essential Services Reform (IESR) bersama Global Environment Institute, China, menunjukkan potensi tenaga surya di Indonesia mencapai 20.000 gigawatt (GW). Angka tersebut jauh melampaui data potensi dari pemerintah, yakni 207 gigawatt.
Potensi energi baru terbarukan wilayah Indonesia timur, khususnya Maluku dan Maluku Utara, juga cukup tinggi. Tercatat potensi energi surya di dua provinsi tersebut 721 GW, energi air 1,5 GW, dan biomassa 75 MW. Adapun untuk potensi energi angin dapat mencapai 15,5 GW di ketinggian 50 meter dan 15,9 GW di ketinggian 100 meter.
Dari aspek lingkungan, batubara sebagai energi fosil juga sangat kotor dan menjadi salah satu penyumbang emisi terbesar di dunia. Bagus mendorong pemerintah segera berhenti membangun pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara. Selain menyebabkan polusi dan daya rusak yang tinggi dari hulu hingga hilir, batubara juga sangat rentan sebagai komoditas tambang seperti kondisi yang terjadi sekarang.
Namun, penghentian operasi PLTU batubara ini juga harus diiringi dengan pengembangan pembangkit listrik energi baru terbarukan yang bersih dan ramah lingkungan. Beberapa energi bersih yang bisa dikembangkan dan melimpah pasokannya yakni surya dan angin.
Seharusnya larangan ekspor batubara ini bukan hanya sementara, melainkan juga dilakukan seterusnya sambil beralih ke energi terbarukan yang melimpah dan aman.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, potensi energi terbarukan di Indonesia diperkirakan lebih dari 400.000 megawatt (MW). Namun, pemanfaatannya masih amat minim, kurang dari 11.000 MW. Pencapaian energi baru terbarukan dari sektor pembangkit listrik saat ini baru 12-13 persen. Namun, pencapaian secara keseluruhan tercatat lebih rendah, yakni sekitar 10 persen.
Evaluasi
Bagus menekankan, pemerintah perlu memgevaluasi rencana umum energi nasional (RUEN) dan rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) secara menyeluruh. Ini diperlukan agar Indonesia benar-benar bisa mengurangi kecanduan dan meninggalkan konsumsi energi batubara.
”Seharusnya larangan ekspor batubara ini bukan hanya sementara, melainkan juga dilakukan seterusnya sambil beralih ke energi terbarukan yang melimpah dan aman. Harapannya kalau larangan ekspor ini berlanjut akan menurunkan eksploitasi batubara di tapak-tapak pertambangan,” ucapnya.
Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara Tata Mustasya juga menyampaikan hal senada. Menurut Tata, larangan ekspor selama satu bulan masih membuat kuota produksi batubara tetap tinggi menyusul kenaikan harga. Produksi batubara selama satu bulan diperkirakan turun tapi tak sepanjang 2022.
Tata menilai kondisi kurangnya pasokan batubara yang terjadi saat ini dapat menjadi momentum transisi energi pada sektor hilir. Sebab, kondisi defisit sekarang menunjukkan PLTU batubara tidak hanya menyebabkan kerusakan lingkungan dan krisis iklim, tetapi juga mengancam ketahanan energi dalam negeri.
”Harga batubara akan selalu fluktuatif dan pasokannya di masa depan juga lebih tidak menentu. Hal ini berbeda apabila dibandingkan energi surya yang pasokannya melimpah dan harganya semakin murah,” ucapnya.