Indonesia dihadapkan pada permasalahan kesehatan yang persisten, termasuk masalah status gizi. Intervensi yang spesifik diperlukan sesuai dengan persoalan yang dihadapi di setiap wilayah.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
Indonesia masih terbelenggu dengan masalah gizi. Kondisi masyarakat dengan tengkes atau yang sering juga disebut stunting menjadi persoalan yang terjadi dalam jangka waktu panjang. Tengkes tidak sekadar memengaruhi kondisi fisik. Jauh lebih dari itu, tengkes sangat berpengaruh pada kemampuan kognitif seseorang.
Anak yang mengalami tengkes sangat berisiko mengalami gangguan perkembangan fungsi kognitif. Risiko penyakit tidak menular pada kemudian hari juga cukup besar. Akibatnya, kemampuan serta daya saing di masa depan menjadi rendah.
Besarnya risiko masalah gizi ini telah ditanggapi dengan serius oleh pemerintah. Tim percepatan penurunan angka stunting yang dikoordinasi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) telah dibentuk pada 2021. Tujuannya agar persoalan tengkes bisa segera teratasi.
Hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021 dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan menunjukkan, angka tengkes di Indonesia sebesar 24,4 persen. Angka ini menurun dari tahun-tahun sebelumnya.
Pada 2013, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar, angka tengkes di Indonesia mencapai 37,2 persen. Angka itu menurun menjadi 30,8 persen pada 2018 dan 27,67 persen pada 2019. Dari capaian tersebut, angka tengkes menurun sekitar 1,7 persen tiap tahun.
Pemerintah telah menargetkan pada 2024 angka tengkes bisa menurun hingga 14 persen. Artinya, penurunan tengkes perlu ditekan sampai 2,7 persen tiap tahun. Upaya inovatif mutlak diperlukan agar target tersebut bisa tercapai.
Meski begitu, mengatasi masalah gizi masyarakat, termasuk tengkes, bukan hal yang mudah. Sebagian besar wilayah di Indonesia masih mengalami persoalan gizi yang cukup berat. Dari 34 provinsi di Indonesia, hanya Bali yang menjadi wilayah dengan kategori baik menurut standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Angka tengkes di Indonesia sebesar 24,4 persen. Angka ini menurun dari tahun-tahun sebelumnya.
Sesuai standar WHO, suatu wilayah dikatakan memiliki status gizi baik apabila prevalensi balita pendek atau stunting kurang dari 20 persen dan prevalensi balita kurus (wasting)kurang dari lima persen. Jika suatu wilayah memiliki prevalensi balita pendek kurang dari 20 persen dan prevalensi balita kurus lima persen atau lebih, wilayah itu akan masuk pada kategori masalah gizi akut.
Sementara itu, jika suatu wilayah memiliki prevalensi balita tengkes 20 persen atau lebih dan prevalensi balita kurus kurang dari lima persen termasuk pada kategori kronis. Apabila daerah itu memiliki prevalensi tengkes 20 persen atau lebih dan prevalensi balita kurus lima persen atau lebih, wilayah tersebut akan masuk pada kategori akut kronis.
”Butuh evaluasi secara menyeluruh terutama pada daerah yang angka stunted-nya masih tinggi dan wasted-nya yang juga tinggi. Analisis lebih lanjut juga diperlukan untuk melihat faktor determinan yang paling berkorelasi terhadap perbaikan status gizi di setiap wilayah hingga ke tingkat kabupaten/ kota,” ujar Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono dalam peluncuran SSGI 2021 yang diselenggarakan secara virtual pada akhir Desember 2021.
Dari hasil SSGI 2021 telah terpetakan, satu provinsi, yakni Bali, masuk kategori baik dalam masalah gizi masyarakat. Sementara itu, lima provinsi memiliki masalah gizi dengan kategori akut, yakni Lampung, Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, dan DI Yogyakarta. Satu provinsi, yakni Bengkulu, masuk pada kategori kronis. Sisanya, sebanyak 27 provinsi, masih masuk dalam kategori kronis akut.
Faktor penyebab
Kepala Pusat Litbang Upaya Kesehatan Masyarakat Balitbangkes Doddy Izwardy mengatakan, masalah gizi di Indonesia memiliki determinan atau faktor penyebab yang kompleks. Merujuk pada Riskesdas dan SSGI, faktor yang bisa menjadi penyebab antara lain kepemilikan jaminan pelayanan kesehatan, layanan persalinan yang didapatkan, pemberian tablet tambah darah pada ibu hamil, keberhasilan inisiasi menyusu dini (IMD), serta pemberian ASI eksklusif.
Selain itu, faktor lainnya adalah pemberian makanan yang beragam bagi bayi usia dua tahun dan pemantauan tumbuh kembang seperti berat badan, panjang atau tinggi badan, dan panjang badan lahir. Faktor berat badan lahir rendah juga bisa menentukan persoalan gizi yang dialami anak.
Dari berbagai penyebab itu, faktor yang perlu diperhatikan ialah terkait dengan kepemilikan jaminan pelayanan kesehatan, inisiasi menyusu dini, ASI eksklusif, penimbangan berat badan, pengukuran panjang dan tinggi badan, serta panjang badan lahir lebih dari 48 sentimeter. Persentase faktor-faktor tersebut pada 2018 hingga 2021 menurun.
Namun, berbagai faktor lainnya mengalami peningkatan, antara lain pemberian vitamin A pada anak yang meningkat dari 53,5 persen menjadi 80,6 persen; pemberian imunisasi dasar lengkap yang naik dari 57,9 persen menjadi 65,8 persen; dan pemberian makanan beragam bawah dua tahun (baduta) dari 46,6 persen menjadi 52,5 persen.
Menurut Doddy, intervensi yang dilakukan di setiap wilayah harus sesuai dengan masalah gizi yang terjadi di wilayah tersebut. Upaya konvergensi juga harus sudah dimulai untuk mendapatkan kualitas intervensi yang berimbang antara intervensi spesifik dan sensitif.
”Antisipasi ke depan, perlu peningkatkan pemantauan tumbuh kembang balita di posyandu maupun faskes lainnya karena prevalensi underweight berdasarkan berat badan menurut umur meningkat hampir satu persen akibat dampak dari pandemi Covid-19,” tuturnya.